Cerita

Paradoks Sepak Bola Italia dan Para Pemilik Klubnya

Dunia sepak bola heboh oleh Presiden PAOK Thessaloniki, Ivan Savvidis. Saat itu, PAOK mencetak gol di akhir laga, namun dianulir wasit karena dianggap offside. Tak puas dengan keputusan itu, Savvidis merangsek ke lapangan menemui wasit dengan menunjukkan pistol yang ia bawa di balik jaketnya. Peristiwa menggegerkan itu membuat otoritas sepak bola Yunani menghentikan kompetisi sementara dan melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Berbicara mengenai pemilik atau presiden klub, ada hal yang menggelitik, terutama di Italia. Boleh saja orang berkata sepak bola Italia membosankan. Namun, justru terkadang muncul paradoks dalam sebuah fenomena yang terjadi pada manusia.

Kegemaran para Italiano mendramatisir segala aspek di sepak bola, di sisi lain menghasilkan karakter pemilik atau presiden klub yang akan susah dicari padanannya di negeri lain. Berikut beberapa karakter unik orang-orang yang sedang atau pernah menjadi orang nomor satu di klub-klub Italia:

 

Berlusconi masih menunjukkan kecintaannya pada AC Milan

Flamboyan dan eksentrik

Karakter yang sangat pas diasosiasikan dengan mantan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi. Pengusaha di bidang media tersebut sangat ingin tampil sebagai figur yang populer. Salah satu niatannya mengakuisisi AC Milan pada era 1980-an, juga agar namanya terangkat di Italia. Dan hebatnya, Berlusconi sukses. Gelontoran uangnya dahulu mampu membuat AC Milan punya segudang prestasi (terutama di Liga Champions), yang tentu ini membuat namanya semakin naik ke permukaan.

Karakter Milan era Berlusconi pun dipengaruhi persona sang patron. Dengan filosofi vincere e vince (menang dan meyakinkan), permainan Rossoneri pada masa jayanya dulu sangat eye-catching, seperti karakter eksentrik Berlusconi. Tetapi, tak ada istilah makan siang gratis. Kesuksesan Milan memang Berlusconi tujukan untuk memopulerkan dirinya demi ambisi politik. Dia sukses empat kali menjadi Perdana Menteri Italia ketika masih memiliki Milan.

Namun, seiring kondisi keuangan perusahan Berlusconi yang semakin tak menentu, Milan pun ikut merosot jelang akhir-akhir masa kepemilikannya. Seirama dengan hal itu, karier politiknya juga menurun. Kini Milan sudah beralih tangan ke pengusaha China, Yonghong Li. Namun, sepertinya dia sangat jauh dari pemimpin penuh karakter seperti Silvio Berlusconi.

Hal senada juga terjadi pada Aurelio de Laurentiis, pemilik Napoli. Dia adalah pemilik klub yang haus akan eksistensi, bahkan eksentrik. Seringkali isu transfer atau perpanjangan kontrak pemain Napoli pertama kali diumumkan via akun Twitter pribadi miliknya, daripada lewat pengumuman resmi klub. Dengan latar belakang dunia perfilman, mungkin De Laurentiis ingin menunjukkan bahwa di balik sebuah tontonan menarik (yang ada di Napoli), ada produser (pemilik klub) yang menyokong hal tersebut. Laurentiis juga pernah walk-out dari rapat penentuan jadwal Serie A, lalu kabur dengan membonceng vespa orang yang tak dikenalnya.

De Laurtentiis secara tak langsung juga menegaskan bahwa dirinya-lah sang regista (sutradara) di balik kesuksesan Napoli di era sepak bola modern ini. Memang benar, bahwa semenjak diambil alih produser film tersebut pada tahun 2004, Napoli perlahan menjelma menjadi kekuatan sepak bola di Italia yang sangat diperhitungkan saat ini.

Borjuis yang low profile

Keluarga Agnelli, pemilik Juventus adalah konglomerat otomotif melalui perusahaan, Fabbrica Italiana Automobile Turin (FIAT). Sejak dimiliki keluarga Agnelli dari 1923 hingga kini, Juventus telah mendominasi Italia dan sudah koleksi dua trofi Liga Champions. Ikatan cinta Juve dan Agnelli sudah hampir satu abad, dan mungkin karena itulah karakter antara dua entitas ini berkelindan.

Meski pebisnis yang masyhur, keluarga Agnelli tak gila popularitas dan menarik atensi berlebihan. Permainan Juventus pun begitu. Meski hampir setiap musim diperkuat pemain-pemain kelas dunia, tetapi Juventus jarang memainkan sepak bola yang begitu atraktif. Prinsip manajemen bisnis seperti efektif, efisien, fleksibel, dan beroroentasi pada target (kemenangan), itulah gambaran umum dari Juventus.

Andrea Agnelli, adalah keturunan Agnelli keempat yang menjadi Presiden Juventus. Sama seperti karakter pendahulunya, Andrea cenderung low profile. Meski sering mengamati Juventus secara langsung, dirinya jarang berkomentar tentang pertandingan, lawan, atau isu transfer pemain.

Berbeda dengan Andrea Agnelli, James Pallotta (pemilik Roma) lebih bergaya American way. Membeli klub sepak bola lebih berorientasi bisnis, daripada kecintaan pada olahraga ini. Tidak seperti Malcolm Glazer yang mencari pelunasan utang di Manchester United, Pallotta lebih mirip John W. Henry-George Gillet (Liverpool), pebisnis olahraga yang melebarkan sayap di sepak bola. Pallotta jarang tampil di publik. Selain hanya bisnis, lagipula Pallota bukanlah sosok gila bola sejati. Maka tak heran dia jarang jadi pusat atensi, terlebih bagi maniak bola seperti publik Italia.

 

Karakter menengah

Internazionale Milano sangat lama dimiliki oleh duo Moratti, Angelo dan Massimo. Dengan topangan bisnis minyak, Massimo Moratti memimpin Nerazzurri hampir lebih dari dua dekade sejak tahun (1995-2013). Moratti termasuk royal. Inter tidak segan membeli bintang berharga mahal demi memoles diri agar kompetitif. Ditangan Moratti, Inter masih satu-satuya klub yang sukses mengawinkan tiga gelar (Serie A, Coppa Italia dan Liga Champions) di satu musim, tepatnya pada 2009/2010.

Moratti bertingkah seperti presiden pada umumnya, yang suka memberi komentar tentang timnya, laga, lawan atau isu transfer. Akan tetapi, Massimo Moratti tidak terlalu populer meski dirinya juga lebih dari sekadar low profile, karena namanya berkali-kali menjadi headline di berbagai media-media olahraga. Bisa dikatakan karakter Moratti berada di tengah-tengah antara Berlusconi dan Agnelli, tak begitu populer namun juga tidak begitu pasif.

Kini, meski dimiliki secara mayoritas oleh pegusaha Cina, Presiden Inter masih dipegang oleh pengusaha Indonesia, Erick Thohir. Karakter Thohir, hampir sama dengan Massimo Morratti. Thohir tak terlalu memancing perhatian publik, (kecuali tragedi “trio Belanda”). Namun, ia juga tak lepas begitu saja dari perhatian penikmat berita sepak bola. Dirinya toh acapkali memberi komentar tentang Inter, laga atau pun seputar rumor transfer.

Manusia penuh kegilaan

Pemimpin di klub Italia yang masuk kategori ini yakni Maurizio Zamparini dan Massimo Ferrero. Tetapi, wujud over-eksentrisme atau “kegilaan” dua orang ini berbeda. Zamparini adalah pemilik klub yang sangat hobi memecat pelatih. Sudah lebih dari satu kodi nama pelatih yang pernah dipecat oleh pemilik Palermo tersebut. Hal gila ini tentu menjadi sejarah tersendiri di dunia sepak bola.

Awal tahun 2017, jabatan Presiden Palermo sempat diemban Paul Baccaglini, pria Amerika-Italia yang juga tak kalah menarik perhatian karena full-body tatto yang ia punya. Namun, Baccaglini mundur karena alasan finansial dan posisi itu belum lagi diambil oleh Zamparini. Mungkin, jika tangan Zamparini masih gatal untuk menandatangani surat pemberhentian pelatih, suatu saat dia kembali menjadi Presiden Palermo kembali.

Sedangkan kegilaan pada Massimo Ferrero lebih pada aksi nyentrik­-nya ketika mendukung langsung Sampdoria di tribun stadion. Berteriak, berjingkrak-jingkrak layaknya tifosi sungguhan atau melilitkan syal di kepala (bukan di leher) adalah gimmick yang begitu lekat dari karakter seorang Massimo Ferrero.

***

Masih banyak karakter unik pemilik atau presiden klub lain di Italia. Seperti Claudio Lotito (pemilik Lazio), sosok kontroversial dan sangat alot bernegosiasi jika ada klub besar meminati pemain Lazio. Atau Antonio Percassi (presiden Atalanta), yang kedapatan menyambangi langsung di depan tribun pascalaga, manakala tifosi klubnya berbondong-bondong awayday ke Jerman untuk meladeni Borussia Dortumnd di Liga Europa.

Fenomena-fenomena seperti di Italia sangat bertolak belakang dengan negara lain. Di Inggris, hanya Roman Abramovich atau mentok Syeikh Mansour, nama pemilik-pemilik klub yang cukup rutin jadi headline media. Di Spanyol, barangkali Florentino Perez dan Josep Bartomeu yang sosoknya sangat publik figur sebagai pimpinan klub sepak bola.

Di Jerman? Paling hanya Uli Höness (Bayern) atau Joachim Watzke (Dortmund), yang namanya hanya muncul kalau ada pemain Die Borussen yang diisukan pindah. Di Prancis, cuma Nasser Al-Khelaifi yang rajin diberitakan secara masif.

Sangat berbanding terbalik jika melihat Italia. Tingkah laku “gila” Massimo Ferrero yang sebatas pemilik klub menengah seperti Sampdoria pun tak cuma jadi konsumsi tingkat nasional di sana, namun juga mungkin dinikmati dunia sepak bola secara luas. Tetapi, inilah bukti bersandingnya wujud karakter unik pemilik atau presiden klub dengan sepak bola membosankan seperti Italia. Paradoks, ketika dua hal berlainan seperti karakteristik kuat dan sifat membosankan berdampingan. Tetapi, justru itulah kenapa banyak orang menyukainya.

Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)