Eropa Inggris

Karena Pengalaman Roy Hodgson adalah Kunci bagi Crystal Palace

Tentu kita semua masih ingat, bagaimana Crystal Palace mengawali musim 2017/2018 ini dengan sangat buruk. Dari tujuh laga awal, The Eagles ‘berhasil’ meraih nol poin, dan kebobolan 17 gol tanpa mampu memasukkan barang sekali pun. Manajer Crystal Palace di awal musim ini, Frank de Boer, menjadi tersangka utama atas kehancuran Christian Benteke dan kolega, dan akhirnya dipecat setelah hanya menangani empat laga bersama klub asal ibu kota Inggris ini.

Manajer senior asal Inggris, Roy Hodgson, yang sudah berusia 70 tahun, ditunjuk menjadi pengganti de Boer. Pengangkatan mantan manajer timnas Inggris ini mengundang perdebatan dan keraguan, mengingat sebelumnya ia gagal bersama Liverpool dan Inggris. Namun, kini Crystal Palace untuk sementara aman di zona degradasi dan duduk di peringkat 14.

Perubahan yang mampu dibawa Hodgson tentunya cukup menakjubkan. Meskipun begitu, bukan berarti kedatangannya langsung mengubah nasib Crystal Palace. Di laga perdananya, ia dikalahkan Southampton di kandang sendiri dengan skor 0-1. Tiga laga berikutnya tampak bagaikan neraka bagi Hodgson, karena ia akan bertandang ke dua klub Manchester yang kini merajai klasemen, dan menjamu rival lokal, Chelsea.

Neraka tersebut menjadi kenyataan kala timnya dibabat habis-habisan oleh Manchester City dan United dengan kebobolan sembilan gol dari dua laga tanpa ada perlawanan sama sekali. Namun, mukjizat tercipta kala timnya secara mengejutkan mampu mengalahkan Chelsea dengan skor 2-1.

Kemenangan tersebut seolah menjadi momentum kebangkitan Crystal Palace, namun pada dasarnya, pengalaman yang dimiliki Hodgson-lah yang menjadi kunci.

Seusai kemenangan atas Chelsea, The Glaziers hanya kalah sebanyak dua kali dari 10 laga, dan berhasil mengumpulkan total 14 poin. Di laga terakhir mereka, salah satu tim yang secara kualitas di atas rata-rata, mereka kalahkan dengan skor meyakinkan 3-0 meski harus menjalani laga tandang. Dengan catatan seperti ini, kredit sebesar-besarnya tentu harus diberikan kepada Hodgson yang sejauh ini tampak berhasil mengubah tim yang layaknya pesakitan, menjadi harus diperhitungkan.

Hodgson adalah manajer yang sangat berpengalaman. Total 20 tim sudah ia nakhodai sejak ia berkecimpung di dunia manajerial di tahun 1976. Tim yang ia tangani pun sangat bervariasi, mulai dari klub-klub besar seperti Liverpool dan Internazionale Milano, klub-klub di Skandinavia seperti FF Malmo, Grashoppers, dan Copenhagen, hingga beberapa tim nasional seperti Swiss, Uni Emirat Arab, Finlandia, dan tentunya Inggris. Oleh karena itu, jangan pertanyakan pengalaman Hodgson di dunia sepak bola.

Meskipun begitu, terbukti bahwa ia lebih andal dalam menangani tim-tim ‘kelas dua’. Kala menjadi manajer Inter dan Liverpool, ia terbukti tak menjalani musim yang baik. Bersama Il Nerazzurri, ia memang mampu membawa Inter ke posisi yang lebih baik dari musim-musim sebelumnya.

Namun, ia lebih diingat karena berselisih dan menjual bek kiri legendaris Brasil, Roberto Carlos, karena menolak memainkan pemain yang memiliki tendangan kaki kiri geledek ini di posisi aslinya. Di Liverpool, ia terkenal akan beberapa rekrutannya yang gagal total, seperti Paul Konchesky, Christian Poulsen, dan Milan Jovanovic.

Namun, kiprahnya bersama Fulham di tahun 2007-2010 merupakan momen terbaiknya sebagai manajer. Ia berhasil membawa klub kecil dari London tersebut ke final Liga Europa di musim 2009/2010, hanya kalah dari Atletico Madrid di final dengan skor 2-1. Perjalanan mereka ke final sama sekali tidak mudah, termasuk mengalahkan tim-tim besar seperti Wolfsburg dan Juventus.

Tak hanya itu, Hodgson juga terkenal jago memperbaiki keadaan tim, seperti ketika ia mengambil alih Fulham dan klub terakhirnya sebelum Crystal Palace, West Bromwich Albion (WBA). Ia mengambil alih jabatan sebagai manajer WBA di awal tahun 2011 menggantikan Roberto Di Matteo yang kesulitan. Sebelum Hodgson mengambil kendali, The Baggies terperosok di jurang zona degradasi, namun ia mampu membawa klubnya mengakhiri musim dengan finis di peringkat 11, posisi tertinggi mereka dalam tiga dekade terakhir saat itu.

Hal ini tentunya yang menjadi alasan perekrutan Hodgson oleh manajemen Crystal Palace. Mereka tahu, di balik sosok yang sudah uzur tersebut, masih banyak pengalaman yang akan berguna untuk memperbaiki kapal yang rusak. Menurut Brede Hangeland, bagian penting dari skuat Hodgson di Fulham, dilansir dari BBC, Hodgson adalah manajer yang sangat cerdas dan sangat mendetil dalam mengatur strategi.

Pendekatan yang dilakukan manajer kelahiran Croydon ini terhadap skuatnya, sepengalaman Hangeland, cukup keras, namun itulah yang menjadi kunci kesuksesannya yang berarti ia membutuhkan komitmen 100 persen dari para pemainnya.

Hal ini dapat terlihat dari keberhasilan Christian Benteke mengakhiri kering golnya kala membantai Leicester City, dan performa menakjubkan dari Mamadou Sakho dan Wilfried Zaha  setelah Hodgson dilantik. Hangeland juga menambahkan bahwa Hodgson butuh waktu untuk menunjukkan kebolehannya, dan hal itu terbukti setelah dua laga awalnya yang bagaikan bencana, kini sang manajer mampu membuat semuanya lebih baik.

Ketika diangkat, Hodgson telah bertekad untuk membawa Crystal Palace tetap berkompetisi di Liga Primer Inggris di musim depan, dan sejauh ini, ia berhasil membuktikannya. Keraguan yang melandanya berhasil ia bantah, dan apabila ia mampu konsisten menjaga performa anak asuhnya, bukan tak mungkin Crystal Palace akan finis di posisi yang lebih baik di akhir musim nanti.

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket