Eropa Italia

Pengabdian Panjang Enzo Bearzot untuk Sepak Bola Italia

Tatkala memutuskan untuk menjadi seorang pelatih sepak bola, siapapun orangnya pasti memendam impian agar karier kepelatihannya berjalan dengan cemerlang. Meraup segudang prestasi bareng klub profesional atau tim nasional jelas begitu menggoda.

Akan tetapi, di era 1970-an sampai 1980-an silam, ada satu sosok bernama Vincenzo ‘Enzo’ Bearzot yang sama sekali tidak menempatkan hal-hal di atas sebagai tujuan utamanya menjadi seorang pelatih. Bagi Bearzot, menjadi pelatih adalah dedikasi, khususnya untuk Italia, negara yang sangat dicintainya.

Semasa aktif bermain, Bearzot menghabiskan kariernya di empat klub berbeda. Antara lain Pro Gorizia, Internazionale Milano, Catania, dan Torino. Ironisnya, hanya sekali Bearzot mencicipi manisnya titel juara yakni saat membela Catania dan menggamit gelar juara Serie B musim 1953/1954.

Sebelum dan setelah itu, tak ada satu titel pun yang mampir di pelukan pria kelahiran Aiello di Friuli tersebut. Sungguh karier yang nyaris tanpa warna sebagai pemain.

Di tahun yang sama usai memutuskan pensiun sebagai pesepak bola, ketertarikan Bearzot terhadap dunia kepelatihan membawanya jadi pelatih kiper di tim junior Il Toro pada tahun 1964.

Akan tetapi, pengetahuan taktik yang mumpuni dari Bearzot membuat pelatih tim senior Torino di pertengahan 1960-an, Nereo Rocco, buru-buru mendapuknya sebagai asisten. Langkah serupa juga dilakukan Edmondo Fabbri yang menggantikan Rocco.

Peran itu dilakoni Bearzot dengan totalitas tinggi. Kesempatan menimba ilmu dari sosok sekelas Rocco dan Fabbri tak ingin disia-siakannya barang sedetik pun.

Sampai akhirnya, kisah perjalanan Bearzot sebagai asisten pelatih di Torino usai pada tahun 1968. Klub yang bertanding di Serie C, Prato, menawarinya jabatan pelatih kepala buat menggantikan Dino Ballacci. Sayangnya, karier lelaki yang menginisiasi lahirnya Silenzio Stampa alias tidak berbicara kepada media ini berlangsung amat singkat di sana.

Baca juga: Kemunculan Silenzio Stampa di Italia

Di tahun 1969, federasi sepak bola Italia (FIGC) mengontak Bearzot untuk menjadi pembesut Timnas U-23. Panggilan negara tersebut begitu sulit untuk ditolak Bearzot. Dengan keyakinan penuh, putra dari seorang bankir ini pun menerima jabatan tersebut.

Presensinya sebagai pelatih Timnas U-23 tak membuat fokus pekerjaan Bearzot terbatas. Ferruccio Valcareggi, pelatih timnas senior Italia dalam rentang 1967-1974, juga kerap mengajaknya berdiskusi sambil berbagi ilmu  kepelatihan.

Kapabilitas Bearzot bahkan membuat Valcareggi terkesima dan mendapuknya sebagai asisten saat Gli Azzurri bertarung di Piala Dunia 1974. Sialnya, pada turnamen itu Italia harus mengemas koper lebih dini akibat gugur di babak penyisihan grup.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Valcareggi yang mengantar Italia jadi kampiun Piala Eropa 1968 dan runner-up Piala Dunia 1970, memilih mundur. Posisinya lantas digantikan oleh Fulvio Bernardini. Menariknya, Bernardini tetap mempertahankan Bearzot sebagai asisten pelatih.

Namun per tahun 1975, lewat campur tangan Luigi Peronace (komisioner teknis FIGC), Bearzot juga dilantik sebagai pelatih kepala Gli Azzurri. Dirinya pun ‘berbagi kursi kepelatihan’ dengan Bernardini meski gagal meloloskan Italia ke Piala Eropa 1976.

Saat kontrak Bernardini habis di tahun 1977, jabatan allenatore Italia dipegang oleh Bearzot seorang. Namun, di periode inilah kemampuannya mengolah strategi justru semakin mengilap.

Berbekal metode taktik yang cenderung berbeda dengan kultur Italia pada umumnya, Bearzot sangat menggemari permainan yang cair dan ofensif namun tetap memiliki pertahanan kokoh, lolos ke dua ajang bergengsi yaitu Piala Dunia 1978 dan Piala Eropa 1980.

Terasa makin mengilap, di kedua turnamen itu Gli Azzurri yang berisikan nama-nama seperti Giancarlo Antognoni, Claudio Gentile, Gabriele Oriali,  Marco Tardelli, dan Dino Zoff, berhasil mengakhiri turnamen sebagai semifinalis. Permainan Italia sepanjang Piala Dunia 1978 bahkan dinobatkan sebagai salah satu yang paling atraktif.

Semasa melatih, Bearzot sangat beken sebagai sosok yang tidak kaku dalam memberi instruksi. Pemain-pemain besutannya diberi kebebasan lebih untuk menampilkan aksi-aksi individu. Terlebih, Bearzot juga memiliki kedekatan luar biasa dengan skuatnya.

“Sikap Bearzot kepada para pemain layaknya para ayah kepada putranya. Ia akan memuji tapi juga takkan ragu mengkritik dan menasihatimu. Kita bisa membicarakan apa saja dengannya. Bagiku, dialah yang terbaik”, kenang Paolo Rossi seperti dikutip dari forzaitalianfootball.

Masih beramunisikan nama-nama pemain yang kualitasnya jempolan tersebut plus sejumlah nama baru dengan kualitas menjanjikan layaknya Giuseppe Bergomi dan Rossi, Italia menggebrak di Piala Dunia 1982.

Datang ke Spanyol usai dihantam skandal Totonero yang fenomenal itu, Gli Azzurri racikan Bearzot yang senantiasa mengandalkan formasi 4-3-3 sukses mencaplok trofi Piala Dunia ketiga mereka sepanjang sejarah.

Walau sempat dikritik habis-habisan akibat performa kurang maksimal yang diperlihatkan Italia pada awal turnamen, keberhasilan membawa pulang trofi Piala Dunia 1982 membuat sosok Bearzot dipuja seantero negeri.

Namun nahas buat Bearzot, pengabdiannya bagi Italia harus disudahi dengan cara yang kurang mengenakkan. Setelah gagal melaju ke putaran final Piala Eropa 1984, Gli Azzurri juga pulang lebih cepat dari Piala Dunia 1986 akibat disingkirkan Prancis pada babak 16 besar.

Salah satu alasan yang dikemukakan para pengamat menyoal kegagalan itu adalah ketergantungan Bearzot kepada para penggawa andalannya saat memenangi Piala Dunia 1982. Padahal, di Piala Dunia 1986 performa mereka tak lagi ada di puncak akibat gerusan umur.

Kegagalan itu pula yang memaksa lelaki dengan kegemaran merokok menggunakan pipa, termasuk saat duduk di bench ini, mengundurkan diri sebagai allenatore Italia.

Selama 11 tahun menukangi Italia, ada 104 pertandingan yang dijalani Bearzot dengan statistik menang-seri-kalah 51-28-25. Realita tersebut juga menempatkannya sebagai pelatih dengan jumlah pertandingan paling banyak selama mengasuh Gli Azzurri.

Setelah kariernya dengan Italia berakhir, Bearzot tetap enggan melatih entitas lainnya walau digoda nilai kontrak tinggi. Kariernya di ajang sepak bola sendiri baru berlanjut di tahun 2002 usai menerima jabatan dari FIGC (semacam direktur teknik). Posisi ini sendiri ditempatinya sampai tahun 2005.

Umur yang semakin menua membuat kondisi kesehatan Bearzot semakin menurun. Hingga akhirnya, pada 21 Desember tujuh tahun silam di kota Milano, dirinya menghembuskan napas terakhir dalam usia 83 tahun.

Sebagai pemain, Bearzot tak memiliki prestasi cemerlang. Kala berstatus pelatih, ‘hanya’ satu gelar Piala Dunia saja yang membuat curriculum vitae Bearzot berbinar indah. Walau terbilang minim gelar namun ia meninggalkan segudang cerita penuh makna bagi Italia dan para penikmat sepak bola.

Sampai kapanpun, Bearzot akan selalu dikenang sebagai pelatih dengan pengabdian luar biasa untuk Italia sehingga menolak banyak tawaran menukangi klub-klub profesional.

FIGC sendiri, per tahun 2011 silam, menggunakan nama Bearzot sebagai penghargaan bagi pelatih berkewarganegaraan Italia yang memiliki prestasi atau performa mentereng di setiap tahunnya.

Riposare in pace, Enzo.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional