Cerita

Pertaruhan Nama Baik Massimiliano Allegri dan Juventus di Eropa

Bermain imbang 2-2 dengan Tottenham Hotspur di leg pertama babak perdelapan-final Liga Champions (14/2) membuat pendukung setia Juventus meradang. Pasalnya, hasil itu diperoleh saat Gianluigi Buffon dan kolega mentas di kandang sendiri, Stadion Allianz.

Kenyataan tersebut membuat The Lilywhites ada di atas angin karena punya tabungan gol tandang dan giliran menjamu La Vecchia Signora pada perjumpaan kedua mereka (7/3) di Stadion Wembley.

Bercermin pada performa anak asuh Mauricio Pochettino yang sangat impresif di Liga Champions 2017/2018, bisa dimaklumi jika Juventini merasa ketar-ketir perihal nasib klub kesayangan mereka di Eropa musim ini.

Dari sekian figur yang dijadikan kambing hitam oleh Juventini perihal kedudukan imbang di pertemuan pertama fase perdelapan-final kontra Tottenham itu, tersebutlah nama Massimiliano Allegri.

Usai unggul dua gol via doppietta kilat Gonzalo Higuain, Juventus malah menurunkan ritme dan tekanannya. Alhasil, The Lilywhites seperti mendapat kesempatan buat menguasai jalannya laga dan mengembangkan permainan sesuai kehendak mereka. Akibatnya pun fatal bagi tim tuan rumah sebab Tottenham berhasil mencetak sepasang gol balasan lewat Harry Kane dan Christian Eriksen.

Mayoritas Juventini menganggap bahwa skema permainan yang dikembangkan oleh allenatore berumur 50 tahun itu dalam pertandingan kemarin sungguh buruk. Walau masih terikat kontrak hingga musim panas 2020, Juventini tak canggung buat meminta manajemen La Vecchia Signora untuk mengangkat pelatih baru pada musim panas 2018 nanti sebagai suksesor Allegri.

Dalam kurun beberapa musim pamungkas, kedigdayaan Juventus di kancah domestik memang sulit dibendung. Secara luar biasa, mereka sukses mencaplok enam titel Scudetto dan masing-masing tiga Piala Italia serta Piala Super Italia. Sebagian prestasi itu didapat kala Allegri duduk sebagai manajer. Jujur saja, bagi para rival, pencapaian Juventus itu amat menyebalkan, bukan?

Namun untuk La Vecchia Signora dan Juventini, hal itu belumlah cukup. Benar jika mereka lihai mengubah Serie A layaknya Bundesliga yang jadi arena hura-hura sang dominator, Bayern München. Tapi keinginan buat meraih sesuatu yang lebih prestisius jelas mengemuka.

Seperti siklus yang senantiasa berkelindan di kancah sepak bola, menjadi jagoan di level domestik mesti bisa dilanjutkan saat bertempur di kancah regional. Teruntuk Juventus yang rajin berpartisipasi di Liga Champions, tak ada sasaran lain yang lebih berharga selain trofi Si Kuping Besar.

Nahasnya, peruntungan mereka di ajang ini sangat jauh dari kata apik. Meski sudah mengemas dua buah trofi yang didapat pada musim 1984/1985 dan 1995/1996, Juventus belum mampu menambah pundi-pundi titelnya sampai saat ini.

Jika menyebut kesempatan, sejatinya La Vecchia Signora tak pernah kekurangan. Pasalnya, di musim kompetisi 1972/1973, 1982/1983, 1996/1997, 1997/1998, 2002/2003, 2014/2015 serta 2016/2017, mereka juga bertanding hingga partai puncak.

Sayangnya, dari tujuh momen itu, tak satupun yang membuahkan hasil bagi Juventus. Secara mengenaskan, mereka ditumbangkan oleh AC Milan, Ajax Amsterdam, Barcelona, Borussia Dortmund, Hamburger SV, dan Real Madrid (dua kali).

Rapor buruk La Vecchia Signora di kompetisi antarklub Eropa itu pun menjadi sasaran olok-olok para rival. Juventini boleh berbangga dengan prestasi mereka di Italia, tapi di Eropa, mereka lebih identik dengan label pecundang. Seperti itulah jargon populer di kalangan tifosi Serie A menyoal kegagalan demi kegagalan Juventus di ajang Liga Champions.

Teruntuk dua kegagalan pamungkas, rasa kecewa yang ada di benak Juventini jelas begitu tinggi. Sebabnya, pada sepasang momen itu La Vecchia Signora dianggap punya kualitas skuat yang lebih dari mumpuni untuk menggenggam trofi juara.

Siapa yang tak ingin beroleh gelar yang begitu diidam-idamkan? Siapa pula yang gemar menunggu terlalu lama? Maka kampanye Buffon dan kawan-kawan di musim 2017/2018 tak ubahnya pertaruhan nama baik Allegri dan Juventus dalam tatanan sepak bola Benua Biru usai merajai kompetisi domestik berkali-kali. Andai gagal juga, sudah barang tentu nama baik mereka akan tercoreng sekali lagi.

Patut disadari Juventini bahwa hasil 2-2 melawan Tottenham bukanlah akhir segalanya. Sesulit atau seberat apapun, tapi Juventus masih punya waktu 90 menit (bisa saja lebih) untuk melepaskan diri dari lubang jarum, menumbangkan tim tuan rumah di depan publiknya sendiri pada leg kedua serta melaju ke babak perempat-final guna mendekatkan diri dengan status kampiun.

Lagipula, sepak bola selalu punya satu mantra bernama keajaiban yang bisa hadir kapan saja bahkan tanpa diminta. Selama Allegri dan Juventus mau berusaha sampai titik darah penghabisan pada laga selanjutnya melawan Spurs di Stadion Wembley, tidak ada yang mustahil dalam sepak bola. Jika sanggup melakukannya, trofi Si Kuping Besar pasti semakin dekat dengan pelukan anak-anak Turin.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional