Analisis

Jerat dalam Prestasi Sepak Bola Usia Dini

Rimba sepak bola selalu menyimpan segudang cerita menarik, mulai dari dongeng yang dihadirkan klub-klub atau negara-negara kejutan dalam suatu turnamen, hingga skandal gelap yang dimiliki para pelakunya.

Publik sepak bola Indonesia sedang dibuai dongeng indah yang dicetak para pesepak bola usia dini yang bermain di tim nasional U-19 dan U-16. Dongeng indah itu bahkan sudah dituturkan dari tahun ke tahun di mana kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan yang berhasil menjuarai ajang Piala AFF U-19 2013 menjadi awalnya.

Ya! Kesuksesan para pemain muda yang lantas dijuluki Garuda Nusantara ini justru menjadi pelepas dahaga puasa gelar tim senior di Indonesia dalam kompetisi senior antarnegara di kawasan Asia Tenggara, apalagi kalau bukan gelar juara Piala AFF dan medali emas SEA Games yang selalu dirindukan.

Dongeng indah itu memang gagal diulang Timnas U-19 di ajang serupa tahun ini, usai dikalahkan seteru abadi —Malaysia— di semi-final Piala AFF U-19 2018. Namun euforia publik kini tertuju ke Timnas U-16 yang berhasil menjuarai ajang AFF U-16 Championship 2018 dengan sejumlah catatan dan rekor gemilang.

Euforia publik kurang lebih sama atau bahkan lebih besar kepada Muhammad Supriadi dan kawan-kawan, yang di usia mereka saat ini mereka bahkan sudah dikenal khalayak sebagai bintang sepak bola. Namun sadarkah mereka bahwa dibalik prestasi itu ada bahaya yang mengintai mereka?

Baca juga: Orang Dewasa dan Ihwal Kegagalan Timnas U-16

Apakah Anda pernah mendengar tumbuhan Nepethes atau lebih dikenal dengan sebutan Kantong Semar? Atau mungkin anglerfish (ikan sungut ganda) yang memiliki nama ilmiah Lophiiformes? Kendati tak membahayakan manusia, keduanya termasuk jenis tumbuhan dan hewan yang memiliki keunikan yang berbahaya. Keduanya sama-sama memiliki “daya tarik” untuk memburu mangsanya masing-masing, ketika mereka menjerat dan menipu si korban sebelum memangsanya.

Kaitannya dengan Anglerfish dan Kantong Semar adalah, prestasi sepak bola usia dini memang patut disyukuri dan dibanggakan, namun jerat dalam prestasi itu tak kalah jauh menggerikan. Kita tentu ingat bagaimana Timnas U-19 di tahun 2013 memiliki agenda yang tak ubahnya sirkus semata bertajuk Tur Nusantara, di mana Putu Gede dan kawan-kawan berkeliling Indonesia untuk menghibur penonton melawan tim-tim lokal di daerah yang mereka singgahi. Plus tentunya, memberi pemasukan fantastis ke kantong federasi.

Ada pula film Garuda 19 yang terinspirasi dari perjalanan karier Evan Dimas dan kolega mengalahkan Vietnam di ajang Piala AFF U-19 lima tahun silam. Film yang dibintangi Mathias Muchus dan Yusuf Mahardika ini semakin mendongrak ketenaran para pemain. Mereka mulai menjadi bintang iklan, diundang ke beberapa talkshow, dan lain sebagainya.

Bahkan kita masih ingat tarik-ulur transfer Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn yang terjadi antara Selangor FA dengan PSSI, lantaran begitu sayangnya sang Ketua Umum pada kedua pemain yang tak ubahnya aset atau alutista berharga yang tak boleh dimiliki negara lain.

Menengok ke belakang, nyatanya banyak pesepak bola yang berprestasi di kompetisi usia dini lantas berubah menjadi bintang dalam semalam. Sebut saja bintang-bintang Primavera sejak era Kurniawan Dwi Yulianto hingga jebolan SAD Indonesia seperti Syamsir Alam.

Si Kurus yang sempat terkena kasus ketergantungan pada obat-obatan di era 1990-an, dan meninggalkan noda di karier salah satu striker terbaik Indonesia dalam sejarah. Sementara nama terakhir kini justru menepi dari lapangan hijau dan memilih berkarier di bidang hiburan sebagai salah satu pembawa acara bertema petualangan.

Baca juga: Ryuji Utomo, Ariel Tatum, dan Gemerlap Dunia Selebritas

Piala Asia U-16

Bahaya Timnas U-16 angkatan 2018 terjerat prestasi mereka

Beberapa waktu lalu Ketua Umum PSSI (yang juga Gubernur Sumatera Utara), Edy Rahmayadi, mengutarakan ide untuk memboyong anak asuh Fachri Husaini ke Medan, Sumatera Utara, untuk melangsungkan training camp jelang Piala AFC U-16, September mendatang. Alasannya karena suhu udara di Malaysia, sang tuan rumah penyelenggara, dinilainya memiliki kemiripan dengan iklim di Medan dan sekitarnya.

Namun berbagai kalangan menilai yang dilakukan sang Ketua Umum terlalu mengontrol tim yang tentu memiliki masa depan  cerah di kemudian hari. Terlebih di dunia maya mulai timbul perdebatan mengenai layak tidaknya fasilitas yang ada di kota Medan dan sekitarnya, untuk menjadi base camp Garuda Asia. Kalian bisa membandingkan dengan fasilitas yang sudah dimiliki PSSI sejauh ini seperti di Sawangan atau Senayan (Lapangan ABC).

Penulis juga mulai berandai-andai, bisa saja nanti ada Tur Sumatera Utara yang dijalani Garuda Asia, bukan uji coba internasional melawan beberapa lawan yang jadi latih tanding mereka demi memperebutkan satu tiket menuju Piala Dunia U-20 di Polandia tahun depan.

Sementara di lain pihak ada kabar mengejutkan datang dari salah satu peserta Go-Jek Liga 1 2018, yakni PSIS Semarang. Melalui sang presiden klub, Yoyok Sukawi, Mahesa Jenar memberikan pernyataan bahwa mereka telah mengikat empat anak asuh Fachri Husaini dengan cara spesial, yakni memberikan beasiswa penuh hingga ke jenjang perguruan tinggi, sebelum akhirnya dikontrak secara profesional oleh klub tersebut.

Keempatnya adalah si kembar Bagus Kahfi dan Bagas Kaffa, Ernando Ari, serta Kartika Vedayanto. Tentu selain PSIS, klub-klub lain juga mulai membidik pemain yang dibentuk dari tangan dingin seorang Fachri Husaini.

Baca juga: Bagas Kaffa dan Bagus Kaffi, Si Kembar yang Mengepakkan Sayap Kanan Timnas U-16 Indonesia

Potensi jerat dalam prestasi tak hanya terjadi di dalam lapangan. Di luar lapangan pun para pemain yang kini tengah menginjak usia remaja juga mulai diganggu dengan hingar-bingar di luar dunia si kulit bundar. Sebut saja Miftahul Husyen Ramatullah dan Rendy Juliansyah yang kerap dilabeli “pemain ganteng” oleh awak media.

Sutan Zico

Mengembalikan Marwah Sepak Bola Usia Dini

Jika menilik kelompok usia muda lainnya, semisal U-10, U-12, atau kategori lainnya, Indonesia sudah cukup bertaji di pentas internasional. Sudah beberapa kali para Garuda Cilik ini mengibarkan bendera Indonesia di podium tertinggi beberapa ajang selevel Piala Dunia seperti Danone Nations’ Cup dan Gothia Cup.

Geliat kompetisi usia dini juga tak pernah padam, selain kompetisi resmi milik federasi yakni Piala Soeratin, beberapa pihak swasta juga gemar menggelar kompetisi usia dini seperti Liga TopSkor atau lainnya. Lantas apakah sebenarnya yang diincar dalam kompetisi sepak bola usia dini?

Dalam hemat penulis, kompetisi usia dini menjadi wadah para bibit-bibit pesepak bola profesional untuk bermain lepas, untuk mengeksplorasi bakatnya, dan tentu untuk mencari kawan-kawan baru. Bukan prestasi yang dikejar, melainkan kematangan diri untuk menjadi pemain dan manusia yang lebih baik di masa depan.

Untuk poin yang terakhir, penulis juga ingat gestur “cium tangan” kepada wasit yang dilakukan tim junior Indonesia di sebuah kejuaraan internasional. Gestur yang menunjukkan sikap sopan santun ini, mirisnya langsung terhenti ketika mereka matang. Lihat saja sikap anarkis para pemain yang masih hobi bermain tinju di lapangan hijau, bahkan wasit pun kerap jadi samsaknya.

Kompetisi usia dini penting bukan hanya untuk melatih skill para pemain, tetapi juga melatih attitude atau sikap para pemain sebagai bekal perjalanan panjang karier mereka di rimba sepak bola, yang tak kalah kejamnya dengan alam liar.

Sayangnya, masyarakat masih abai dan malah terlalu mendewakan anak-anak muda ini, yang dalam hemat penulis bisa saja mereka terkena star syndrome dan justru akan merasa besar kepala di kemudian hari. Ya, begitulah kadang tuntutan dari para penonton.

Yang jelas, semoga saja Timnas U-16 tak lantas dibuai oleh kerlap-kerlip lampu kamera yang mulai menyorot kehidupan mereka, atau tergelincir jatuh ke kawah dosa kenakalan remaja yang justru akan mematikan karier mereka pelan-pelan.

“Dik, jangan terlalu berpuas diri, ya. Jalan kalian masih panjang…”