Kolom Eropa

Marcelo Bielsa: Antidot di Dunia (Sepak Bola) yang Semakin Gila

El loco está de vuelta. Si gila telah kembali.

Seperti tidak ingin kalah dengan keputusan Zdenek Zeman yang kembali menukangi Pescara, Marcelo Bielsa, sang mahaguru, resmi menjadi pelatih Lille mulai musim depan. Ia dikontrak klub Prancis tersebut dengan durasi dua musim.

Pep Guardiola langsung menaburi berita di atas dengan bunga-bunga pujian. Pep pada 2012 juga menobatkan Bielsa sebagai pelatih terbaik di dunia. Sebuah komentar yang tidak main-main, tentu saja.

Masalahnya begini: Pep adalah pelatih muda yang memadukan raihan trofi dengan filosofi permainan cantik nan megah. Sementara, ukuran Bielsa bukan itu. Nama Bielsa tidak akan mungkin masuk dalam daftar pelatih para presiden klub macam Florentino Perez atau Roman Abramovich. Garansi yang diberikan Bielsa bukan dalam wujud trofi.

Sejarah juga mencatat bahwa sebelum Pep menapaki jalan kepelatihan pascapensiun, ia manghampiri Bielsa untuk meminta pendapat kepada sang “guru”, lalu bertukar pikiran mengenai taktik sepak bola.

Lalu apa istimewanya pria tua ini sampai-sampai begitu dikultuskan? Dua kata: gila dan inspiratif.

El Loco atau “si Gila” memang predikat yang melekat di sosok berkebangsaan Argentina ini. Bukan tanpa alasan bila namanya menjadi suatu mazhab dalam sepak bola: Bielsista.

***

Di dunia yang semakin gila, di mana orang-orang telah menjadi gila namun menolak disebut gila, kegilaan Bielsa seperti pemandian air panas di atas gunung: menyegarkan. Ini seperti membenarkan pernyataan sutradara legendaris Jepang, Akira Kurosawa: “Di dunia yang gila, justru si gilalah yang waras.”

Kegilaan, tuan dan puan, tak hanya berlaku bagi saudara-saudara kita yang mengidap ‘penyakit’ mental. Jika ingin sedikit kritis, dalam perspektif Foucauldian, orang-orang gila yang dikurung dalam rumah sakit jiwa adalah opresi kekuasaan elite: individu vis-à-vis negara.

Orang gila di masa dahulu tidak dikerangkeng. Fenomena ini baru terjadi di pertengahan abad ke-17 di Eropa. Michel Foucault, seorang filsuf cum aktivis, menganggap struktur masyarakatlah yang menempatkan kegilaan seseorang sebagai sesuatu yang ‘sakit’, lalu ditempatkan dalam keranjang sampah yang sama seperti, katakanlah, pelacur. Orang gila akhirnya dimasukkan ke rumah sakit, atau dipasung.

Gila harta, gila kejayaan, gila jabatan, serta gila trofi, itu juga bagian dari kegilaan, kan?

Dalam sepak bola masa kini, pragmatisme ala Jose Mourinho adalah syarat bagi lebarnya senyum investor dan kelegaan para suporter. Garansi nomor wahid, jaminan mutu nomor satu. Sepak bola cantik yang ofensif adalah suatu kesia-siaan jika hanya membuat tim sering kebobolan dan tak mendatangkan trofi.

Pep tak akan menarik minat Bayern Munchen dan Manchester City jika CV-nya tidak mentereng. ‘Tiki-taka’ tidak akan menjadi kosa kata populer jika taktik tersebut tidak berbuah piala.

Bielsa, dengan anggun, menancapkan pengaruhnya bukan lewat jaminan trofi. Ia telah menjadi cult hero bagi banyak orang di Cile, Rosario (kota tempat Newell’s Old Boys bernaung), Basque, hingga Marseille.

Silakan sebut figur-figur yang terkultuskan dalam budaya populer, apakah mereka dipuja karena standar umum?

Tidak.

Film-film Alejandro Jodorowsky bukanlah karya yang mendatangkan untung. Tetapi hampir semua film sci-fi  yang kita tonton mulai dari Star Wars (1977), Alien (1979), Terminator (1984), sampai The Matrix (1999), berutang pada Dune.

Pernah menonton Dune? Saya juga belum. Film tersebut tidak jadi dirilis, namun ke-20 kopi film Dune, Jodorowsky sebar ke berbagai studio, lalu ditonton para sineas Hollywood. Selanjutnya adalah sejarah.

Hal yang sama juga berlaku di dunia musik. Band-band seperti Suicide, Television, atau The Melvins, mungkin terdengar asing di telinga Anda, tetapi jejak pengaruh mereka begitu besar. Musik mereka menjadi inspirasi bagi band-band yang lebih mentereng seperti Radiohead, The Strokes, dan Nirvana. Penjualan album tiga band yang saya sebut pertama mungkin tidak sampai ribuan kopi, berbeda dengan tiga band terakhir.

Sepak bola, dunia yang begitu peduli dengan angka, ternyata memungkinkan sosok seperti Bielsa untuk menjadi salah satu lakon utamanya.

***

Dalam rentang tujuh belas tahun karier kepelatihannya (8 klub dan 2 timnas), jumlah trofi yang Bielsa rengkuh tak sampai melebihi kita punya jari. Di level klub, ia cuma berhasil membawa Newell’s Old Boys menjuarai Liga Apertura (1991) dan Liga Clausura (1992). Ia berhasil meraih kembali Clausura tahun 1998 bersama Velez Sarsfield. Pun di level timnas, ia hanya mampu membawa Argentina meraih emas Olimpiade 2004.

Jika generasi kita belum mengenal internet, nama Bielsa mungkin hanya kita anggap sebagai mitos semata. Ini orang sudah lama berkarier, hanya sedikit berprestasi, tapi mendapat banyak pujian? Pasti fiktif!

Lalu  kenapa pula Bielsa sampai dianggap sebagai mahaguru?

Ia adalah idola dari banyak pelatih muda saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang dengan bangga (diakui atau tidak) terinspirasi dari Bielsa. Orang ini sudah seperti Master Yoda yang mana Pep, Gerardo Martino, Jorge Sampaoli, sampai Mauricio Pochettino termasuk sebagai padawan-nya. Golongan orang-orang yang menganut paham Bielsista.

Sampaoli, eks pelatih Cile yang kini mengarsiteki Sevilla punya kebiasaan jogging. Sampai sini tidak ada yang aneh. Tetapi bagaimana jika saya sebutkan bahwa kegiatan itu ia lakukan sembari mendengarkan ceramah Bielsa lewat walkman?

Iker Muniain, yang pernah merasakan sentuhan Bielsa, saat ditanya wartawan apakah Bielsa memang gila, ia menjawab, “Salah. Dia lebih dari itu.”

Tokoh kita yang satu ini adalah sosok yang kelewat obsesif terhadap sepak bola, dengan latar sosial yang sebenarnya begitu mapan. Bielsa mencintai sepak bola, dan rela melakukan ‘bunuh diri kelas.’

Ia besar di lingkungan terdidik. Mayoritas keluarganya memilih karier di bidang hukum dan politik. Saudarinya, Maria Euginia, pernah menjabat wakil gubernur provinsi Santa Fe. Saudaranya, Rafael, bahkan pernah menjadi Menteri Luar Negeri Argentina.

Ketimbang sekadar menjadi ‘rebel without a cause’, Bielsa memilih sepak bola dengan penuh kesadaran. Ia tahu kariernya sebagai pemain tak juga berkembang, maka di umur 25 memutuskan pensiun dan sepuluh tahun kemudian menjalani karier sebagai pelatih.

Jonathan Wilson menyebut Bielsa sebagai salah satu nabi sepak bola. Sebagaimana orang-orang gila lain, selain obsesif, Bielsa juga idealis.

Di setiap klub yang ia tangani, polanya selalu sama: sepak bola menyerang, man-to-man pressing sejak bola berada di pertahanan lawan, yang dilakukan dengan intensitas tinggi. Ia juga mempunyai perhatian mendetail pada penggunaan video dan statistik. Diceritakan bahwa Bielsa memiliki rutinitas menyaksikan dua pertandingan sepak bola dalam sehari.

Risikonya jelas tinggi. Tim-tim asuhan Bielsa selalu mengalami fase loyo akibat pola latihan dan bermain yang begitu menguras energi. Di satu kesempatan, pernah ia membanjiri lapangan latihan karena ramalan cuaca mengatakan esok hari akan hujan.

Ia juga seorang romantik. Dalam suatu peristiwa kekalahan telak, ia mengurung diri. Belakangan ia berkata,

“Saya mengunci diri di kamar. Saya padamkan lampu, menutup tirai, dan saya menyadari makna sebenarnya dari ungkapan yang biasa kita gunakan dengan enteng, ‘Aku ingin mati.’ Saya menangis. Saya tidak dapat memahami apa yang terjadi di sekitar saya. Baik sebagai profesional atau sebagai suporter, saya merana.”

Demikian, Bielsa telah menjadi antidot bagi dunia yang semakin gila ini. Nilai transfer pemain berada di angka yang tak masuk akal, perhelatan sepak bola dengan mengindahkan ketimpangan sosial yang ada, atau bagaimana elite memanfaatkan sepak bola sebagai panjang-tangan kepentingan ekonomi-politiknya.

Yang pasti, penonton netral akan melonjak girang menonton tim yang dikelola Bielsa. Di sisi lain, apa sepak bola hanya selesai di persoalan menang-kalah?

Di lima besar liga-liga Eropa ada masing-masing 18-20 klub yang berlaga. Di kompetisi berformat turnamen ada 32, kesemuanya hanya menyisakan satu podium untuk sang juara. Namun di sepanjang kompetisi, tentu kita disuguhi permainan menarik dari suatu tim, meski kita tahu tim ini takkan mampu menjuarainya.

Meski para jawara yang mendapat sorot perhatian dan puja-puji, toh sampai saat ini kita masih menaruh hormat pada Belanda 1974-nya Rinus Michels, Brasil 1982-nya Tele Santana, dan ehem, timnas Cile di Piala Dunia 2010 yang ditangani Marcelo ‘El Loco’ Bielsa.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com