Dengan satu laga tersisa di fase grup Liga Champions, kelima klub asal Inggris berhasil memuncaki grup masing-masing, dan sebagian besar telah berhasil mengunci tempat di fase knock-out babak 16 besar. Tentunya, hal ini adalah prestasi yang cukup mengagumkan bagi sebuah negara yang beberapa tahun belakangan tengah kesulitan di kompetisi tingkat Eropa. Meskipun begitu, sebenarnya hal ini bukanlah sebuah kejutan.
Di Liga Champions, kita mungkin sadar bahwa ada power shift, atau pergeseran dominasi antar-negara tiap 5 hingga 10 tahun: Italia pernah menjadi penguasa melalui duo Milan, lalu Spanyol dengan Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid, dan Jerman dengan Bayern München dan Borussia Dortmund. Kini, sepak bola Inggris kembali bergeliat. Hal-hal seperti ini wajar terjadi di sepak bola.
Performa Tottenham Hotspur di Liga Champions musim ini mengingatkan saya tentang klub Inggris lain yang juga merupakan rival abadi mereka, Arsenal. Ketika The Gunners pertama kali bermain di Liga Champions di Wembley, mereka tak mampu bersaing dengan baik, dan berujung pada mentoknya perjuangan mereka di fase grup.
Seiring waktu, Arsenal mampu tampil lebih baik, dan ini juga terjadi kepada Tottenham. Cara satu-satunya untuk mampu bersaing di Liga Champions adalah dengan mereguk pengalaman dari partisipasi di kompetisi ini. Spurs memang terpuruk di awal ikutnya mereka di Liga Champions, namun mereka berhasil memperbaiki diri, dan hal itu bagus untuk sepak bola Inggris.
Meskipun begitu, sejujurnya saya tak yakin seberapa jauh Spurs akan melaju. Mereka memiliki banyak pemain bagus, namun rasanya, selain Harry Kane, mereka tak memiliki banyak pemain kelas dunia seperti Madrid, Barcelona, atau City.
Namun, mereka memiliki pemain yang mampu menjadi pembeda di fase knock-out nanti dalam diri Kane dan rekannya, Son Heung-min. Kane adalah pemain yang sangat tajam apabila ia mendapat suplai yang berkualitas. Ia mampu mencetak gol melalui kaki kanan atau kiri, dan juga kepalanya, melalui situasi apapun.
Son memiliki tenaga untuk berlari di atas Kane. Ia mampu untuk mendribel, lalu melakukan finishing dengan baik. Memang, pemain asal Korea Selatan ini tak selalu tampil di Liga Primer Inggris, namun dengan etos kerja yang ia miliki, ia mampu tampil baik di level Eropa. Ia cocok untuk bermain bagi tim yang mengandalkan serangan balik, dan Spurs harus menerapkan cara ini di Liga Champions. Mereka akan kalah apabila mencoba untuk menguasai bola melawan klub-klub seperti Madrid dan Barcelona.
Namun, Spurs harus paham bahwa fase knock-out Liga Champions adalah ujian yag sesungguhnya. Mereka akan menghadapi Madrid yang berbeda dari fase grup, karena fase knock-out adalah waktu bagi tim-tim besar dengan tradisi di Liga Champions, untuk menampilkan kebolehannya yang sebenarnya.
Liverpool mengalami sedikit kemunduran ketika secara mengejutkan ditahan imbang dengan skor 3-3 oleh Sevilla. Meskipun begitu, saya tetap yakin mereka akan lolos dari fase grup, namun, saya tak melihat mereka akan mampu melaju lebih lanjut dari babak 16 besar.
Mereka memang memiliki kesempatan, terlebih dengan kecepatan dan sisi eksplosif yang dimiliki trio Philippe Coutinho, Sadio Mane, dan Mohamed Salah, namun lini pertahanan mereka sungguh meragukan dan hal itu adalah masalah besar. Untuk memperbesar kesempatan timnya, Jürgen Klopp harus memperbaiki lini belakangnya terlebih dahulu.
Baca juga: Liverpool yang Masih Demam Panggung di Liga Champions Eropa
Selanjutnya, mereka harus mencari gelandang yang lebih baik ketimbang Jordan Henderson, yang bagi saya pribadi, bukanlah gelandang yang bagus. Yang terakhir, mereka harus merekrut penyerang tengah murni yang benar-benar tajam, yang sempat mereka miliki dalam diri Robbie Fowler, Michael Owen, atau Luis Suarez yang mampu mencetak lebih dari 30 gol dalam satu musim. Penyerang yang mereka miliki saat ini, Roberto Firmino dan Daniel Sturridge, tidak berada dalam level tersebut.
Liverpool harus berkaca kepada seteru berat mereka, Manchester United (MU), tentang bagaimana pertahanan menjadi kunci kesuksesan. MU mampu mencetak gol sekaligus menjaga gawang mereka tetap bersih. Memiliki pemain-pemain yang berkualitas seperti Romelu Lukaku, Zlatan Ibrahimovic, Juan Mata, Henrikh Mkhitaryan, dan Marcus Rashford, saya dapat melihat mereka mampu melaju jauh di bawah asuhan Jose Mourinho. Ia mampu memenangkan Liga Champions bersama dua tim yang berbeda, dan ia paham bagaimana melakukan itu.
Paul Pogba memang menjadi target kritikan beberapa orang, namun Mourinho menyatakan betapa berharganya gelandang asal Prancis tersebut bagi timnya. Ketika ia bermain, MU mampu mencetak tiga hingga empat gol, dan tanpa dirinya, MU hanya mampu mencetak setidaknya satu atau dua gol. Bagi saya pribadi, performanya sebanding dengan harganya, dan mengingat usianya masih 24 tahun, ia sudah menjadi salah satu gelandang terbaik di dunia.
MU memang memiliki kans yang cukup kuat, namun rival sekota mereka, Manchester City, telah menunjukkan bagaimana perkembangan yang sesungguhnya di bawah penanganan Pep Guardiola. Musim lalu benar-benar ia gunakan untuk beradaptasi, namun kini ia benar-benar sudah memantapkan fondasi yang ia inginkan, dan skema timnya saat ini mengingatkan saya akan Barcelona asuhannya: penguasaan bola yang dominan dan gol yang dicetak melalui tap-in.
Sebagai seorang pemain depan, saya paham betapa menyenangkannya mencetak gol melalui tap-in, karena kesempatan itu sangat jarang terjadi, namun, Gabriel Jesus melakukan itu setiap saat!
Kemenangan dalam 17 laga berturut-turut, termasuk dalam laga melawan Wolverhampton di Piala Liga yang berujung pada adu penalti, menunjukkan kelas Pep yang seusungguhnya. Musim lalu, mantan manajer Bayern München tersebut masih belajar tentang sepak bola Inggris, dan menyesuaikan terhadap ekspektasi yang datang kepadanya. Kini, mereka menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan di musim lalu telah sepenuhnya diperbaiki.
Pep terkenal sebagai manajer yang berorientasi ofensif, namun ia harus berhati-hati terhadap klub-klub yang akan bertahan dalam dan melakukan serangan balik di fase gugur nanti. Selain itu, ia harus waspada terhadap pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, yang mampu menciptakan gol dari keadaan dan situasi apapun.
Masih teringat jelas bagaimana tim Bayern asuhan Pep yang perkasa, namun tak memiliki pemain seperti Ronaldo atau Messi, harus tersisih tiga kali berturut-turut di babak semifinal.
Yang terakhir adalah Chelsea, yang terlihat kuat bersama Antonio Conte, namun terlihat goyah di Liga Champions, termasuk dua hasil buruk melawan AS Roma. Musim lalu, saya pernah menulis tentang mengapa Chelsea begitu perkasa di Liga Primer Inggris, yang disebabkan karena mereka tak berpartisipasi di kompetisi Eropa. Hal itu terbukti benar adanya.
Musim lalu, mereka dapat beristirahat ketika rival-rival mereka harus terbang ke Rusia di pertengahan minggu, namun kini mereka yang harus bertandang ke Baku, dan tingkat kelelahan mereka akan terakumulasi lebih banyak lagi. Hal ini berpengaruh pada skuat, dan meskipun mereka memiliki pemain kelas dunia dalam diri Eden Hazard dan Alvaro Morata, tak dapat dipungkiri bahwa kedalaman skuat mereka tak seperti City atau MU.
Melihat ke fase knock-out nanti, berasumsi bahwa kelima klub Inggris ini akan lolos, saya rasa City-lah yang akan menjadi penantang terkuat. Mereka memiliki kepercayaan diri dan tentunya kemampuan untuk menguasai bola hingga mencapai 60 persen per pertandingan, dan hal itu membantu David Silva dan kolega untuk mendominasi laga. Setidaknya, tim lawan tak mampu mencetak gol jika tim anda menguasai bola. Mereka memiliki gaya yang berbeda ketimbag Chelsea dan MU yang, katakanlah, kalah penguasaan bola melawan tim seperti Arsenal, namun mampu mencetak gol.
Meskipun begitu, patut diingat bahwa adalah hal yang berbeda menghadapi klub seperti Barcelona, Madrid dan Paris Saint-Germain, dengan klub seperti Brighton, Swansea, atau pun Watford. Namun, apabila Pep mampu menjaga kualitas permainan dan moral anak asuhnya, mereka mampu untuk memenangkan dua trofi atau bahkan lebih.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket