Tribe Ultah

Setitik Kenangan tentang Kehebatan ‘Sang Kaisar’ Adriano Leite

Para penggemar sepak bola yang tumbuh di akhir 1990-an dan awal 2000-an pasti masih memiliki memori tentang Adriano. Ia adalah bukti nyata bahwa talenta besar tak akan bertahan lama jika tak diimbangi perilaku positif di luar lapangan.

Pria kelahiran 17 Februari 1982 ini pernah terkenal sebagi penyerang bertubuh serupa Vin Diesel yang memiliki tendangan kaki kiri mematikan. Pria bernama lengkap Adriano Leite Ribeiro ini sempat menjadi idola ketika memperkuat Parma dan Internazionale Milano, sebelum talentanya redup akibat perilakunya di luar lapangan.

Bukan hanya di dunia nyata, Adriano juga melegenda di dunia maya. Para penggemar video gim Pro Evolution Soccer (PES) pasti pernah memanfaatkan kemampuan superior pemain asal Brasil ini. Adriano diberi kemampuan shooting bernilai ‘99’ di PES jilid 6, angka tertinggi dalam permainan tersebut.

Tampil pertama kali bersama Flamengo pada usia 16 tahun, Adriano tak butuh waktu lama untuk memperkenalkan dirinya ke publik sepak bola Brasil.  Ia tampil sebagai sosok yang menggabungkan kecepatan dengan keseimbangan, dan kekuatan laksana seekor banteng yang mengamuk. Para pengamat di Brasil pun tak ragu bahwa Adriano akan mengikuti jejak Ronaldo sebagai juru gedor produktif asal Brasil yang sukses di Eropa.

Adriano akhirnya bergabung dengan seniornya itu ketika ia pindah ke Inter Milan pada musim panas 2001. Namun, ia tak menghabiskan waktu banyak dengan Ronaldo karena lebih memilih hijrah ke Fiorentina sebelum bergabung dengan Parma. Di klub terakhir, ia bermain dari tahun 2002 sampai tahun 2004. Ia tampil tajam dengan torehan 23 gol dari 37 penampilan. Sayang, timnas Brasil belum meliriknya untuk dibawa ke Piala Dunia 2002.

Pada tahun 2004, Adriano kembali ke Inter Milan. Pada masa bakti keduanya inilah ia bertransformasi menjadi ‘L’Imperatore di Milano’ (Kaisar kota Milan). Saat Adriano tampil maksimal, ia ditakuti barisan pertahanan lawan akibat naluri memburu golnya yang mengerikan. sayang, ketenaran dari dunia sepak bola mulai membawa pengaruh buruk kepadanya di luar lapangan.

Ia sering tertangkap berpesta di klub malam sampai pagi. Kelakuan tak profesionalnya ini membuatnya beberapa kali diabaikan tim nasional Brasil. Kemudian, tragedi melanda ketika ayah Adriano, Almir, meninggal pada usia 44 tahun. Akibat depresi setelah kepergian sang ayah, Adriano lambat laun merusak dirinya sendiri dengan alkohol.

Lambat laun, masa-masa ketika ia dielu-elukan penggema Inter pun berakhir sudah. Kontribusinya dalam empat gelar Serie A berturut-turut memang menjadi pengingat para Internisti kepada diri L’Imperatore. Namun, setelah itu, seolah tak ada lagi yang peduli dengan kelanjutan karier pria kelahiran Rio de Janeiro ini, meski ia sempat kembali tajam ketika memperkuat São Paulo.

Bencana berlanjut saat AS Roma membawanya ke ibu kota Italia. Kesempatan kedua untuk bersinar di Italia ini disia-siakannya. Kontraknya diputus hanya enam bulan setelah bergabung dengan klub ibu kota Italia tersebut. Berakhir sudah kisah L’Imperatore di Italia.

Untungnya, kisah karier Adriano masih menyisakan kenangan tetntang kehebatannya di Copa America 2004. Di turnamen antarnegara Amerika Selatan itu, ia tampil hebat dengan menjadi pencetak gol terbanyak. Tujuh golnya mengantarkan Brasil ke final dan merebut trofi bergengsi tersebut. Adriano membuktikan bahwa dirinya sempat memenuhi ekspektasi sebagai penerus Ronaldo, meski hanya bersinar di satu turnamen saja.

Adriano sempat mengakui bahwa dirinya sudah kehilangan ketertarikan pada dunia sepak bola. Ini terlihat dari tak seriusnya ia bermain untuk dua klub terakhir dalam kariernya, Atletico Paranaense dan Miami United. Meski demikian, kabarnya L’Imperatore akan segera kembali merumput pada tahun 2018.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.