Suara Pembaca

Buanglah Sarri(ball) pada Tempatnya

Semua orang membenci kekalahan. Seperti saat Chelsea dibantai enam gol tanpa balas oleh Manchester City, semua yang mengaku bagian dari klub biru-biru ini adalah pembenci. Tak sampai di situ, semua pihak menanggung malu yang sama.

Dari Roman Abramovich yang belepotan uang minyak di Stamford Bridge sana, hingga saya yang meringkuk di pojokan, memainkan gawai yang penuh ejekan. Masuk goa, katanya.

Medioker, pantas disematkan terhadap performa para pemain. Menjengkelkan, layak ditautkan pada Sarri, orang yang mengonsep, seperti apa Chelsea harus bermain. Konsep yang dirobek Guardiola, di atas lapangan milik orang kaya dari Timur Tengah.

Persis seperti di gurun, Chelsea dan Sarri terperangkap badai pasir. Mereka kehilangan arah dan kehabisan air minum. Badai di gurun Ettihad menelan Sarriball. Menguburnya di gundukan pasir. Entah kapan terlihat lagi.

Banyak yang memuji keagungan Sarriball. Di Italia, orang-orang segan pada Sarri. Di Napoli, ia terhormat. Tapi, apa yang dihasilkan Sarri? Semua berakhir sebatas keagungan, tentang sepak bola indah dari kaki ke kaki.

Napoli sebatas bayangan. Selalu di bawah Juventus. Napoli terjebak di kata ‘hampir’. Hampir mendapat scudetto, hampir juara. Hampir mengakhiri dominasi Juventus. Hampir sama saja dengan tidak. Dan kata tidak, tidak untuk sepak bola modern.

Sarri datang ke Chelsea membawa sekantung keagungan dari Napoli. Menentengnya masuk Stamford Bridge, menjajakan pada mereka, para direksi, pemain, dan segenap fans. Keagungan ia tawarkan, bak penjual obat sakit gigi.

Baca juga: Langit dan Bumi Maurizio Sarri di Chelsea

Sekali telan, sakitnya sembuh. Seperti pesulap saja. Memang, Sarri berlaku demikian. Kantung berisi keagungan, ia janjikan jadi trofi. Di ajang Community Shield, juga melawan City, isi kantung belum berubah. Sulap sedang beradaptasi, mungkin.

Sarriball awalnya konsisten. Tiga belas pertandingan Liga Primer Inggris tak pernah kalah. Bahkan di Eropa, mereka jemawa. Sejak Desember kelihatan bobroknya. Pocchetino jadi yang pertama, selanjutnya giliran tim promosi Wolves. Januari, bobroknya naik turun. Piala kaleng, Sarri masuk final, masih ditunggu City. Piala FA, lolos dari babak adu penalti lawan Tottenham, melenggang ke 16 besar. Masuk Februari, lihat sendiri saja di berita, saya tak mau cerita.

Kelihatan sekali, Sarri hanya punya satu strategi. Tak perlu analisis para pundit, orang yang sering nonton tarkam pun tahu.  Apa strateginya? “Copying Napoli”. Sarri hanya tahu bermain dengan “Napoli-nya” Makanya ia bawa-bawa Jorginho. Memang benar, untuk mengontrol permainan, Jorginho hebat. Tapi, apa tak mengorbankan pertahanan. Liga Inggris lebih cepat daripada Italia, dan dengan posisi Jorginho sekarang, ia bukan tandingan serangan cepat pemain-pemain Liga Inggris.

Baca juga: Di Manapun Berada, Jorginho Selalu Ada

Di Italia, Sarri hampir juara. Di Inggris, bisa jadi ia cuma hampir masuk zona Eropa. Sarriball ternyata tidaklah cair. Permainannya malah kaku, mengandalkan cara itu-itu saja.

Siapa yang patut disalahkan? Apakah bidikan ini harus ke Sarri seorang? Bisa iya bisa tidak. Tapi, Sarri adalah sosok yang paling bertanggung jawab. Namanya toh pelatih. Kalau mau menuntut Roman Abramovich, percuma, salah alamat, bos! Orang Rusia itu memang pemilik klub, tapi jika ia sudah membelanjakan kamu pemain, maka selesaikan urusanmu di lapangan. Tampil baik, dapat trofi, atau dipecat. Suka-suka Abramovich dong.

Mengarahkan telunjuk ke pemain, mungkin bisa dilakukan. Pemain juga turut andil, sebab mereka yang tampil di lapangan. Performanya menentukan kelangsungan pertandingan, apakah kalah atau menyerah? Eh lupa satu lagi, menang tentunya. Pemain Chelsea yang memainkan Sarriball, uring-uringan. Entah apa penyebabnya. Apa yang terjadi dengan Chelsea sekarang bisa jadi adalah perkara yang kompleks.

Meski begitu, Sarri tetap harus punya itikad baik. Terhadap dirinya sendiri dan sarriball ciptaannya. Kalau terus-terusan seperti itu, Chelsea bakal terjerembab makin dalam. Bisa-bisa balik jadi tim papan tengah, seperti di periode saat Zola main.

Baca juga: Jatuh Cinta kepada Gianfranco Zola

Chelsea yang saya kenal, punya mental petarung yang baik. Sarriball boleh jadi tak punya isi materi soal mental. Mungkin sedikit materi perihal keagungan permainan perlu sedikit direvisi. Diisi dengan materi, “comeback is my style”.

Sarri tak boleh keras kepala. Semua orang paham bagaimana bos Roman. Orang itu tak bisa bersabar. Banyak yang telah jadi korban. Pelatih-pelatih bergelimang trofi bisa dibuang, apalagi Sarri, yang sebatas bermodal keagungan sepak bola. Roman Abramovich hanya butuh trofi. Sepak bola indah belakangan. Sarri harus punya solusi yang tepat. Bila tidak, Roman Abramovich akan berkata,”Buang sari(ball) pada tempatnya”.