Cerita

Riccardo Montolivo dan Andrea Ranocchia, Kapten di Kelamnya Dua Sisi Milan

Menjadi kapten kesebelasan sepak bola artinya menjadi teladan baik dari segi mental maupun teknis. Karena jika tidak, alamat buruk bahwa sebuah tim akan ikut terpuruk andai sang kapten tak mampu punya menampilkan kedua hal tersebut. Itulah yang pernah dirasakan oleh dua klub dari Milano: AC Milan dan Internazionale.

Bukan merujuk pada Leonardo Bonucci atau Mauro Icardi yang menjadi pemimpin dua kubu Milano saat ini. Melainkan kita berbicara tentang sosok Riccardo Montolivo (Milan) dan Andrea Ranocchia (Inter). Bukan maksud menyalahkan dua orang ini sebagai kambing hitam tunggal atas melempemnya kekuatan dua raksasa sepak bola Italia tersebut. Namun, bahwa keterpurukan Milan dan Inter di beberapa musim lalu muncul pada saat kepemimpinan mereka, adalah fakta.

Kapten dalam era kegelapan

Riccardo Montolivo bergabung dengan AC Milan sejak musim 2012/2013. Sebagai gelandang pengatur serangan yang pernah dijuluki The Next Totti” dan titisan Andrea Pirlo, mendapatkannya secara gratis dari Fiorentina adalah sebuah anugerah luar biasa bagi Rossoneri.

Dan hal itu terbukti, pada musim pertama ketika pemain berketurunan Italia-Jerman itu sukses mencatatkan 39 penampilan di semua kompetisi bersama Milan. Atas performa konsisten itulah, musim keduanya berbaju merah-hitam membuahkan kehormatan besar: Montolivo menjadi kapten.

Ditunjuknya Montolivo sebagai kapten tim tentu tidak sembarangan. Milan yang saat itu masih dimiliki Silvio Berlusconi dan dimotori oleh Adriano Galliani, menilai sosok didikan Atalanta Primavera itu merupakan orang yang tepat untuk memimpin Milan generasi baru.

Selepas perginya rombongan legenda seperti Filippo Inzaghi, Clarence Seedorf, Alessandro Nesta, dan Gennaro Gattuso, lalu disusul Massimo Ambrosini, Milan jelas kehilangan sosok dengan kemampuan leadership teruji. Kebetulan, Montolivo pernah beberapa musim menjabat kapten di Fiorentina dan jadilah dirinya didapuk sebagai kapten di Milan.

Namun sejak kepemimpinan Montolivo, Milan mengalami masa-masa terkelamnya di era sepak bola modern. Milan tak pernah finis di empat besar clasifica sejak Montolivo menjadi kapten. Lain daripada itu, perfoma sang pemain juga mengalami penurunan.

Pasca-cedera parah jelang Piala Dunia 2014, sentuhan Montolivo seakan menghilang. Sejak saat itu dia kesulitan mengembalikan performa terbaik beserta umpan-umpan ciamiknya. Saking buruknya, bahkan beberapa suporter Milan di dunia maya menjulukinya sebagai “mister back-pass” akibat kegemarannya mengembalikan bola kebelakang.

Lain lubuk, namun sama ikan. Hal senada tapi beda cerita ikut pula terjadi pada Andrea Ranocchia. Bek bertinggi 195 sentimeter itu sempat digadang sebagai bek masa depan Italia. Duetnya yang kokoh di Bari bersama Leonardo Bonucci pada paruh kedua musim 2009/2010 Serie A, membuat mereka berdua sampai-sampai dijuluki sebagai “Nesta dan Cannavaro” baru. Ranocchia lalu dibeli Inter dari Genoa, sebagai pemilik aslinya pada tengah musim 2010/2011.

Sebenarnya penampilan Rano solid di awal masa-masanya bersama La Beneamata. Disamping bekal harapan sebagai bek masa depan Italia, Javier Zanetti juga pernah memuji jiwa kepemimpinan sosok Ranocchia. Maka tak heran, begitu Zanetti memutuskan gantung sepatu, dia yang diangkat sebagai kapten Inter pada musim 2014/2015, salah satunya atas rekomendasi sang legenda Inter itu sendiri.

Namun, petaka terjadi ketika belum sampai semusim penuh menjabat il capitano, dia mengalami penurunan performa di akhir musim hingga dicadangkan. Lalu pelatih Inter saat itu, Roberto Mancini, memberikan ban kapten kepada Mauco Icardi. Perfoma Ranocchia tak selalu konsisten, pun dirinya beberapa kali cedera hingga menghambat potensinya untuk benar-benar keluar.

Persamaan antara Montolivo dan Ranocchia adalah pada faktor mengapa klub yang mereka pimpin tak meraih prestasi yang cemerlang. Keduanya dihadapkan pada revolusi di tubuh skuat masing-masing dari timnya. Milan dan Inter ditinggal banyak para seniornya ketika mereka menjabat kapten. Selain transfer kepemimpinan yang sebenarnya membutuhkan waktu lumayan lama, baik Milan dan Inter juga sedang krisis finansial saat itu. Perginya para legenda asli dari Milan dan Inter, membuat Montolivo dan Ranocchia hanya ditemani “legenda KW”.

Dengan Bakaye Traore, Kevin Constant, Valter Birsa yang mendampingi Montolivo berjuang di Milan atau Jonathan Moreira, Zdravko Kuzmanovic, dan Dodo yang membantu kinerja Inter di bawah pimpinan Ranocchia, tentu membuat performa dua klub Milano itu lebih cocok dijadikan troll.

Kepemimpinan Montolivo hanya menghasilkan satu gelar untuk Milan: Supercoppa Italia 2016 sedangkan Ranocchia tak berhasil memberi trofi apapun selama menjadi kapten Inter. Jelas buruk untuk klub seperti Milan dan Inter. Selain dulu kedua klub tak mampu beli pemain berkualitas karena krisis finansial, performa mereka berdua yang inkonsisten dan rentan cedera membuat kepemimpinan mereka dipertanyakan dalam mengerek dua klub itu ke papan atas Serie A.

Namun, meski kepemimpinan mereka bersamaan terjadi pada era kelam Milan dan Inter, ada satu pelajaran yang pantas dipetik dari kisah mereka berdua. Yakni memaknai sebuah rasa ikhlas. Ketika terjadi mutasi dari statusnya sebagai kapten utama tim, baik Riccardo Montolivo dan Andrea Ranocchia relatif tak memicu konflik besar di dalam tim.

Montolivo sudi memberi lingkar ban kapten Milan untuk Leonardo Bonucci sejak awal musim ini, tanpa menimbulkan friksi. Sedangkan Ranocchia tak memicu disharmonisasi parah dalam tim, saat Mancini mengalihkan status kapten permanen Inter kepada Mauro Icardi sejak akhir musim 2014/2015 hingga kini. Mereka berdua pun masih menjadi pemain Milan dan Inter, meski hanya sekadar menjadi pelapis.

Sejujurnya banyak penggemar Milan dan Inter yang ingin mereka berdua pergi dari klubnya masing-masing. Namun, tak mudah bagi manusia untuk berbesar hati menerima nasib ketika jiwa kepemimpinan dirinya tak lagi diakui.

Keikhlasan mereka untuk tetap bersedia bermain walau kualitas kepemimpinannya sudah tak dianggap, harus diberi apresiasi walau hanya sebesar biji sawi. Berbeda cerita namun satu rasa, itulah nasib Riccardo Montolivo dan Andrea Ranocchia, para kapten dalam kelamnya dua sisi Milano.

Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)