Pada tanggal 2 November 2017, klub sepak bola kesayangan rakyat Sulawesi Selatan (SulSel), PSM Makassar, merayakan ulang tahun ke-102 tahun. Mungkin inilah pertama kalinya dalam hampir dua dekade terakhir perayaan ulang tahun Juku Eja diwarnai dengan optimisme yang cukup tinggi. Sebabnya, Liga Indonesia menyisakan dua pertandingan lagi dan peluang PSM untuk menjadi juara terbuka lebar.
Dalam usia 102 tahun, PSM saat ini ibaratnya seorang kakek tua yang semasa hidupnya dipenuhi berbagai cerita hebat. Salah satu contohnya adalah kehebatan PSM di dekade 1950-an dan 1960-an, yang melibatkan sang legenda, Ramang. Selama beberapa dekade, rakyat Sulsel manapun pasti akrab mendengar cerita kehebatan Ramang semasa aktif bermain, termasuk ketika sang legenda terpilih membela tim nasional Indonesia yang menahan imbang Uni Soviet di Olimpiade 1956.
Konon, saking kerasnya tendangan Ramang, penjaga gawang lawan pernah dibuat muntah darah ketika menahan tendangannya. Namun, karena tidak ada dokumentasi yang benar-benar menunjukkan kiper korban Ramang itu muntah darah di atas lapangan, cerita itu bisa disamakan dengan mitos belaka. Mungkin bisa dimaklumi jika di dekade 1950-an atau 1960-an, teknologi dokumentasi belum secanggih sekarang.
Begitu pula dengan dominasi PSM setelah dengan menjuarai kompetisi Perserikatan di tahun 1957, 1959, 1965, dan 1966, bergantian dengan tim-tim raksasa kala itu, yaitu PSMS Medan, Persija Jakarta, dan Persib Bandung. Untungnya, pada dekade 1990-an dan 2000-an, sudah terdapat sedikit rekaman PSM ketika terakhir kali menjadi juara Liga Indonesia di tahun 2000. Rekaman final Bima Sakti dan kawan-kawan ketika mengungguli PKT Bontang di Senayan sudah bisa dinikmati berulang-ulang di kanal YouTube.
Sampai tahun 2004, kehebatan PSM masih bergelora. Juku Eja mencicipi posisi terhormat dengan dua kali menjadi runner-up di tahun 2003 dan 2004. Selain itu, prestasi PSM di Asia pun berkibar dengan menembus delapan besar Liga Champions Asia 2000/2001, bahkan sampai dipercaya menjadi tuan rumah. Nah, fakta ini juga sering mengundang keraguan baru. Anak-anak muda yang mungkin di awal milenium masih berusia balita itu, akan sukar memercayai bahwa Stadion Andi Mattalatta atau Mattoanging yang kini berlumuran lumut, pernah menjadi tuan rumah pagelaran bergengsi itu.
Baca juga: Makassar Menantikan ‘Mattoanging Baru’
Pada tahun tersebut, PSM sebagai juara liga berhak tampil sebagai wakil Indonesia di Liga Champions Asia. Di babak penyisihan pertama, PSM menghadapi wakil Vietnam Song Lam Nge Ahn (SNLA). Keraguan sempat menyelimuti seluruh skuat dan pendukung PSM, mengingat ketika terakhir kali berlaga di ajang tersebut, tim Juku Eja dibantai 0-4 oleh wakil Korea Selatan, Pohang Atoms.
Terbukti, SNLA sukses menahan imbang PSM tanpa gol di Makassar. Namun, dengan gagah berani PSM membantai tuan rumah di Vietnam dengan skor 4-1. Kemenangan ini membuat penonton bergairah dan memadati pertandingan penyisihan kedua melawan Royal Thai Air Force (RTAF). Di luar prediksi, PSM kembali mengamuk dengan membantai juara Thailand tersebut dengan skor 6-1. Ini adalah kemenangan terbaik PSM di Liga Champions Asia.
Ketika bertandang ke Thailand, PSM kembali menang 5-0 atas tuan rumah, dan berhak tampil di perempat-final. Seolah ingin meneruskan kebahagiaan para pendukung PSM, Stadion Mattoanging ditunjuk menjadi tuan rumah delapan besar turnamen antarklub tertinggi Asia tersebut.
Dekade 2010-an dimulai PSM dengan terlibat pada peristiwa sejarah yang sepertinya sangat ingin mereka lupakan. Pada saat itu, bersama Persema Malang dan Persibo Bojonegoro, PSM mengambil langkah ekstrem sebagai wujud pemberontakan, yaitu berpindah liga.
Akibatnya, nyaris empat tahun dihabiskan PSM terasing di dunia yang berbeda, yaitu Liga Primer Indonesia (LPI), sedangkan klub-klub besar lain seperti Persipura dan Persib masih meramaikan Liga Super Indonesia. Jika diibaratkan serial populer ‘Stranger Things’, selama empat tahun PSM terjebak di dunia ‘upside down’.
Meski demikian, rasanya tak ada yang perlu disesali dari masa-masa ‘upside down’ PSM tersebut. Kiprah PSM di LPI diwarnai dengan meroketnya penampilan dua pemain paling setia mereka saat ini, yaitu Hendra Wijaya dan M. Rahmat. Selain itu, sang jenderal lapangan tengah, Syamsul Haerudin juga kembali dari perantauannya. Terakhir, andai tak pernah dilatih oleh Petar Segrt pada masa-masa tersebut, mungkin bakat si genius Rasyid Bakri tak akan pernah ditemukan.
Pada tahun 2017 ini, sang kakek tua PSM ternyata masih sanggup berlomba lari dengan anak-anak muda seperti Bali United, Madura United, dan Bhayangkara FC. Bahkan, di usia lebih seabad ini, semangat Juku Eja justru tak kalah segarnya dari klub-klub yang baru berdiri tersebut.
Di bawah komando Meneer yang super-optimis, Robert Rene Alberts, antusiasme dari ruang ganti pemain pun ditularkan ke tribun-tribun penonton. Bahkan sampai tokoh-tokoh publik dan para pejabat daerah pun ikut merasakannya.
Namun, di usia yang terbilang tua ini, PSM seyogyanya selalu bijak dan membumi. Mereka tak boleh terlalu jemawa karena merasa senior sehingga menutup mata atau lalai pada tuntutan zaman, seperti mengurusi aspek administrasi untuk mendapatkan lisensi AFC, misalnya.
Namun, yang terpenting di usia 102 tahun ini tentunya adalah perayaan akan gelar juara. Stadion Mattoanging yang tak pernah sekalipun sepi penonton di Go-jek Traveloka 2017 ini adalah bukti nyata kerinduan mendalam para pendukung PSM akan gelar juara.
Tujuh belas tahun sudah cukup lama. Sudah waktunya Ayam Jantan dari Timur kembali bermahkota.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.