Kolom

Jatuh Cinta kepada Gianfranco Zola

Walau dicap sebagai cabang olahraga paling populer sejagat, namun sepak bola bukanlah afeksi pertama saya terhadap olahraga. Dahulu, saya lebih mengenal figur seperti David Coulthard, Damon Hill dan Michael Schumacher pada kejuaraan balap Formula 1 ataupun Norifumi Abe, Luca Cadalora dan Michael Doohan yang mentas di ajang GP Motor.

Menyaksikan nama-nama tersebut berlomba, baik di atas mobil F1 maupun motor-motor prototipe, kerapkali membuat jantung veteran saya ini berdesir. Adrenalin terpacu hingga titik tertinggi, menggelegak. Aksi saling menyalip, saling menyenggol, mobil melintir hingga menabrak tembok pembatas atau jatuh terpelanting dari motor, adalah momen yang kelewat megah untuk dilewatkan begitu saja.

Kala itu, dunia balap laksana candu yang wajib “dikonsumsi” oleh saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Rasa-rasanya, tak ada tontonan lain yang sebrilian itu.

Namun pada suatu malam, bertepatan dengan hari ulang tahun saya, ada sebuah pertandingan sepak bola yang sedang ditayangkan oleh salah satu kanal televisi swasta nasional. Saya pun menyaksikannya.

Pertandingan itu menjadi tonggak perkenalan saya dengan laga-laga yang melibatkan tim di luar Indonesia. Karena sebelumnya, hanya pertandingan yang melibatkan kesebelasan asal kota kelahiran saya, Persebaya Surabaya, yang cukup intens saya ikuti.

Dari sepasang tim yang bertanding ketika itu, satu mengenakan seragam putih dengan garis merah di bagian dada sementara lawannya berkostum biru. Saya tak tahu nama kedua kesebelasan tersebut, namun sebagai penyuka warna biru, insting dukungan saya pun mengarah kepada tim yang mengenakan kostum dengan warna tersebut.

Pada pertandingan itu, saya terpukau oleh aksi seorang pemain yang begitu mudah diingat lantaran rambut gondrong dan postur tubuh boncelnya. Sebagai bocah yang belum fasih mengeja nama-nama asing, saya mengenal sosok tersebut cuma dari apa yang tertulis jelas di punggungnya dan beruntung, namanya begitu mudah dilafalkan, Zola.

Dan benar saja, laga sengit malam itu berhasil dimenangi oleh tim yang berkostum biru. Saya pun merasa tak salah memberi dukungan untuk mereka. Terlebih, gol kemenangan yang berhasil didapat tim tersebut disarangkan dengan begitu indah oleh Zola.

Gol yang tercipta di menit ke-71 itu benar-benar dibuat dengan unsur keindahan yang sempurna, tiada banding. Setidaknya, bisa membuat saya menepikan elok rupa Tatjana Saphira barang satu menit. Umpan melambung yang dilepaskan oleh rekannya, yang kemudian saya ketahui bernama Dennis Wise, berhasil dieksekusi dengan begitu keren. Tanpa sekalipun mengontrol bola, Zola lantas mencocor si kulit bundar ke sudut kanan atas gawang lawan.

Si boncel ini kemudian berlari menuju area tribun di mana pendukung kesebelasan berwarna biru berada. Selebrasi Zola disambut oleh euforia kegembiraan para suporter tim yang dibelanya.

Mendengar komentator berbahasa Inggris meneriakkan namanya usai mencetak gol pada saat itu membuat saya merinding. Keriuhan yang terjadi selepas gol tersebut benar-benar memikat perhatian. Pada titik itu, apa yang saya rasakan sama persis dengan saat menyaksikan momen-momen krusial di ajang balap. Bahkan ketika memutar video mengenai proses terjadinya gol ciamik itu pun, hingga saat ini, ada hal yang senantiasa melonjak-lonjak di dalam dada.

Selepas wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, raut kegembiraan muncul di wajah seluruh pemain tim berkostum biru. Hal serupa bisa saya tangkap dari suporter fanatik mereka. Pantas rasanya mereka bergembira karena pada akhirnya saya pun mengerti apabila laga itu adalah sebuah partai final yang memperebutkan titel Piala Winners.

Semenjak saat itu, saya merasa perlu untuk mengikuti sepak terjang Zola bersama klubnya yang ternyata bernama Chelsea itu. Kolaborasi seragam berwarna biru milik Chelsea yang jadi kelir kesukaan saya dan Zola terasa begitu pas. Tidak kurang, tidak lebih. Menonton pertandingan-pertandingan Zola bersama Chelsea, baik siaran langsung maupun hanya cuplikan, menjadi rutinitas baru yang saya lakukan.

Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan pemain-pemain Persebaya yang lebih dulu saya saksikan, namun melihat bagaimana Zola mengolah si kulit bundar di atas rumput hijau lapangan sepak bola selalu memberi impresi yang berbeda untuk saya. Gocekan mautnya, umpan-umpan brilian yang bisa kakinya lepaskan, sampai gol-gol indah yang bisa dibuat tungkai maupun kepalanya adalah keindahan tak terperi.

Bersama Marcel Desailly, Roberto Di Matteo, Tore Andre Flo, Frank Lebouef, Graeme Le Saux, Dan Petrescu, Gustavo Poyet, Gianluca Vialli dan Wise, Zola yang ditransfer dari Parma dengan mahar 4,5 juta paun pada musim panas 1996, berhasil membawa Chelsea bertransformasi menjadi klub yang lebih disegani di tanah Inggris. Jujur saja, sebelum era Zola, The Blues memang tak lebih dari klub pelengkap di Liga Primer Inggris.

Selama tujuh musim berseragam biru khas Chelsea, Zola bermain di 312 pertandingan serta mencetak 80 gol di semua kompetisi. Dirinya juga sanggup menyumbangkan enam buah silverwares. Masing-masing berupa dua titel Piala FA (1997 dan 2000), sebiji trofi Piala Liga (1998), satu Charity Shield (2000), satu Piala Winners (1998) dan satu Piala Super Eropa (1998). Lebih dari itu, Chelsea juga konsisten berada di papan atas walau belum sanggup meraih titel juara liga.

Ketika usianya sudah menginjak 37 tahun, Zola meninggalkan Stamford Bridge untuk mudik ke kampung halamannya, Pulau Sardinia di Italia. Padahal, ketika itu The Blues baru saja diakuisisi oleh pengusaha asal Rusia, Roman Abramovich. Pemain yang mendapat julukan Si Kotak Ajaib dari suporter Chelsea ini lantas memperkuat tim paling top di sana, Cagliari Calcio.

Namun, sejumlah kabar menyebut jika Abramovich sempat meminta Zola untuk bertahan di London bersama Chelsea meski usianya semakin uzur. Bahkan, sang taipan minyak juga disebut-sebut oleh media siap membeli Cagliari saat mengetahui Zola bersikukuh hijrah ke Gli Isolani sekaligus menepati janjinya kepada publik Sardinia.

Datang sebagai salah satu legiun asing pertama asal Negeri Pizza di tanah Britania, lelaki yang hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke-51 itu, mewariskan begitu banyak kisah mengagumkan. The Sun bahkan memasukkannya sebagai satu dari sepuluh pemain asing paling “artistik” yang pernah merumput di Liga Inggris. Dalam voting tersebut, Zola finis di peringkat kedua, tepat di bawah legenda Manchester United asal Irlandia Utara, George Best.

Bagi mayoritas pendukung Chelsea, nama Zola masih dianggap sebagai pemain terbaik The Blues sepanjang sejarah. Mengungguli beberapa legenda lain semisal Didier Drogba, Frank Lampard ataupun John Terry yang jadi tulang punggung kesuksesan Chelsea meraup sejumlah trofi-trofi prestisius.

Bahkan, nomor punggung 25 yang dahulu dikenakan Zola masih tetap lowong hingga kini alias tak ada satu pemain pun yang berani mengenakannya. Padahal, pihak Chelsea juga tak pernah merilis pernyataan resmi jika nomor punggung itu dipensiunkan sebagai bentuk penghormatan bagi Si Kotak Ajaib.

Bagi saya pribadi, meski saat ini lebih “taat” mendukung Internazionale Milano, saya takkan pernah ragu ataupun malu untuk menyebut bahwa sosok yang membuat saya jatuh cinta dan menaruh perhatian lebih pada sepak bola Eropa adalah Gianfranco Zola, pemain asal Italia yang melegenda bersama kesebelasan asal London, Chelsea.

#BuonCompleannoZola

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional