Eropa Inggris

Belajar “yang Sederhana” dari Jack Wilshere

Semenjak kembali dari masa peminjamannya bersama Bournemouth, harapan untuk menjadi pusat permainan Arsenal meroket tajam. Jack Wilshere, manusia dengan rekaan wajah meriam, punya segalanya untuk menjadi kapten masa depan. Namun, yang paling mengena dari sosok Wilshere adalah pelajaran akan “yang sederhana”.

Membicarakan karier Wilshere, tak akan lengkap tanpa menyinggung soal catatan cedera yang begitu panjang. Musim panas yang lalu saja, setelah kembali dari masa peminjaman, pemain asal Inggris tersebut harus menepi hingga 123 hari karena dua cedera, yaitu cedera lutut dan retakan setipis rambut di tulang keringnya. Dua cedera yang membuat nama Wilshere sempat terlupakan dari tim utama untuk sementara waktu.

Arsene Wenger tak bisa mengambil risiko, dengan segera menggunakan Wilshere di Liga Primer Inggris. Setelah pulih dan diizinkan untuk berlari dan menendang bola, Wilshere harus memulai kariernya, betul-betul, seperti dari awal. Kondisinya yang rentan cedera membuat tim pelatih Arsenal harus sangat teliti untuk menentukan jatah latihan dan menit bermain.

Maka jadilah, Wilshere memulai kariernya “kembali” bersama tim akademi Arsenal. Pemain berusia 26 tahun itu membutuhkan sepak bola, dan harus BERSABAR dengan proses yang tak hanya panjang, namun juga “melukai gengsi”. Bagi pesepak bola profesional, yang sudah rutin membela tim utama, lalu bermain untuk tim U-23, adalah situasi yang membikin tak nyaman. Bahkan jika alasannya adalah pemulihan cedera.

Selain soal pemulihan, pesepak bola tim utama didegradasikan ke U-23 karena penurunan performa atau membandel. Perubahan status itu seperti menjadi cara pelatih memberi hukuman. Wilshere memang bermain untuk tim akademi bukan untuk alasan kedua. Namun tetap saja, penurunan status akan “sedikit” menyinggung ego dirinya.

Dan benar saja, emosi Wilshere sempat tak terkontrol ketika dirinya “dikonfrontasi” oleh Matt Smith, pemain U-23 Manchester City. Wilshere, yang dihukum kartu merah, dianggap memicu perkelahian di dalam lapangan dan di lorong menuju ruang ganti. Setelah cedera, inilah kejatuhan Wilshere paling dalam. Sekaligus menjadi titik balik kariernya musim ini.

Diakui atau tidak, diucapkan atau tidak, bermain untuk tim U-23, lalu memicu perkelahian dengan “para anak kecil” adalah aib bagi pemain profesional, pun senior. Yang bisa dilakukan Wilshere hanyalah menutup mulutnya rapat-rapat dan menguatkan tekad untuk bisa kembali ke tim utama. Pada titik ini, kita diajari soal FOKUS.

Setelah masa-masa yang “menyakitkan” bersama tim akademi, Wilshere mendapatkan panggung di ajang Liga Europa. Ketika fisiknya sudah mulai beradaptasi lagi dengan sepak bola, Wilshere membutuhkan intensitas. Ajang kompetisi “kelas dua” di Eropa ini menjadi arena yang pas. Wilshere selalu bermain di ajang ini.

Satu catatan yang menarik, Wilshere tak mengeluh ketika dirinya tidak dimainkan di posisi idealnya. Wenger memberi peran bagi Wilshere untuk bermain di belakang penyerang, sementara posisi idealnya ada di lapangan tengah.

Tak mengecewakan, Wilshere mencetak satu gol dan dua asis dari enam pertandingan. Catatan itu tidaklah penting. Yang paling penting adalah penampilan di atas lapangan, dari intensitas sepak bola yang ditunjukkan Wilshere, dari caranya menghadapi benturan-benturan fisik, dari sikapnya menghadapi provokasi. Calon kapten masa depan ini menujukkan perkembangan signifikan.

Enam pertandingan di Liga Europa adalah “padepokan” bagi Wilshere, sebuah arena mematangkan diri dan MENGAMBIL KESEMPATAN. Sebuah kesempatan bisa menjadi barang langka. Dan terkadang, barang langka ini tak bisa lagi dicari di masa depan. Satu momen itu, adalah sebuah penentuan. Jangan sia-siakan kesempatan dan kepercayaan dari kolega Anda.

Baca juga: Menyiapkan Panggung Terang untuk Jack Wilshere

“Kesempatan kedua”, sesuatu yang langka itu, justru hadir ketika Arsenal tengah gundah. Cederanya Aaron Ramsey membuat Wenger harus membuat pendekatan baru. Dan hasil belajar Wilshere di sanggar Liga Europa membuat Wenger menemukan solusi cerdas dari absennya Ramsey, pemain dengan kontribusi gol tertinggi kedua di Arsenal setelah Alexandre Lacazette.

Ketika Ramsey cedera, Wenger kembali menggunakan skema 4-2-3-1 yang luwes berubah menjadi 4-3-3 di tengah pertandingan. Wilshere, yang mengawali laga di lapangan tengah bersama Granit Xhaka, justru bergerak lebih tinggi, bergantian posisi dengan Mesut Özil. Pengalaman Wilshere di Liga Europa membuatnya terlihat fasih untuk bermain lebih dekat dengan kotak penalti lawan. Kemampuan menggiring bola melewati berikade lawan bisa dimaksimalkan.

Maka jadilah, sebuah bentuk diamond yang menarik di lini tengah Arsenal, dengan Wilshere dan Özil sebagai konduktor ganda. Selalu bermain di Liga Primer Inggris sejak Ramsey cedera, Wilshere MEMBERI BUKTI bahwa dirinya sanggup diberi tanggung jawab. Satu asis indah dari tengah lapangan untuk gol Alexis Sanchez ketika melawan Crystal Palace adalah puncak tanggung jawab itu. Imajinasi dan kerja keras Wilshere adalah puncak yang dicari Wenger.

Karier dan sikap Wilshere adalah pelajaran yang begitu manis. Soal kesabaran di tengah kesusahan, fokus menyiapkan diri menyambut kesempatan, nyali mengambil kesempatan, dan membuktikan diri bahwa ia siap memikul tanggung jawab dan tidak mengecewakan semua orang yang percaya kepadanya.

“Yang sederhana” dari Wilshere adalah kunci hidup di tengah kerasnya dunia. Kepada Wilshere kita berkaca, kepada Wilshere kita belajar.

Selamat ulang tahun, sehat selalu, Jack!

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen