Beberapa saat usai Xabi Alonso sukses mengeksekusi penalti yang membuat Spanyol unggul satu angka atas Belanda di Piala Dunia 2014 lalu, bayang-bayang kegemilangan La Furia Roja di Afrika Selatan empat tahun lalu langsung menyeruak. Sayang, bayangan indah itu bertahan beberapa waktu saja.
Daley Blind, pria kalem dengan sorot mata teduh, mengirim umpan panjang untuk sang kapten, Robin van Persie, yang berlari menyeruak kumpulan pemain belakang Spanyol yang lengah. Bola melambung cantik, mendarat beberapa meter dari mulut gawang Iker Casillas, dan tepat di sana posisi pria dengan sapaan akrab RvP ini berada. Ia mencondongkan badannya, terbang seperti lumba-lumba untuk mengirim umpan cantik Blind ke gawang Casillas yang mati langkah, hanya beberapa meter dari posisinya berada.
Gol yang, tak hanya mengubah peruntungan Belanda, tapi juga menandai awal kejatuhan sepak bola Spanyol di mata sepak bola dunia. Gol yang, kalau boleh saya asumsikan, memberi era baru bagi Spanyol bahwa sepak bola mereka yang rancak itu, tak lagi mempan untuk mendominasi dunia sekali lagi. Tim Matador dihajar 5-1, dipaksa pulang kampung lebih awal meski datang sebagai juara bertahan dan dua tahun berselang, kembali tampil loyo di Prancis saat Piala Eropa 2016.
Memang, gol cantik RvP tak serta merta memberi palu penghakiman bagi nasib timnas Spanyol, tapi prosesnya yang cantik dan eksekusinya yang tak kalah menawan, membuat roda nasib berputar cukup keras bagi anak-anak Iberia. Bagi saya, gol tersebut menipiskan kedengkian bagi eks kapten Arsenal tersebut.
Memori saya tentang Robin van Persie
Tidak mudah menjelaskan tentang RvP dalam satu tulisan sederhana, mengingat saya adalah suporter Arsenal. Karena seperti yang dilakukan gerbong pemain begundal macam Gael Clichy dan Samir Nasri, pria Rotterdam ini adalah pemain nomor sekian yang meninggalkan Arsenal tepat ketika tim tengah membutuhkannya untuk tampil kompetitif. Semusim setelah ia tampil tajam dan merengkuh gelar top skor Liga Primer Inggris, si kidal berpaling ke kota Manchester, mengejar gelimang gelar yang dinantikannya.
Van Persie adalah si brengsek yang betul-betul menyebalkan. Ia yang semenjak pindah ke Manchester United, membuat Thomas Vermaelen bermain layaknya pemain belakang kelas tarkam dan mempermainkan lini belakang Arsenal laiknya kumpulan pemain amatir. Ia yang berlari menyongsong Wayne Rooney dengan raut gembira ketika umpan tarik eks kapten United tersebut ia konversikan menjadi satu-satunya gol ke gawang Arsenal pada suatu waktu. Ya, Robin van Persie memang bajingan betul.
Tapi, gol cantiknya ke gawang Spanyol mengubah pandangan saya. Pemain Belanda ini memang rutin menciptakan banyak gol dengan kualitas yang luar biasa bagus. Kaki kirinya luar biasa. Presisi dan instingnya bagus, mengingat ia sempat dua tahun menimba ilmu dan berbagi porsi latihan dengan The Iceman, Dennis Bergkamp.
Kamu bisa menemukan sentuhan Bergkamp dalam first time volley RvP yang ikonik. Tendangan voli kaki kirinya ke gawang Aston Villa, bahkan menjadi salah satu penentu gelar Liga Inggris ke-20 bagi United, membawa mereka mengungguli catatan sang rival, Liverpool.
Saya penikmat gol-gol indah, walau tak setuju betul dengan penghargaan bernama Puskas Award itu. Bagi saya, gol yang cantik tak perlu diganjar dengan penghargaan atau masuk nominasi apapun. Biarlah gol-gol cantik itu menjadi kenangan bagi si pemain dan penonton di stadion serta para pemirsa di rumah dengan melankolia mereka masing-masing.
Bagi saya, terbangnya Robin van Persie kala menyambut asis Daley Blind sama cantiknya dengan tendangan voli kaki kiri cantik yang ia lesakkan ke gawang Charlton Athletic semasa berseragam merah Meriam London. Gol yang menipiskan kebencian saya, membuat saya berdiri dari posisi duduk dan bertempik sorak dengan riuh di depan televisi ketika gol tersebut tercipta dan Casillas termangu menatap gawangnya bobol dengan proses sederhana yang terasa mewah.
Saya berdiri, bertepuk tangan meriah dan lupa bahwa di laga Piala Dunia tersebut, saya adalah suporter Spanyol. Saya tidak pernah menyukai Louis van Gaal atas apa yang ia lakukan pada Juan Roman Riquelme semasa di Barcelona. Saya juga bukan penikmat timnas Belanda (kecuali Dennis Bergkamp, tentu saja), mengingat mereka-lah penjajah negara saya selama ratusan tahun (ya, saya sekolot itu memang, mau apa kalian?). Mengingat bahwa RvP adalah kapten timnas Belanda kala itu, semakin membuat yakin bahwa tim Oranje tak akan pernah saya idolai sampai kapanpun.
Tapi, selepas gol cantik van Persie, saya heboh dan larut dengan euforia. Mungkin itu efek magis Piala Dunia dan mungkin juga itu efek penikmat sepak bola yang larut dalam gemuruh ketika menonton sebuah gol tercipta. Tapi di momen gol tersebut tercipta, saya tahu satu hal: kebencian saya pada sosok mantan kapten Arsenal itu mulai menipis.
Saya mengapresiasi gol van Persie sebagai sebuah mahakarya yang sama agungnya dengan gol cantik James Rodriguez ke gawang Uruguay hingga solo-run cantik Mesut Özil ke gawang Ludogorets. Dalam sebuah gol, tak hanya angka yang dirayakan, tapi juga kegembiraan hingga kebencian yang perlahan menipis seiring bola yang melayang masuk ke gawang dengan cara-cara terindah yang bisa dibayangkan para penikmat si kulit bundar.
Selamat ulang tahun, Robin van Persie, jangan lupa istigfar.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis