Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menemukan sebuah “perang” di kolom komentar salah satu akun sepak bola yang cukup terkenal di Instagram. Dilihat dari foto profil dan unggahannya, dua wargamaya yang saling menghujat ini mungkin seumuran siswa SMP.
Kejadian berawal ketika Chelsea dikalahkan 1-2 oleh Crystal Palace, dan beberapa jam sebelumnya, Manchester United ditahan imbang tanpa gol oleh Liverpool. Kedua pihak yang terlibat adu argumen ini diketahui merupakan pendukung Setan Merah dan Si Biru dari London, juga dilihat dari foto profil serta foto-foto di akunnya.
Akun berita sepak bola tersebut sebenarnya hanya menjalankan tugasnya sebagai penyedia informasi. Ia mengunggah video cuplikan gol di laga Crystal Palace kontra Chelsea, dengan caption yang sedikit menyindir tim tamu, karena kalah memalukan dari juru kunci. Namun, di media sosial di mana semua orang bebas berpendapat, unggahan sederhana seperti ini (sayangnya) bisa dianggap terlalu serius bagi beberapa orang.
Di kolom komentar tersebut, si pendukung Setan Merah lebih dulu mengeluarkan pernyataan panas dengan menghina Chelsea lewat berbagai kalimat tak senonoh. Melihat tim pujaannya dicerca dengan kata-kata kotor, si penggemar The Blues pun bereaksi dengan tensi yang sama tingginya, karena tak terima klub pujannya diejek oleh pendukung klub lain yang timnya juga gagal menang.
Adu komentar kedua anak sekolah ini pun terus berlanjut hingga mencapai belasan reply dan turut mengundang komentar dari followers lain. Nahasnya, kedua “tokoh utama” dalam perang dunia maya ini, sampai tega untuk saling mengejek kedua orang tua. Melihat unggahannya ternoda oleh kata-kata tak pantas, pemilik akun kemudian menghapus belasan komentar heboh tadi, karena besoknya saya tidak menemukan komentar yang sama di unggahan itu.
Media sosial bukan tempat menyulut emosi
Di zaman yang serba digital sekarang ini, sebenarnya kehadiran media sosial sangat membantu untuk mengulik informasi. Apapun namanya, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga Path maupun Snapchat, semata-mata dibuat agar kita semakin mudah untuk saling berkomunikasi sembari mencari informasi.
Maka dari itu, tak heran banyak akun-akun penyedia informasi yang bertebaran di media sosial ini. Mulai dari sepak bola, politik, info-info unik, kita semua dapat menemukan mereka hanya dalam beberapa kali klik di gawai kita. Namun, beberapa oknum justru sengaja mencari keuntungan dari fenomena ini, khususnya di bidang sepak bola.
Dengan jumlah followers yang banyak, membuat beberapa akun media sosial sengaja mengunggah konten untuk memanas-manasi pengikutnya. Saya tentu tak perlu menyebutkan akun-akun mana saja dengan kenakalan seperti itu, bukan?
Baca juga: Deretan Blunder Pesepak Bola di Media Sosial
Memang, semakin banyak komentar di unggahan itu menandakan bahwa followers mereka aktif, bukan bot, yang bisa membuat calon pengiklan tertarik untuk memasarkan produknya di sana. Akan tetapi, kelakuan seperti itu tanpa disadari justru dapat membawa efek negatif bagi beberapa orang.
Dulu, ketika saya masih bersekolah di bangku SMP, saya paling takut masuk di hari Senin jika di hari Sabtu atau Minggunya klub pujaan saya menelan kekalahan. Bayang-bayang mendapat ejekan dari teman sekelas, yang terkadang berbuntut kelakuan usil dari para pendukung klub rival, membuat sekolah yang seharusnya menjadi institusi pendidikan berubah menjadi momok menakutkan bagi beberapa anak yang mengalami hal sama seperti saya.
Bahkan, salah seorang teman saya pernah terlibat baku hantam dengan anak kelas lain hanya karena tim yang ia dukung (AS Roma) dibantai 1-7 oleh Manchester United di Liga Champions. Teman saya merasa jengah dengan segala ejekan yang didengarnya sejak pagi, dan memuncak pada jam istirahat ketika ia berjalan di lorong menuju kantin.
Kini, hal yang sama juga dialami oleh ‘kids jaman now’, bahkan dalam tingkatan yang lebih parah.
Kapanpun sebuah tim raksasa dengan basis massa yang besar mengalami kekalahan, berbagai macam ejekan apapun bentuknya, mulai dari meme hingga kalimat sindiran, pasti banyak beredar di akun-akun penyedia informasi sepak bola. Fenomena itulah yang kemudian menyulut emosi beberapa pengikutnya, yang tak jarang masih berusia belasan tahun.
Masa-masa menimba ilmu, baik di bangku SD, SMP, maupun SMA, adalah masa di mana seorang anak akan menunjuk salah satu figur terkenal sebagai pujaannya. Jika ia menggemari sepak bola, maka ia pasti memiliki klub dan pemain idola, dan jika idolanya tersebut dicaci oleh orang lain, ia pasti tidak terima.
Ketika handphone belum berupa smartphone seperti saat ini, permasalahan anak-anak penyuka sepak bola Eropa mungkin hanya sebatas yang saya alami. Namun ketika media sosial terlahir di dunia ini, persoalannya dapat menjadi lebih kompleks seperti kedua anak SMP yang saya ceritakan di awal tadi.
Hanya karena dua tim pujaannya gagal menang, mereka saling hujat di dunia maya. Hanya karena hal wajar yang terjadi di sepak bola, mereka sampai mengungkit orang tua untuk diejek. Hanya demi klub yang bahkan sama sekali tidak mengetahui keberadaan mereka, keduanya bertempur habis-habisan memakai ibu jari masing-masing.
Semuanya terjadi ketika konten tak mendidik yang hanya sekedar memicu banjirnya komentar itu muncul di timeline mereka. Itulah mengapa anak-anak penggemar kulit bundar yang terlahir di era digital sekarang ini mengalami hidup yang berat, karena arus informasi mengalir tiada henti, tapi tak ada penyaring yang membatasinya sesuai umur mereka.
Akhir kata, saya berpesan pada para pemilik akun yang sering mengunggah konten-konten bullying pada tim yang kalah, untuk menggantinya menjadi konten yang menambah wawasan. Jika tidak, bagi anak-anak di bawah umur, konten bullying seperti itu dapat menanamkan anggapan bahwa setiap tim rival yang kalah harus diejek dan dihina habis-habisan. Nantinya, kebiasaan itu dapat berubah menjadi tawuran di kemudian hari.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.