Serba-serbi jelang dimulainya ajang olahraga terbesar seperti Piala Dunia 2018, selalu menarik dinikmati dengan seksama. Salah satu yang paling krusial adalah soal pemilihan pemain-pemain yang berlaga di Rusia nanti.
Kejutan, entah dalam arti kekaguman atau sinisme, muncul manakala beberapa tim, terutama kontestan bereputasi besar, mengumumkan susunan 23 pemain yang akan mereka andalkan. Bagaimana konstelasi mengenai siapa yang berangkat atau siapa yang dicampakkan begitu terasa tensinya di sosial media.
Sususan pemain pada negara-negara favorit seperti Jerman, Prancis, Argentina, Belgia, Brasil atau Spanyol, misalnya, mendapat reaksi beragam di sosial media. Mulai dari ketertegunan, skeptisme, atau sinisme bercampur dalam euforia ataupun kritik nan hujatan. Reaksionernya warga maya tentang soal susunan pemain-pemain di kompetisi macam Piala Dunia, mungkin lebih diakibatkan arus informasi yang begitu cepat dan merata saat ini.
Padahal, perkara tentang pemain yang diabaikan atau nama kejutan yang mendapat tiket ke Piala Dunia, sudah hadir sejak dulu. Misalkan, kita tengok sejenak cerita aneh di Piala Dunia 2010 lalu. Di gelaran yang pertama kalinya Piala dunia digelar tidak di Benua Eropa atau Amerika itu, polemik soal pemilihan susunan pemain sebuah tim sudah menjadi “pergunjingan besar”.
Ada yang lebih “gila”
Kita bisa melihat ketika Argentina, yang 2010 lalu dilatih oleh legenda hidup Diego Maradona. Premis yang mengatakan bahwa pemain hebat tak selalu bermuara menjadi pelatih hebat, terbukti dengan nyata pada diri sang pencetak Gol Tangan Tuhan tersebut.
Meski dibekali banyak talenta hebat, El Diego tak serta merta dengan cerdik nan bijak memilih serta menggunakan sumber daya yang ada di Argentina. Dia tak memanggil Juan Roman Riquelme, karena faktor masalah pribadi. Padahal saat itu khalayak meyakini, Riquelme mampu membantu Lionel Messi bermain sama baiknya di timnas seperti apa yang ia tampilkan bersama klubnya. Sesuatu yang hingga kini pun masih belum ditemukan solusinya.
Alhasil, Maradona menggunakan jasa Juan Sebastian Veron. Sang gelandang plontos itu diharapkan mampu menemani Messi berfantasi ketika berada di lapangan hijau. Bahkan, Messi dan Veron sampai-sampai disengajakan untuk satu kamar dalam kamp Argentina di Afrika Selatan kala itu. Tujuannya? Tak lain agar chemistry dua orang itu cepat terjalin. Namun hasilnya? Argentina tetap gagal.
Ketika Radja Nainggolan tak dipanggil akibat masalah pribadi dengan Roberto Martinez, sebenarnya hal itu tak seberapa dibanding “kegilaan” Maradona dalam memilih pemain. Sosial media bereaksi keras pada pengabaian Nainggolan. Namun, bagaiamanakah sosial media hari ini bereaksi, andai peristiwa Ariel Ortega dipanggil ke skuat Argentina 2010 hanya karena Maradona melihatnya mengangkat trofi Piala Dunia lewat bunga tidur alias mimpi, kembali terulang?
Hak prerogatif pelatih
Dalam dinamika sosial media hari ini, sepertinya kita bisa sedikit menarik kesimpulan bahwa banyak pelatih di tim-tim Piala Dunia “tak waras” dalam benak warga maya. Julen Lopetegui dicerca karena tak membawa Sergi Roberto dan Hector Bellerin, lalu lebih memilih Alvaro Odriozola misalnya, atau banyak yang mempertanyakan kenapa Joachim Löw membuat Leroy Sane terduduk manis di rumahnya pada musim panas ini.
Banyak yang tertawa ketika Danny Welbeck masuk skuat Inggris atau orang dibuat heran, meski Benjamin Mendy hampir menghabiskan seluruh musim ini di Twitter dan ruang rehabilitasi cedera ketimbang beraksi di lapangan, dia tetap berada di Rusia nanti bersama skuat Prancis. Atau tengok saja nasib top skor Serie A musim 2017/18 ini, Mauro Icardi, yang akan menjadi penonton saja di rumah.
Di luar semua peristiwa di atas, ternyata ada hal yang sering kita abaikan sebagai warga maya, yakni hak prerogatif pelatih. Pemain mana yang berangkat ke Piala Dunia atau siapa yang hanya menonton rekan satu timnya beraksi via saluran teve, adalah keputusan para pelatih-pelatih negara kontestan itu sendiri.
Tentu, kita sebagai wargamaya punya pandangan, impian, dan hasrat. Terlebih ketika menanti penampilan internasional pemain-pemain yang berada di klub favorit kita. Dan wargamaya pun berhak untuk mengkritisi soal timnas-timnas jagoan mereka.
Tetapi, pertanggungjawaban akan hasil di lapangan tetaplah ada di pundak para pelatih. Lagipula, ada berbagai faktor kenapa pemain tertentu tak dibawa pelatih timnas ke Piala Dunia. Mulai dari performa, pengalaman, reputasi, kebutuhan taktik, kesiapan fisik dan mental si pemain, atau bahkan selera subjektif sang pelatih pada pemain plihannya. Semua sang pelatih lakukan demi hasil.
Urutan konstelasi dan eskalasi sosial media mulai dari pra hingga pasca-Piala Dunia 2018 kira-kira begini. Ketika excitement (kesenangan) terhadap pemain atau timnas tertentu tak menemui fulfillment (pemenuhan) pada kenyataan, maka muncullah disappointment (kekecawaan). Kalau sudah begini, obatnya hanyalah expectation (harapan) yang terbaik untuk gacoan di Piala Dunia, di mana ketika hal ini tak berujung objectifion (perwujudan) sesuai angan-angan, maka judgement (penghakiman) terutama via sosial media sudah pasti tak terelakkan.
Jadi, simpanlah energi kita sebagai wargamaya untuk bereaksi soal siapa yang dicoret atau siapa yang justru kita tonton pada tengah bulan ini hingga bulan depan. Lagipula, sesering apapun sosial media bereaksi, hak prerogatif para pelatih timnas di Piala Dunia 2018 tetaplah yang utama. Toh, bila nanti saatnya telah tiba (hasil tak sesuai ekspektasi dialami timnas favorit), aspirasi kita akan terasa objektif dan lebih make sense. Bukankah begitu?