Dalam kurun beberapa pekan terakhir, kabar mengenai keinginan Gianni Infantino, presiden federasi sepak bola dunia (FIFA), guna merancang format anyar untuk Piala Dunia Antarklub terus membahana. Lelaki Italia itu ingin melakukan ekspansi jumlah peserta dari yang sebelumnya 7 klub menjadi 23 kontestan. Konon, keinginan Infantino melakukan hal tersebut karena mendapat suntikan dana masif dari sejumlah pihak.
Tak hanya itu, FIFA pun bakal kebanjiran fulus (konon jumlahnya mencapai 25 miliar dolar AS) dari sponsor dengan keberadaan turnamen yang rencananya diselenggarakan empat tahun sekali tersebut. Akan tetapi, rencana tak terduga Infantino juga beroleh tentangan dari beberapa kalangan. Salah satunya adalah Andrea Agnelli, chairman Juventus yang juga ketua asosiasi klub-klub Eropa (ECA).
Menurut Agnelli, apa yang disampaikan oleh Infantino sungguh tidak rasional karena hasrat pria berkepala plontos tersebut dalam melakukan perubahan didorong oleh keinginan kuat untuk memperoleh pundi-pundi fulus yang lebih banyak semata. Artinya, hanya aspek bisnis saja yang dipertimbangkan.
Benar jika klub-klub papan atas Eropa ingin menggamit uang dalam jumlah masif tiap musimnya, namun Agnelli menawarkan cara yang lebih masuk akal ketimbang apa yang diungkapkan Infantino sebab peningkatan kualitas dari tim yang berkompetisi juga wajib dipikirkan secara detail.
Salah satu cara yang dirasa Agnelli layak adalah melakukan ekspansi untuk kompetisi Liga Champions. Tidak dengan menambah jumlah peserta tapi cukup dengan mengubah formatnya saja. Misalnya, jika selama ini 32 klub yang mentas di babak penyisihan terbagi dalam 8 grup dan masing-masing berisikan 4 kesebelasan sehingga mereka akan merumput sebanyak 6 kali, Agnelli justru ingin memadatkan pembagian grup di babak penyisihan dengan membagi para kontestan ke dalam 4 grup saja. Artinya, masing-masing grup dihuni oleh 8 tim dan mereka akan berjibaku di 16 pertandingan sebelum lolos ke fase berikutnya.
Dengan jumlah demikian, Agnelli yakin jikalau pendapatan klub-klub Eropa bakal mengalami peningkatan yang signifikan, termasuk dari hak siar televisi dan sponsor. Di sisi lain, ia juga mengatakan bahwa pengurangan jumlah pertandingan pada ajang domestik tentu wajib dilakukan. Tidak menutup kemungkinan apabila jumlah divisi di liga suatu negara terpaksa dikebiri.
“Kami semua ingin pertandingan yang lebih banyak di kancah Eropa dan mengurangi laga pada kompetisi domestik. Berdasarkan hal itu, kami pun memikirkan hal yang sama yaitu mengajukan proposal demi perubahan tersebut”, jelas Agnelli seperti dilansir Guardian.
Meski demikian, muncul pula kecurigaan jika rencana ekspansi Liga Champions bakal dimanfaatkan oleh klub-klub, salah satunya tentu Juventus, buat mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya sekaligus memangkas jarak finansial dengan tim-tim asal Inggris yang dari pendapatan hak siar saja, dapat memperoleh kocek senilai 8,4 miliar paun selama 2016-2019.
Seperti yang sama-sama kita ketahui, klub-klub Liga Primer Inggris begitu mudah mendapatkan dana segar lantaran komersialisasi masif yang dilakukan oleh otoritas liga. Usai terlibat kasus Calciopoli di tahun 2006 silam, I Bianconeri memang berkembang jadi salah satu entitas terbaik di Italia. Selain membangun stadion sendiri, mereka juga sukses mendulang berbagai prestasi, termasuk tujuh gelar Scudetto secara beruntun.
Alhasil, pendapatan Juventus pun meroket sampai 563 juta euro di tahun kemarin atau meningkat 45% sejak Agnelli mengambil alih tampuk kepemimpinan pada tahun 2010 lalu. Tak berhenti sampai di situ, Agnelli pun meminta kepada tim-tim asal Italia lain supaya dapat mencontoh langkah mereka sehingga dapat meningkatkan keuntungan sekaligus memperkuat jenamanya.
Menurut Agnelli lagi, rencana yang ia ajukan ini tidak akan serta merta diterapkan. Melainkan menunggu sampai tahun 2024 di mana UEFA dan perwakilan klub-klub seantero Benua Biru telah menyetujui format yang dipakai sekarang. Namun saat disinggung jika rencana yang ia miliki tak ubahnya kompetisi breakaway teruntuk klub-klub papan atas Eropa saja, Agnelli pun tak menampik.
“Bila kita dapat mendiskusikannya dengan asosiasi sepak bola dari negara-negara Eropa, otoritas liga di Benua Biru, UEFA serta klub-klub yang ada, kurasa itu adalah satu evolusi normal dan umum terjadi”, paparnya lagi.
Pertentangan di antara Agnelli dan Infantino juga berhubungan dengan penerapan rencana masing-masing. Jika Agnelli punya waktu sekitar enam tahun buat menggodok dan mematangkan apa yang ia mau, Infantino malah terkesan buru-buru mewujudkan rencananya.
Ketidaksepahaman Agnelli dengan kompatriotnya itu pun tampak setelah ECA mengirimkan surat komplain kepada FIFA gara-gara sejumlah asosiasi sepak bola (khususnya yang tampil di Piala Dunia) memanggil pemainnya lebih cepat meski kompetisi yang diikuti klub pemilik sang pemain belum sampai di garis finis.
Khalayak pun meyakini jika Agnelli tidak akan mengubah pendiriannya terkait rencana mengubah sepak bola Eropa seperti yang telah ia kemukakan. Keengganan untuk mengiyakan hasrat Infantino adalah sinyal jelas penolakan darinya baik sekarang ataupun nanti.