Final Piala Dunia 2010. Belanda dan Spanyol yang berjumpa untuk memperebutkan gelar pertama mereka, bermain dengan sangat hati-hati, dan pertandingan berjalan dengan tempo lambat, yang sempat membuat rasa kantuk hinggap di mata kita. Namun, sebuah insiden di menit ke-27 membuat mata penonton langsung terbelalak.
Xabi Alonso yang saat itu mengejar bola liar, tiba-tiba mendapat tendangan kungfu dari Nigel de Jong, yang juga mencoba memenangkan bola. Alonso lalu terguling-guling kesakitan, dan de Jong hanya mendapat kartu kuning atas aksi ala Liga Indonesia itu.
Itu bukan satu-satunya perlakuan barbar de Jong di atas lapangan. Sebelumnya, kaki pemain Bolton Wanderers, Stuart Holden, pernah retak akibat tekel de Jong. Kemudian, setelah insiden dengan Alonso, de Jong seakan enggan bertaubat dengan meretakkan dua kaki Hatem Ben Arfa di Liga Primer Inggris, Oktober 2010.
Ketika bermain di LA Galaxy musim lalu, ia kembali membuat pemain lawan harus mengerang kesakitan di lapangan. Pemain Portland Timbers, Darlington Nagbe, dan penggawa Vancouver Whitecaps, Blas Perez, menjadi korban de Jong di Major League Soccer.
Posisinya sebagai gelandang bertahan memang mengharuskannya melakukan perbuatan “kotor” untuk merebut bola atau melindungi bola dari sergapan lawan. Akan tetapi, seringkali de Jong terlalu keras melakukan pelanggaran, yang sempat membuatnya ditepikan sementara dari tim nasional Belanda.
Dulunya jadi playmaker
Melihat gaya bermain de Jong saat ini, kita mungkin mengira bahwa sudah sejak kecil ia bertipikal pemain keras. Namun, siapa sangka kalau pemain yang identik dengan nomor punggung 34 ini mengawali karier sebagai playmaker.
Betul, playmaker. Pemain yang mengatur ritme permainan dan memiliki umpan-umpan terukur. Tugas mulia itu diembannya semasa berseragam Ajax Amsterdam. Bahkan ia juga sempat bermain di sektor sayap, saat menjuarai Eredivisie musim 2003/2004. Musim depannya, kariernya semakin melejit dengan mendapat penghargaan pemain terbaik Ajax musim itu.
Adalah Huub Stevens, pelatihnya di Hamburger SV yang mengubahnya sebagai gelandang petarung. Huub melihat potensi de Jong akan lebih maksimal jika ditempatkan lebih ke dalam untuk merebut bola. Ia pun membiasakan de Jong di posisi barunya dengan menduetkannya bersama gelandang jangkar senior.
Eksperimen Huub kemudian berbuah manis. De Jong menjadi salah satu pemain favorit di Hamburg, dan mendapat julukan The Lawnmower (Si Pemotong Rumput). Peran yang kemudian selalu diembannya di setiap tim yang dibelanya.
Di Manchester City, de Jong berandil besar dalam kesuksesan The Citizens merengkuh trofi Liga Primer Inggris (EPL) 2011/2012, menyempurnakan raihan individunya di musim sebelumnya saat menjadi pemain dengan akurasi umpan terbaik di EPL, yakni 90 persen.
Ketika hengkang ke AC Milan, de Jong juga tetap menjadi pemain kunci di klub tersebut, meski dibeli dengan harga sangat murah dari Manchester City, hanya 3,5 juta paun saja. Ia menggantikan tugas Mark van Bommel, dan membuat lini tengah I Rossoneri tetap tangguh meski hanya dihuni pemain-pemain semenjana. Puncaknya, ketika ia mencetak gol kemenangan di Derby Della Madonnina pada Mei 2014.
Nigel de Jong, nama yang kerap diasosiasikan dengan permainan kotor, tapi ia sebenarnya juga tak jarang memberi kontribusi positif pada timnya tanpa terlibat pertikaian. Toh, setiap tim hebat pasti memiliki gelandang bertahan hebat di timnya, dan de Jong adalah salah satunya.
Hari ini, di ulang tahunnya yang ke-33, mari kita ampuni dosa-dosa de Jong. Dengan usia yang semakin beranjak, kedewasaan dalam bermain tentu semakin bertambah, dan semoga ia bisa memberikan yang terbaik di klubnya saat ini, Galatasaray.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.