Sebagai salah satu kiblat sepak bola dunia, Italia amat beken sebagai negeri penghasil pemain-pemain dengan skill luar biasa. Nama-nama seperti Giuseppe Meazza, Gianni Rivera, Dino Zoff sampai Francesco Totti ditahbiskan sebagai legenda kelas dunia. Namun Italia tidak hanya ahli di bidang itu saja, sebab mereka juga brilian dalam mencetak pelatih-pelatih berkualitas.
Di sepanjang sejarah sepak bola, ada begitu banyak pelatih dari negeri Negeri Pizza yang namanya melambung sebagai peramu strategi jempolan. Contohnya seperti Vitorio Pozzo, Nereo Rocco, Enzo Bearzot, Arrigo Sacchi, Fabio Capello, Marcelo Lippi, sampai pada era Antonio Conte dan kolega saat ini. Akan tetapi, membahas pelatih-pelatih genius Italia rasanya tidak afdol bila tak mencatut nama Giovanni Trapattoni.
Lahir di Cusano Milanino pada 17 Maret 1939, karier Trapattoni di dunia sepak bola ia awali sebagai pemain. Klub raksasa Italia, AC Milan, menjadi tempatnya menimba ilmu dan melakoni nyaris seluruh karier profesionalnya di sana.
Trapattoni belia memang bergabung dengan akademi I Rossoneri sejak usia 14 tahun. Kesempatan untuk mencicipi debut profesional sebagai pemain ia peroleh di tahun 1959. Trapattoni sendiri membela panji merah-hitam sampai tahun 1971 sebelum akhirnya pensiun bareng Varese di tahun 1972.
Tergabung di salah satu era emas Milan, Trapattoni yang memiliki posisi natural gelandang bertahan ketika merumput, jadi salah satu pilar utama manakala panen tujuh titel prestisius berupa sepasang Scudetto dan Piala Champions (sekarang Liga Champions) dan masing-masing sebiji Coppa Italia, Piala Winners serta Piala Interkontinental.
Namun perjalanan Trapattoni di kancah sepak bola tak berakhir di situ karena ia memutuskan untuk terjun ke dunia kepelatihan hanya beberapa saat usai pensiun. Menariknya, I Rossoneri jadi kesebelasan pertamanya menekuni karier sebagai allenatore, baik sebagai pelatih tim junior, caretaker sampai pelatih kepala.
Selayaknya dunia kebalikan, karier Trapattoni sebagai pelatih Milan justru tak seindah momen semasa ia aktif bermain. Kendati demikian, figurnya dinilai kredibel oleh petinggi Juventus era 1970-an, Giampiero Boniperti. Alhasil, Trapattoni pun didapuk sebagai pelatih baru La Vecchia Signora per musim 1976/1977.
Hebatnya, keputusan Boniperti saat itu membuahkan hasil yang sangat gemilang. Trapattoni berhasil menyulap Juventus jadi sebuah tim yang penuh prestasi, baik di Italia, Eropa maupun dunia.
Selama satu dekade berstatus juru taktik, Trapattoni sukses mengantar tim kesayangan Juventini tersebut menggondol 13 gelar juara (rekor dalam buku sejarah klub sampai detik ini). Trofi-trofi itu berupa enam Scudetto, dua Coppa Italia plus satu trofi dari Piala Champions, Piala UEFA (sekarang Liga Europa), Piala Winners, Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental.
Prestasi hebat itu mendapuk Trapattoni sebagai satu dari dua pelatih (bersama Udo Lattek) yang sanggup memenangi tiga kejuaraan antarklub Benua Biru (Piala Winners tak lagi eksis setelah musim 1998/1999) bikinan federasi sepak bola Eropa (UEFA).
Tak berhenti sampai di situ, pria yang kondang dengan julukan Il Trap tersebut juga masih termaktub sebagai satu-satunya pelatih di kolong langit yang sukses memenangi Piala/Liga Champions, Piala UEFA/Liga Europa dan Piala Winners di satu klub yang sama.
Selepas perjalanan gemilang di kota Turin, Trapattoni ‘pulang’ ke kota Milan. Bukan untuk membesut I Rossoneri lagi tapi menempati kursi allenatore di tubuh sang rival sekota, Internazionale Milano.
Trapattoni didatangkan ke Stadion Giuseppe Meazza oleh presiden I Nerazzurri kala itu, Ernesto Pellegrini, guna mendongkrak pencapaian Inter yang kurang begitu apik di era 1980-an karena ‘cuma’ mengoleksi masing-masing satu Scudetto dan Coppa Italia.
Pilihan Il Trap untuk menakhodai I Nerazzurri menempatkannya sebagai pria kedua, setelah Jozsef Violak, yang pernah menjabat sebagai allenatore di Milan, Juventus, dan Inter.
Walau tak serta merta mengubah peruntungan Inter, Trapattoni dianggap cukup berhasil mengangkat kembali derajat klub kebanggaan Interisti tersebut. Selama lima musim, ia sukses meraih masing-masing sebiji Scudetto, Supercoppa Italia dan Piala UEFA.
Sehabis itu, Trapattoni kembali lagi ke Stadion Delle Alpi buat menangani Juventus dalam kurun 1991 hingga 1994 kendati cuma memetik satu trofi berupa Piala UEFA 1992/1993. Namun gelar itu membuat titel yang ia raih bareng La Vecchia Signora menjadi genap 14 buah.
Puas dengan karier di Italia, Trapattoni lantas mencoba peruntungan di Jerman guna melatih Bayern München di musim 1994/1995. Sayang, ia mengalami kegagalan dan memutuskan mudik ke Italia buat menukangi Cagliari.
Pada klub yang disebut terakhir, tangan dingin Il Trap juga tidak menghasilkan tuah sehingga ia memutuskan cabut dari Pulau Sardinia usai menangani Gli Isolani di musim 1995/1996.
Namun era paceklik gelar Trapattoni berakhir setelah ia menerima lagi pinangan Bayern untuk musim 1996/1997 dan 1997/1998. Hanya dalam tempo dua musim, Il Trap berhasil memberi satu gelar Bundesliga, Piala Jerman dan Ligapokal (sejenis Supercoppa Italia).
Setelah itu, pria yang hari ini genap berumur 79 tahun tersebut berturut-turut menukangi Fiorentina, tim nasional Italia, Benfica, Stuttgart, Red Bull Salzburg, dan timnas Republik Irlandia. Dari tim-tim tersebut, Trapattoni sempat beroleh gelar Liga Primera Portugal dan Bundesliga Austria.
Hal itu membuatnya jadi satu dari lima pelatih (nama lainnya adalah Carlo Ancelotti, Ernst Happel, Tomislav Ivic, dan Jose Mourinho) yang sanggup menjuarai kompetisi liga di empat negara berbeda. Super!
Baik saat merumput sebagai pemain ataupun memberi instruksi dengan jabatan pelatih, Trapattoni dianggap punya magi istimewa sehingga karier sepak bolanya dihiasi trofi dan rekor.
Pada tahun 2013 kemarin, situs ESPN meletakkan Il Trap di urutan keduabelas sebagai pelatih terbaik sepanjang masa versi mereka. Ia bertengger di atas nama-nama seperti Capello, Happel, Lattek, Lippi, dan Jock Stein.
Mengingat usianya yang semakin sepuh, karier melatih Trapattoni barangkali sudah mendekati garis finis. Namun cerita legendaris yang sudah ia ukirkan selama ini pasti akan kekal sebagai salah satu prestasi paling fenomenal yang ada di kancah sepak bola.
Tanti auguri, Il Trap.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional