Christian Vieri, mantan penyerang FC Internazionale Milano dan timnas Italia pernah menunjukkan ketidaksenangannya kepada klub dan pendukung dengan cara yang cukup unik.
Merajuk atau ngambek adalah perilaku yang manusiawi ketika seseorang merasa terganggu oleh sikap dari orang atau pihak lain di sekitarnya. Cara mengekspresikannya pun bermacam-macam. Ada yang secara gamblang meluapkan kemarahan, ada yang berperilaku agresif, ada pula yang memilih mengasingkan diri.
Bagaimana tidak unik, Vieri pernah ngambek dalam kurun waktu yang lama, kurang lebih semusim. Salah satu jurnalis kemudian menyebut pemain ini the grumpiest man in football. Kisah ini terjadi pada musim kompetisi 2003/2004.
Pemain yang akrab disapa Bobo ini memperlihatkan ketidaksukaannya kepada dua pihak, yaitu manajemen Internazionale Milano yang menjadi klubnya saat itu, juga kepada pendukung yang kerap mengritiknya. Caranya berekspresi cukup unik, yaitu dengan tidak melakukan selebrasi sehabis mencetak gol dan memanjangkan rambut.
Musim menyebalkan bagi Bobo semakin lengkap ketika pertengahan tahun 2004 memperkuat timnas Italia di Piala Eropa 2004, ia dituding pers telah menggangu keharmonisan tim karena bersitegang dengan Gianluigi Buffon, hal yang kemudian dibantah oleh kedua pemain. Buntutnya, Vieri kembali kesal dan meninggalkan konfrensi pers begitu saja.
Amarah Vieri disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ia kesal dengan kebijakan transfer klub. Inter pada saat itu menjual Hernan Crespo, rekan duet Vieri pada musim sebelumnya, ke Chelsea. “Musim lalu mereka menjual Ronaldo, lalu menggantinya dengan Crespo. Tapi kini Crespo malah dijual. Anda seharusnya membeli pemain bagus, bukan menjualnya!” ungkap Vieri dengan gusar.
“Saya malah lebih senang jika klub menjual saya saja daripada Crespo,” ungkap Vieri kepada wartawan kala itu. Sang pemain yang menghabiskan masa kecilnya di Australia ini bahkan menegaskan ancaman hengkangnya. “Akan sulit dimengerti jika saya tetap di sini (Inter) hanya untuk mengakhiri musim di posisi kedua, ketiga atau keempat. Kepergian Crespo melemahkan kami,” lanjutnya.
Benar saja, hengkangnya Crespo menjadi salah satu sebab kurang baiknya performa I Nerazzurri pada awal musim 2003/2004 ini, yang kemudian membuat ketajaman Vieri sedikit terganggu. Ia hanya mencetak satu gol dari lima pertandingan awal Serie A.
Ini kemudian menuntun pada alasan kedua amarah Vieri, yaitu kritik bertubi-tubi yang dari para pendukung. Vieri pun sempat menunjukkannya dengan melepas kaos dan meletakkan tangan di samping telinga ketika mencetak salah satu golnya di ajang Serie A.
Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, penurunan performa Inter pada musim 2003/2004 ini boleh jadi merupakan efek negatif yang muncul dari kegagalan demi kegagalan mereka meraih gelar scudetto pada dua musim sebelumnya.
Ketika itu di bawah asuhan Hector Raul Cuper, Inter selalu gagal meraih gelar juara dengan cara yang dramatis. Musim 2001/2002, mereka masih memimpin klasemen hingga pekan terakhir. Namun kekalahan 2-4 dari Lazio membuat gelar terbang ke Juventus. Lalu pada musim 2002/2003, mereka kembali harus mengakui keunggulan Si Nyonya Tua.
Sementara di ajang Liga Champions, musim tersebut mereka terhenti di babak semifinal sebelum dihentikan Milan yang pada tahun tersebut keluar sebagai juara. Kiprah Cuper pun berakhir bulan Oktober 2003 untuk kemudian digantikan Alberto Zaccheroni. Bersama pelatih yang pernah membesut Udinese dan Milan inilah Vieri kurang merasa cocok sehingga menit bermainnya berkurang.
Inter sendiri mengakhiri musim 2003/2004 ini di posisi keempat di bawah Milan, Roma dan Juventus. Di ajang Liga Champions, Inter tampil mengecewakan setelah tersungkur di babak penyisihan grup. Mereka kalah bersaing dengan Arsenal (menghadirkan cerita kedua tim yang saling mengalahkan dengan skor telak, Inter menang 3-0 saat dijamu Arsenal, namun kalah 1-5 saat ganti menjamu Thierry Henry dan kawan-kawan) serta Lokomotiv Moskow.
Sementara dari sisi pencapaian individual, Vieri mencetak 13 gol di ajang Serie A dan empat gol di Liga Champions. Catatan yang cukup apik, namun tidak cukup impresif untuk standar permainan Vieri yang dua musim sebelumnya selalu mencetak lebih dari 20 gol.
Hal ini akhirnya dapat dipahami ketika Zaccheroni kerap merotasinya dengan penyerang-penyerang lain seperti Adriano Leite, Julio Cruz atau Alvaro Recoba, juga melihat usia Bobo yang kala itu sudah menginjak kepala tiga, plus cedera yang kerap mengganggunya.
Vieri pun hanya bertahan semusim lagi di Inter untuk kemudian hijrah ke rival sekota, Milan pada tahun 2005. Sayangnya, performa Vieri justru kurang menggembirakan. Ia gagal menembus tim utama I Rossoneri dan hanya mencetak sebiji gol dari delapan laga. Akan tetapi, Bobo masih menyimpan ambisi tampil di timnas kala Piala Dunia 2006 di depan mata. Oleh sebab itu, ia hengkang ke Monaco pada Januari 2006 demi memperbesar peluang terpilih di skuat asuhan Marcello Lippi.
Namun malang tak dapat ditolak, Bobo malah mengalami cedera lutut parah yang membuatnya absen di Piala Dunia 2006, di mana Italia tampil sebagai juara. Ironis memang, dengan sembilan golnya di Piala Dunia, Bobo bersama Paolo Rossi dan Roberto Baggio merupakan pencetak gol terbanyak Italia di kejuaraan sepak bola terbesar dunia itu.
Kenyataan yang ada, Italia tampil sebagai juara ketika Bobo tidak lagi memperkuat tim. Hal yang sama dialami Inter. Sepeninggal Bobo, Nerazzurri kembali bangkit dan kemudian meraih serangkaian kesuksesan, terutama pada kurun waktu 2006 hingga 2010.
Total sepanjang karier seniornya bersama 13 klub dalam waktu 18 tahun, Vieri ‘hanya’ mampu meraih masing-masing satu gelar juara Serie A Italia, dua buah Piala Italia, serta masing-masing sebuah Piala Winners, Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental. Bersama timnas Italia, Vieri mampu meraup kesuksesan di level junior ketika memenangkan Piala Eropa U-21 tahun 1994 dan 1996. Gelar yang sebetulnya kurang lengkap untuk ukuran seorang penyerang sekaliber Vieri.
Terlepas dari kurang beruntungnya Vieri bersama klub dan timnas, dari aspek teknis, tetap saja tidak ada yang meragukan kemampuan Vieri sebagai penyerang. Dalam performa terbaiknya, penyerang yang mengakhiri karir tahun 2009 di klub Atalanta ini seperti mampu mencetak gol dari sudut mana pun, dengan cara apa pun. Ia adalah model sempurna dari penyerang klasik yang amat berbahaya di kotak penalti. Kebetulan, ia berulang tahun ke-44 pada hari ini 12 Juli 2018.
Selamat ulang tahun, Bobo!