Suara Pembaca

Pergulatan Kasta Terbawah Liga Primer Inggris

Kita harus mengakui bahwa sebutan “liga terbaik dunia” bagi Liga Primer Inggris masih sangat bisa diperdebatkan. Namun, tak ada yang akan menyangkal, berkat kekuatan finansial yang sebagian besar berasal dari kue pembagian hak siar, klub-klub Liga Primer Inggris bisa dibilang sebagai yang terkaya seantero jagad.

Klub-klub penghuni papan bawah saja tak ragu untuk menggelontorkan dana besar guna memboyong pemain incaran, apalagi klub-klub top six. Fulham misalnya. Mereka berstatus klub promosi yang ditangani pelatih debutan Slavisa Jokanovic, dan demi tampil kompetitif di Liga Primer Inggris, dana lebih dari 100 juta euro telah diinvestasikan untuk membeli pemain. Pada akhirnya Fulham tak sanggup menaikkan level dari sekadar “jagoan di Championship”.

Di papan atas, klub penghuni top four, baik Liverpool, Manchester City, maupun Chelsea, tak ragu menjebol brankas. Dalam diri Virgil van Dijk, The Reds punya bek termahal di dunia. Demi mendapatkan Riyad Mahrez, The Citizens mau menjadikannya pemain termahal sepanjang sejarah klub.

Chelsea pun memberi label kiper termahal dunia bagi Kepa Arrizabalaga saat mendatangkannya dengan 71,6 juta paun. Praktis hanya Tottenham yang betul-betul mengetatkan ikat pinggang lantaran tersandera mega proyek New White Hart Lane yang menembus satu triliun paun.

Baca juga: Tottenham Numpang di Wembley Sampai Maret

Jadi, semua peserta Liga Primer Inggris bisa dibilang kaya raya. Akan tetapi, meski mendapat jatah kue hak siar dalam besaran yang sama, kompetisi ini tidak benar-benar menjadikan klub-klubnya setara. Pengaruh nama besar dan sejarah klub dinilai membuat klub seperti Manchester United bisa jauh mengungguli Huddersfield dalam hal pendapatan tahunan.

Akibatnya, muncul kasta-kasta tersendiri dalam satu strata Liga Primer Inggris. Satu klub memang bertanding dengan 19 klub lainnya, tapi di klasemen mereka cuma saling sikut dengan lawan selevel. Pada musim ini, kasta di dalam kasta tersebut tampak kentara.

Kasta teratas dihuni top six: klub yang hampir pasti menembus kompetisi Eropa dengan anggota (nyaris) tetap yakni Liverpool, Manchester City, Tottenham, Chelsea, Manchester United, dan Arsenal. Mereka adalah nama-nama tradisional—yang bila tidak ada keajaiban super seperti Leicester City pada 2015/2016, akan senantiasa bertengger di strata tertinggi.

Di strata berikutnya, terdapat tim-tim di zona tengah yang memperebutkan tempat ketujuh, posisi yang secara informal mendapat gelar “The best of the rest”. Musim ini, zona tersebut dihuni Wolverhampton Wanderers, Watford, Everton, Bournemouth, Leicester City, dan West Ham United. Semua tim di zona ini merupakan sejumlah klub yang sudah mapan di Liga Primer Inggris, kecuali Wolves yang langsung menggebrak meski baru promosi.

Baca juga: Aroma Kuat Portugal dan Geliat Ambisius Wolverhampton Wanderers

Kasta paling bawah berisi sejumlah klub yang harus bergulat menghindari zona degradasi. Saya akan mencoba mencoba mengulas barang dua-tiga kalimat singkat tentang tim-tim yang ada di kasta paling buncit ini, dimulai dari Brighton & Hove Albion.

Brighton sebenarnya sudah paham betul dengan apa yang diinginkan pelatih Chris Hughton. Mereka bahkan sudah 25 poin pada pekan 20, lebih tinggi dari catatan di waktu yang sama pada musim lalu. Akan tetapi, raihan nirkemenangan dalam lima laga terakhir membuat The Seagulls hanya berjarak lima poin dari zona degradasi.

Si gaek Glenn Murray yang sempat moncer di awal musim pun kini cuma mencetak dua gol dalam sebelas laga terakhirnya. Hughton harus menghentikan kemerosotan ini bila tak ingin terjerembab terlalu dalam.

Tepat di bawah Brighton terdapat Crystal Palace, yang amat bergantung dengan duet Wilfried Zaha dan Andros Townsend di lini depan. Townsend dan Zaha masing-masing telah mencetak empat gol. Meski begitu, roh sejati The Eagles terletak dalam visi seorang Luka Milivojevic, gelandang tak tergantikan yang menjadi top skor tim dengan tujuh gol. Bila Roy Hodgson belum kehilangan sentuhan, mereka seharusnya tak akan terdegradasi.

Baca juga: Wilfried Zaha, Calon Pemain 40 Juta Paun

Selanjutnya ada Newcastle, yang disebut Rafael Benitez “harus siap berada di separuh terbawah di sepanjang musim.” Problem The Magpies selalu berkutat pada sang pemilik, Mike Ashley, yang dinilai selalu mengecewakan di bursa transfer.

Jadi, ketika Miguel Almiron didatangkan dengan harga rekor klub (20 juta paun) pada deadline bursa Januari lalu, Benitez diyakini akan menyetir Newcastle ke tempat aman, meski akan terus memainkan sepak bola negatif sekalipun.

Bila Newcastle setia dengan Benitez, tak demikian dengan Southampton. Tak ada pelatih yang melewati semusim lebih di St. Mary’s, terhitung sejak Ronald Koeman pergi. Pergantian sejak Claude Puel, Maurico Pellegrino, hingga Mark Hughes membuat kondisi Soton tak stabil meski punya skuad yang sudah bisa bersaing di Liga Primer Inggris. Ralph Hasenhuttl yang masuk sejak Desember sejauh ini bisa membuat klub merangkak naik.

Burnley menguntit di belakang Soton. Setelah musim lalu sanggup menempati peringkat tujuh, mereka musim ini terjun bebas dengan partisipasi ekstra di kualifikasi Liga Europa dianggap mengganggu ritme tim di awal musim. Sempat terperosok ke tiga terbawah, mereka mulai menanjak seturut kembalinya Tom Heaton sebagai kiper nomor satu. Sepak bola yang diperagakan Sean Dyche memang bukan yang terindah, tapi tak ada yang mengharapkan mereka untuk terdegradasi.

Baca juga: Sean Dyche, ‘Ginger Mourinho’ yang Menunggu Klub Besarnya

Tiga terbawah dihuni tiga klub yang sulit menaikkan performa. Cardiff City asuhan Neil Warnock melampaui prediksi dengan berada di peringkat 18 (mereka diprediksi jadi juru kunci), dan akan menghadapi sisa musim dengan tertatih-tatih. Rekor transfer mereka, Emiliano Sala, gagal mendarat di Wales dan akibatnya para pemain buruan tak mau bergabung di hari terakhir transfer.

Fulham tak menyangka bisa seterpuruk ini setelah menghabiskan lebih dari 100 juta paun untuk belanja pemain. Setelah Slavisa Jokanovic dipecat, sang pengganti Claudio Ranieri nyatanya tak bisa mengulang keajaiban. Jika mereka kembali ke Divisi Championship, Shahid Khan patut menyesali keputusannya jor-joran di awal musim.

Huddersfield malah “seakan” sudah menyiapkan diri berkubang di Divisi Championship. Jan Siewert yang baru berusia 36 tahun cuma diberi tugas untuk melanjutkan proyek David Wagner, entah di kasta tertinggi atau kasta kedua. Jarak 13 poin dari zona aman di pekan 25 terlalu mustahil dikejar. Siewert harus mencari tahu mengapa timnya tak sanggup menyelesaikan problem ketumpulan yang menyandera lini depan sejak musim lalu.

Sulit membayangkan Huddersfield dan Fulham bisa lolos. Kini kita bisa menyaksikan pergulatan menghindari satu tiket degradasi tersisa. Pada pekan 25, jarak antara Cardiff di posisi tersebut dengan Brighton di posisi 13 cuma lima poin.

Mengenai klub pengganti, si mata-mata Marcelo Bielsa sedang dalam posisi bagus untuk menuju Liga Primer Inggris…

Baca juga: Marcelo Bielsa: Antidot di Dunia (Sepak Bola) yang Semakin Gila