Kolom

Sisi Estetis Juventus yang Pantas Mendapat Apresiasi

Seperti kesebelasan-kesebelasan lain asal Italia, Juventus juga dipandang sebagai salah satu tim yang memiliki gaya main defensif di benua Eropa. Khusus dalam tujuh musim terakhir, mereka selalu keluar sebagai pihak yang kebobolan paling sedikit di kancah Serie A.

Rekor impresif tersebut berhasil digapai I Bianconeri saat diperkuat oleh kuartet andal dalam diri Gianluigi Buffon yang ada di bawah mistar serta trio Andrea Barzagli, Leonardo Bonucci, dan Giorgio Chiellini sebagai palang pintu.

Teruntuk trio Barzagli, Bonucci dan Chiellini, kehebatan mereka dalam menjaga area pertahanan Juventus sampai melahirkan akronim BBC, selayaknya trio MSN yang sempat melambung di Barcelona (Lionel Messi-Luis Suarez-Neymar), yang kondang seantero Benua Biru.

Sayangnya, satu huruf dari akronim tersebut sudah hilang setelah Bonucci, secara tak terduga, memilih hengkang ke AC Milan pada musim panas 2017 lalu. Kendati demikian, citra I Bianconeri sebagai ‘Tuan Tanpa Bola’ sudah keburu tertanam kuat.

Secara historis, sepak bola Negeri Pizza memang lekat dengan kultur defensif. Permainan bertahan adalah seni tingkat tinggi yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Italia. Maka tak perlu heran apabila Juventus pun ahli dalam mempertontokan pola permainan serupa, utamanya dalam separuh dekade pamungkas.

Para bek tengah Juventus gemar dengan blok dan sapuan, clean sheet diperoleh secara konsisten layaknya mesin, di mana semua hal itu berujung pada kemenangan demi kemenangan yang sukses dipetik.

Menariknya, ada hal lebih besar dari citra pertahanan kuat yang terlanjur identik dengan Juventus. Pada musim ini, tim besutan Massimiliano Allegri berhasil mencetak tiga gol atau lebih di setengah giornata keseluruhan yang sudah mereka lakoni sampai tulisan ini dibuat, dengan rataan 2,5 gol per pertandingan.

Secara total, mereka telah mencetak 61 gol di Serie A alias yang terbanyak. Bahkan kalau harus dikomparasi dengan tim-tim lain di lima liga top Eropa, cuma Paris Saint-Germain (PSG), Manchester City, dan Barcelona yang catatannya lebih tinggi.

Jika gol menjadi satu-satunya alat untuk mengukur sisi estetis dan unsur hiburan dalam sepak bola, maka Juventus yang gemar mencetak banyak gol adalah sebuah entitas yang sangat menghibur.

Setiap kali bertanding, permainan menyerang dan memikat PSG, City, serta Barcelona senantiasa beroleh pujian dan sorotan. Juventus sejatinya bisa melakukan hal tersebut, tapi citra defensif yang sudah menempel erat terhadap mereka begitu sulit tergantikan.

Barangkali, versatility mereka dalam hal menyerang sekaligus bertahan itulah yang menyebabkan penonton dari kalangan netral belum sanggup menyambutnya dengan hangat. Tatkala gaya permainan menyerang tertambat pada sistem tertentu (bayangkan Manchester City atau Napoli dengan formasi 4-3-3 andalan mereka), gaya main I Bianconeri jauh lebih fleksibel.

Juventus memiliki kemampuan adaptif yang luar biasa. Mereka bisa mengubah skema dalam waktu singkat guna menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, tak jarang dilakukan di saat laga tengah berlangsung. Akan tetapi, hal itu membuat Buffon dan kolega seolah-olah tak memiliki identitas taktikal yang jelas.

Praktisnya, versatility tersebut adalah sebuah tanda nyata bahwa I Bianconeri, seperti klub-klub Italia pada umumnya, adalah pemuja hasil akhir. Tak ada adagium khusus di Negeri Pizza terkait gaya main yang ideal, sebab yang terpenting adalah hasil akhir berupa kemenangan!

Kala bertemu Fiorentina akhir pekan lalu (9/2), versatility Juventus kembali terlihat. Pertandingan memasuki menit ke-60, Allegri memasukkan Barzagli yang seorang bek tengah guna menggantikan Stephan Lichtsteiner yang berposisi sebagai bek kanan.

Hal ini dilakukan sang allenatore buat meredam kebangkitan La Viola di sisa waktu yang ada. Keputusan itu memang tokcer sebab I Bianconeri sanggup mempertahankan keunggulan sekaligus mengunci kemenangan, tapi apa yang dilakukan Allegri (mengganti bek kanan dengan bek tengah), bukanlah cara yang indah untuk mengemas poin penuh.

Namun sebagai klub yang sangat terobsesi dengan trofi juara, Juventus membuktikan kemampuannya kepada khalayak jika mereka pun sanggup tampil ofensif dan ironisnya, hal itu diinisiasi dari lini pertahanan di mana Chiellini berdiri sebagai ball-playing defender.

Sejatinya, ada beberapa pemain belakang di Eropa yang juga piawai melakoni peran ini, tapi apa yang ditawarkan Chiellini, dengan menggiring bola ke area depan, adalah sebuah pemandangan luar biasa yang muncul dari Serie A.

Tugas yang dilaksanakan Chiellini adalah sebuah strategi sistematis yang diterapkan Allegri guna membongkar skema pertahanan tim lawan. Khusus di Serie A dan saat berlaga di kandang sendiri, I Bianconeri memang kerap berjumpa dengan tim-tim yang menyusun pertahanan dengan blok rendah.

Namun Chiellini tak bekerja sendirian, ia selalu ditemani Miralem Pjanic yang membedah barisan pertahanan lawan di area sepertiga akhir dengan kemampuan briliannya.

Gelandang pengatur serangan berpaspor Bosnia-Herzegovina itu adalah pengganti sepadan untuk lubang yang ditinggalkan Andrea Pirlo di sektor tengah Juventus. Ia menampilkan performa yang hampir serupa dengan sang pendahulu.

Pjanic lebih banyak bergerak perlahan secara konstan ketimbang berlari ke sana kemari guna menyesuaikan dan mengubah posisi secara cerdik, mengirim umpan secara akurat kepada rekan di atas lapangan, serta cakap dalam mengeksekusi sepakan bebas.

Baca juga: Miralem Pjanic dan Sinar yang Berpendar di Titik Terdalam Lini Tengah Nyonya Tua

Walau begitu, keberadaan Chiellini dan Pjanic yang andal buat memprogresikan bola ke depan juga membuat skema permainan Bianconeri membutuhkan figur yang juga brilian dalam melakukan aksi distribusi bola. Di sinilah peran dari gelandang tengah yang merangsek ke depan begitu krusial.

Harus diakui bila Juventus bermain ciamik dengan pola 4-3-3 karena Sami Khedira dan Blaise Matuidi yang menghuni pos gelandang tengah, menyediakan aksi-aksi penetratif yang konstan dengan berlari memecah garis pertahanan lawan dari lini kedua.

Allegri sadar bahwa Khedira ahli dalam melakukan tugas-tugas di atas kendati selama ini, kemampuannya sering dipandang sebelah mata. Dengan timing penetrasi yang aduhai, pemain asal Jerman tersebut pintar mencari celah di jantung pertahanan lawan. Jangan kaget bila ia memiliki rataan 1 gol per 4,25 partai sejak mengenakan seragam Juventus.

Sementara di lini depan, Gonzalo Higuain lebih dari sekadar penyerang ganas nan klasik yang mengandalkan kekuatan fisik. Benar jikalau kewajiban utamanya adalah mencetak gol, tapi ia juga diminta untuk turun ke bawah guna terlibat lebih banyak dalam permainan.

Sedangkan tandemnya di lini depan, Paulo Dybala, adalah pemain yang agresif, lincah dan sulit ditebak. Berbekal kontrol bola yang halus, kreativitas dan kaki yang juga kidal, ia pun sering disandingkan dengan Lionel Messi, megabintang sepak bola masa kini. Sejauh ini, Dybala sudah membukukan 17 gol dari 29 laga di seluruh ajang.

Ujung pangkal dari serentetan kemampuan individu ciamik itu adalah kemampuan Allegri dalam meramu strategi agar timnya bermain secara kohesif. Pada fase menyerang, pola yang sama acapkali muncul.

Para gelandang tengah mesti turun ke dalam secara diagonal guna mengisi celah yang ada di belakang ketika para fullback melakukan overlap. Pergerakan Khedira ke area depan acapkali bersamaan dengan momen Dybala menerima bola di area sepertiga akhir.

I Bianconeri adalah kesebelasan yang tangguh dalam bertahan, tapi kemampuan ofensif yang diejawantahkan dengan pergerakan tersistematis dan penyelesaian yang efektif serta efisien, membuat Juventus juga patut diapresiasi dari sisi ini.

Author: Blair Newman
Penerjemah: Budi Windekind (@windekind_budi)