Cerita

Membedah Proses Naturalisasi Pemain Asing di Indonesia, di Antara Kebutuhan, Kepentingan, dan Pilihan Pribadi

Sejak pertama kali terjadi pada 2010, proses pemberian status warga negara Indonesia kepada pemain asing, atau lebih dikenal dengan sebutan naturalisasi, telah berlangsung beberapa kali. Mulai dari pemain-pemain yang memang memiliki garis keturunan asal Indonesia seperti Stefano Lilipaly, dan Raphael Maitimo, hingga mereka yang tidak memiliki garis keturunan sama sekali namun telah memenuhi syarat-syarat tertentu menurut hukum Indonesia, seperti Cristian Gonzales, Bio Paulin, dan yang terbaru di musim 2018 ini, Alberto ‘Beto’ Goncalves dan Esteban Vizcarra.

Melihat perkembangannya, proses ini diperkirakan belum akan berhenti dalam beberapa tahun ke depan. Meski begitu, fenomena ini terus menimbulkan diskusi, yang mayoritas bernada negatif. Aksi ini dianggap sebagai cara instan yang dilakukan PSSI untuk mendongkrak prestasi timnas Indonesia, yang sayangnya hingga kini masih belum membuahkan hasil.

Pertanyaan yang muncul pun itu-itu lagi, seolah tak pernah puas dibahas: mau sampai kapan PSSI mengandalkan cara ini? Apalagi saat ini bukan hanya federasi yang melakukannya, namun pihak klub juga mulai melihat hal ini sebagai celah untuk mengakali peraturan jumlah pemain asing yang ada di Liga 1.

Demi raihan prestasi hingga keinginan pribadi 

Proses naturalisasinya pemain asing pada dasarnya adalah hal yang sah-sah saja jika merujuk pada peraturan hukum Indonesia. Dalam sebuah diskusi mengenai status para pemain naturalisasi di Jakarta yang dihadiri penulis, Deputi Sekjen PSSI, Marco Garcia Paulo, mengungkapkan bahwa langkah ini akhirnya dimanfaatkan PSSI sejak 2010 silam demi kepentingan tim nasional Indonesia menghadapi turnamen.

Meski begitu, prosesnya diakui tidak mudah. Tidak sembarang pemain yang dipilih, dan semuanya harus menjalani pertimbangan matang, meski belum ada acuan pastinya sampai sekarang. Sebab, harapannya pemain tersebut tetap memberikan manfaat bagi sepak bola Indonesia dan menjadi warga negara yang baik, khususnya setelah pensiun. Jadi, tidak hanya dipertimbangkan sebagai ‘tentara bayaran’ yang siap membela timnas saja, namun lebih dari itu.

Tapi harus diakui, ketidakpastian acuan dalam memilih pemain naturalisasi kadang berakibat hal yang tak menyenangkan. Contohnya saja Tony Cussell dan Johnny van Beukering, yang saat ini sudah kembali ke Belanda tanpa ada sumbangsih signifikan bagi sepak bola Indonesia, kecuali hanya menjadi bahan lelucon. Atau Diego Michiels, yang meskipun performanya mampu bersaing di sepak bola nasional, namun kerap tersangkut kasus di luar lapangan.

Baca juga: Para Pemain Naturalisasi yang Tak Dilirik Timnas Indonesia

Hal ini yang harus disadari klub-klub jika mereka membantu proses naturalisasi. Jangan sampai mereka hanya memikirkan kepentingan teknis jangka pendek untuk menambah kualitas tim dengan membawa ‘sekumpulan pemain lokal rasa asing’ demi meraih prestasi instan, namun tak memikirkan hal-hal lain, seperti misalnya kurang memberikan perhatian lebih pada pembinaan pemain muda dan hanya memikirkannya sebagai syarat lolos verifikasi saja.

Tak bisa dipungkiri, menaturalisasi pemain asing yang sudah lama berkecimpung di sepak bola nasional memang cukup menggoda. Azrul Ananda, Presiden Persebaya, di tempat yang sama, tidak menyangkal hal tersebut. Bahkan hal itu dianggap wajar, karena selain memang dilegalkan, menurutnya memang sudah sifat alamiah sebuah klub untuk memakai segala cara untuk meningkatkan prestasi, termasuk mencari celah dalam sebuah peraturan. Apalagi tekanan untuk berprestasi secara instan juga besar, baik dari suporter maupun dari internal pengurus klub.

Namun ia kembali mengingatkan, proses yang tepat dan tak terburu-buru dalam membangun klub juga bisa membawa klub menuju kestabilan dan meraih prestasi di masa depan. Itu sebabnya, proses instan harus sebisa mungkin diminimalkan.

Mindset membangun klub secara perlahan ini yang sebaiknya dimiliki klub-klub Indonesia, terutama mereka yang sistem akademinya belum rapi. Apalagi, seperti kita ketahui bersama, mayoritas pemain yang dinaturalisasi usianya sudah menjelang atau di atas 30 tahun, sehingga waktu edarnya sebagai ‘pemain lokal’ tergolong sebentar. Seperti yang sudah dikatakan, hanya berlaku untuk jangka pendek, dan belum tentu membawa prestasi juga.

Sementara itu, bila proses naturalisasi bisa memunculkan pandangan negatif kepada federasi dan klub, sulit untuk bersikap demikian jika melihat dari sudut pandang pemain. Mantan pemain Persik Kediri, Ronald Fagundez, berujar bahwa itu adalah hak masing-masing pemain untuk memilih pindah kewarganegaraan. Bila federasi atau klub bersedia membantu, hal ini lebih baik lagi.

Pilihan pribadi ini biasanya muncul karena sang pemain sudah merasa nyaman tinggal di Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah lama bermain di Indonesia, bahkan sampai memiliki keluarga di sini. Beberapa dari mereka bahkan tak begitu berharap akan panggilan timnas, seperti Herman Dzumafo dan Beto.

Seperti halnya banyak imigran yang memenuhi Benua Eropa, keputusan mereka untuk menjadi warga negara Indonesia mungkin karena ingin memiliki kehidupan yang lebih baik, yang bisa mereka dapatkan di negeri ini. Bila ternyata keputusan itu bisa memudahkan mereka menjalani karier di sepak bola nasional, maka itu merupakan bonus tambahan bagi mereka.

Akhirnya kembali lagi kepada pembinaan pemain muda yang benar

Penjelasan di atas tentunya bisa menjadi acuan bagaimana masing-masing pihak menganggap proses naturalisasi. Sekilas, tak ada yang salah dengan proses tersebut. Namun menjadi masalah jika hal tersebut lebih diutamakan tanpa berusaha keras mempromosikan bibit-bibit muda yang potensinya tersebar di seluruh penjuru negeri, namun belum tergali dengan baik.

Ya, rasanya inilah alasan utama mengapa banyak pihak mengkritik pihak federasi dan klub terkait proses naturalisasi ini. Apalagi, jika membahas naturalisasi, rasanya sulit untuk memisahkannya dari kaderisasi pemain muda.

Oleh sebab itu, saat ini, langkah yang paling baik untuk dilakukan PSSI bukanlah membatasi jumlah pemain naturalisasi, namun memaksimalkan setiap cara agar setiap klub fokus secara bertahap untuk memiliki elite academy di berbagai jenjang yang terintegrasi dengan baik kepada sekolah sepak bola (SSB) di sekitarnya maupun dengan skuat utama, sehingga menghasilkan talenta-talenta yang bersaing. Lagipula, jumlah pemain yang bisa dinaturalisasi sebenarnya tidak sebanyak pemain muda lokal yang bisa ditempa dengan baik.

Karena jika pembinaan pemain muda berjalan semakin lancar ke depannya dan masing-masing klub nantinya sudah memiliki elite academy yang terintegrasi, maka proses naturalisasi pemain tidak akan dibahas dengan nada negatif. Biarkan saja mereka bersaing dengan talenta-talenta asli negeri ini yang membludak. Jika memang bagus, tak masalah jika dipanggil timnas Indonesia.

Dan lagi, bila pemain-pemain lokal sudah memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari saat ini, itu artinya pemain naturalisasi yang berlaga di liga dan dipanggil timnas harus lebih baik kualitasnya. Ujung-ujungnya, kualitas liga dan tim nasional kita juga yang terangkat.

Author: Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)
Penggemar Juventus yang merasa dirinya adalah Filippo Inzaghi saat bermain bola