Cerita

Mengapa Proyek Galacticos Jarang Berhasil di Kancah Sepak Bola Indonesia?

Sejak dipopulerkan oleh Real Madrid, istilah Galacticos kini dipakai untuk merujuk kepada tim super bertabur bintang. Bahkan istilah ini tidak hanya dipakai di sepak bola saja, tetapi juga di olahraga lain. Seluruh dunia kemudian mengadopsi konsep dari Galacticos ini, termasuk di kancah sepak bola Indonesia.

Tetapi yang berbeda, nasib apes lebih sering dialami oleh tim Galacticos di kancah sepak bola Indonesia. Mulai dari Pelita Jaya pada tahun 1996, hingga musim lalu, bagaimana Persib Bandung menggunakan tagline “The Golden Era”, semuanya nyungsep. Tidak ada yang benar-benar berprestasi dengan maksimal. Tentu patut dinantikan pencapaian Sriwijaya FC dan Madura United yang mengumpulkan para pemain kelas satu untuk skuat mereka yang berlaga di Liga 1 musim ini.

Tidak perlu jauh-jauh, contoh terbaik ada di negeri seberang. Johor Darul Ta’zim (Malaysia) dan Muangthong United (Thailand) menggunakan konsep yang hampir serupa. Dan sejauh ini, mereka berhasil menjadi kekuatan dominan di kompetisi masing-masing. Tagline Dream Team yang digunakan Muangthong atau Superteam yang digunakan Johor Darul Ta’zim memang terejawantahkan dalam prestasi mereka.

Lalu, mengapa hal tersebut tidak bisa terjadi di sepak bola Indonesia?

Sorotan publik dan kekuatan yang tanggung

Terlepas dari faktor-faktor lain, terutama yang sifatnya non-teknis, ada dua penyebab besar mengapa sistem Galacticos seringnya tidak bisa berhasil di kancah sepak bola Indonesia. Yang pertama tentu adalah sorotan media. Dengan berkumpulnya para pemain bintang, sudah pasti publik yang diwakili media akan menyorot tim tersebut secara keseluruhan.

Sorotan dari publik ini kemudian membuat tekanan kepada tim tersebut lebih besar. Setiap berita dari semua elemen tim, mulai dari pemain, pelatih, hingga manajemen, kemudian menjadi sorotan. Tekanan kemudian datang, yang berimbas kepada tidak maksimalnya penampilan tim.

Secara tidak disadari, para suporter tentu berharap barisan bintang di lini pertahanan Persik Kediri pada tahun 2008 akan sulit dijebol. Maklum, saat itu mereka diisi gerbong PSMS Medan yang sulit ditaklukkan. Mulai dari kiper Markus Haris Maulana, bek tengah Usep Munandar, hingga bek kiri ikonik, Mahyadi Panggabean. Hal serupa juga terjadi ketika Carlton Cole mendarat di Bandung. Tidak sedikit Bobotoh yang berekspektasi penyerang asal Inggris ini bisa mencetak banyak gol.

Semua karena sorotan media, yang kemudian berimbas kepada pandangan publik. Di sisi lain, tidak semua pemain bisa mengatasi tekanan tersebut, sehingga kemudian penampilan mereka banyak terpengaruh oleh hal ini.

Poin kedua boleh jadi adalah alasan utama yang membuat mengapa Galacticos jarang berhasil di kancah sepak bola Indonesia. Yaitu soal kekuatan yang sangat tanggung. Ketika satu tim mendaratkan beberapa pemain bintang, tim tersebut sudah langsung mendapatkan predikat sebagai Galacticos.

Padahal, masih ada banyak aspek dan faktor lain yang mesti dipertimbangkan. Terlebih karena seharusnya istilah Galacticos disematkan kepada tim yang di setiap lininya dipenuhi oleh pemain bintang. Ini pun dengan catatan, pemain bintang yang tengah dalam waktu terbaiknya bukan pemain bintang yang masa-masanya sudah lewat.

Kekuatan yang tanggung adalah yang paling mencolok dari tim-tim yang sempat mendapatkan predikat sebagai Galacticos di Indonesia. Kebanyakan mendaratkan pemain di sektor tertentu, dan seakan melupakan sektor yang lain. Ada ketimpangan besar antarlini di tim sepak bola Indonesia yang sempat mencanangkan proyek Galacticos.

Misalnya Arema di Liga Super Indonesia 2013. Mereka memang memiliki lini depan luar biasa yang diisi Keith Kayamba Gumbs, Greg Nwokolo, Beto Goncalves, dan Cristian Gonzales, tetapi lini tengah mereka masih belum matang. Pada musim tersebut, Arema mengandalkan Hendro Siswanto dan Dedi Kusnandar yang saat itu masih belia dan belum memiliki banyak pengalaman.

Atau tim Galacticos Mitra Kukar semusim sebelum Galacticos versi Arema. Lini belakang hingga lini tengah Naga Mekes saat itu memang diperkuat nama-nama mentereng. Mulai dari Hamka Hamzah, Isnan Ali, Arif Suyono, hingga Ahmad Bustomi. Legiun asing di dua lini tersebut pun luar bias, sebab ada Pierre Njanka dan Nemanja Obric. Tapi sayangnya lini depan mereka tidak seistimewa sektor lainnya. Marcus Bent gagal menampilkan permainan terbaik, sementara Jajang Mulyana saat itu masih belum banyak pengalaman.

Selain permasalahan pemain, soal pelatih juga yang membuat sistem Galacticos tidak bisa berjalan dengan baik di sepak bola Indonesia. Yang sering terjadi adalah, tim sudah diperkuat para pemain bintang kelas satu, tetapi tim tidak ditangani oleh pelatih yang juga berkelas. Misalnya di tim Galacticos Persik Kediri pada tahun 2008, mereka menunjuk Arcan Iurie yang harus diakui sudah banyak kehilangan sentuhan magisnya. Arcan kemudian digantikan Aji Santoso yang masih hijau.

Begitu pula dengan Galacticos Persija Jakarta pada tahun 2004. Saat itu, kiper Mukti Ali Raja yang dilapis oleh Syamsidar muda yang tengah menanjak karier timnasnya di level junior. Aples Tecuari, Aris Indarto, dan Budiman menjadi bintang di lini pertahanan. Lini tengah diperkuat oleh Ismed Sofyan, Elie Aiboy, Agus Indra, dan gelandang asing, Gustavo Hernan Ortiz. Sementara itu, lini depan disesaki oleh nama-nama penyerang berkelas yaitu Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, dan Emmanuele De Porras. Sayangnya, pelatih yang ditunjuk manajemen adalah Carlos Cambon yang tidak jelas rekam jejak kerjanya, hingga mereka kemudian terpaksa menggantinya dengan Sergei Dubrovin pada putaran kedua.

Kekuatan yang tanggung tersebut merupakan kesalahan pemahaman dari Galacticos sendiri. Sepak bola Indonesia hanya menyerap istilah Galacticos dari segi pengumpulan pemain bintang saja, bukan untuk membuat tim super yang dilakukan Johor atau Muangthong. Karena apabila memang merupakan proyek yang ambisius, sebuah tim tentu akan mendaratkan pemain berkelas dari kiper sampai lini penyerangan, juga pelatih kualitas top.

Soal Galacticos tidak melulu soal uang, toh kita bisa melihat bagaimana Persib yang kepayahan musim lalu padahal sudah sampai mengeluarkan gelontoran dana yang kabarnya hampir mencapai 100 miliar rupiah. Boleh jadi soal dana, bukan besarannya, tetapi efektivitas dari penggunaan dana besar tersebut untuk menjadi sebuah tim super yang masuk kategori sebagai Galacticos.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia