Tagar #CatalanReferendum meramaikan linimasa daring sepanjang hari Minggu kemarin (1/10). Seperti yang bisa kamu temukan di banyak laporan berita dua hari belakangan, pada tanggal 1 Oktober 2017 lalu, rakyat Catalan melakukan referendum untuk menentukan nasib kemerdekaan yang mereka perjuangkan untuk bisa lepas dari pemerintah dan kerajaan Spanyol.
Referendum tentu bukan hal asing bagi rakyat Indonesia. Pada tahun 1999, setahun usai memasuki masa Reformasi, Presiden BJ Habibie beserta Sekjen PBB kala itu, Kofi Annan, sepakat untuk memberikan referendum bagi Timor-Timur (kini Timor Leste), dengan dua opsi yang ditawarkan. Pertama, menerima keputusan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi daerah khusus dengan otonomi. Kedua, menolak otonomi khusus dan melepaskan diri dari NKRI sebagai negara merdeka.
Usai konflik berkepanjangan dan banyaknya kekerasan HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi di perbatasan Timor-Timur dan Indonesia, referendum 1999 menghasilkan keputusan yang tidak mengejutkan. Sebanyak 78,5 persen warga Timor-Timur, sesuai data yang dirilis pemerintah Indonesia kala itu, sepakat untuk memilih lepas dari Indonesia. Sejarah kemudian mencatat bahwa salah satu provinsi di NKRI, kini menjadi negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Lalu, bagaimana dengan kisah referendum dan permintaan kemerdekaan yang digaungkan publik Catalan?
Referendum Catalan
Selain pajak yang teramat besar yang harus disetorkan pemerintah Catalan kepada pemerintah Spanyol, sudah sejak lama (utamanya di rezim Francisco Franco), rakyat Catalan tidak mengasosiasikan diri sebagai bagian dari Spanyol. Walau sudah diberikan otonomi khusus sejak tahun 1979, nyatanya, isu kemerdekaan Catalan masih sering mewarnai laga-laga sepak bola di Camp Nou maupun menjadi bumbu penyedap laga El Clasico antara Barcelona dan Real Madrid.
Kendati banyak pesepak bola Catalan tergabung di generasi emas timnas Spanyol dalam rentang 2008-2012, tak mengubah pendirian beberapa putra daerah Catalan tentang nasionalisme mereka terhadap Catalan. Xavi Hernandez dan Gerard Pique kala itu, sesekali menyuarakan dukungan mereka terhadap kemerdekaan Catalan. Nama kedua, Pique, bahkan secara frontal mengabarkan baru-baru ini bahwa ia siap mundur dari timnas Spanyol bila preferensi politiknya terhadap kemerdekaan Catalan dianggap mengganggu kestabilan timnas asuhan Julen Lopetegui.
Tapi, bagaimana sih awal mula kisruh Catalan dan Spanyol?
Akar masalahanya bisa jadi sangat panjang dan tidak sesederhana dengan menariknya pada zaman rezim Franco belaka. Di sini, saya akan sedikit mencoba merunut sejarahnya ke belakang secara ringkas untuk memberi sedikit gambaran. Bila dirunut ke belakang sesuai sejarah awal kependudukan di Semenanjung Iberia, orang-orang asli di Spanyol, memang hasil asimilasi dari berbagai kesukuan yang berpencar ke segala penjuru Eropa untuk menghindari ekspansi besar-besaran Kekaisaran Romawi. Goth, suku pertama yang kemudian mendiami Spanyol, adalah sisa-sisa kaum Germanik yang terusir dari tanahnya sendiri di pinggiran Sungai Danube akibat ekspansi Romawi di daratan Eropa.
Berturut-turut, kaum Goth, Muslim, Franks, hingga Napoleon Bonaparte, pernah mendiami dan menduduki wilayah Iberia (Spanyol) dan sebagian dari Italian Peninsula (Sisilia, dan khususnya, Italia Selatan). Dan di sana, di tepi-tepi wilayah Spanyol, Basque dan Barcelona (pusat dari Catalan), menjadi wilayah yang kemudian didiami secara khusus oleh orang-orang Franks.
Franks ini yang menurut beberapa ahli sejarah Eropa, dianggap sebagai cikal-bakal orang-orang Prancis (dan sedikit orang Jerman) di Eropa. Sisa-sisa budaya kaum Franks di Spanyol bahkan bisa kamu temukan di beberapa pemain Basque yang kemudian dekat dengan budaya Prancis seperti Aymeric Laporte, hingga Antoine Griezmann, yang pernah lama membela Real Sociedad, sebelum hijrah ke Atletico Madrid. Secara geografis, Basque memang dekat dengan Prancis. Bahkan, salah satu bahasa resmi di wilayah Basque adalah bahasa Prancis. Satu hal yang konon, membuat Griezmann betah di Sociedad.
Sementara itu, pusat episentrum Spanyol di Madrid, awalnya dihuni oleh orang-orang Carthagia, yang ketika Romawi menduduki Iberia, frasa ‘Hispania’ atau ‘Hispanik’ dalam bahasa Indonesia, dipopulerkan oleh pemerintah Romawi untuk menyebut orang-orang Carthagia di Madrid. Dari situ, lalu muncul istilah ‘Latin’. Dan berkat perkembangan zaman juga keilmuan, terjadilah migrasi orang-orang Latin di Iberia yang berlayar dan bertebaran hingga ke benua Amerika. Dan seperti yang kamu ketahui sekarang, muncullah region yang dikenal dengan Amerika Latin sebagai bagian dari benua Amerika sebelah selatan.
Latar belakang cukup kompleks inilah yang membuat beberapa wilayah non-Madrid, seperti Catalan tentu saja, merasa bahwa diri mereka bukan bagian dari Spanyol. Sejarah historis yang panjang memang membuktikan bahwa ada perbedaan budaya dan bahasa yang menonjol. Bahkan, Catalan juga Basque, punya bahasa mereka sendiri. Selain itu, beberapa wilayah seperti di Basque, juga punya corak budaya yang lebih akrab dengan Prancis ketimbang dengan Spanyol. Sama seperti Timor-Timur yang masih lekat dengan kultur Portugis ketimbang kultur Indonesia, demikianlah yang (mungkin) dirasakan orang-orang Catalan terhadap Spanyol.
Lalu kemudian, kenapa Catalan yang keukeuh ingin referendum sementara Basque cenderung santai?
Rezim Jenderal Franco
Bukan rahasia lagi kalau di rezim Franco, Real Madrid menjadi klub sepak bola yang dekat dengan pemerintah pusat dan menjadi ‘anak kesayangan’ sang jenderal. Di rezim ini pula, Barcelona dan Catalan secara umum, menjadi anak tiri yang dikesampingkan. Kebencian publik Catalan pada rezim Franco yang kemudian merembet kepada rivalitas poros Barcelona-Real Madrid.
Ingatan sejarah kelam dan memori represi di rezim Franco yang kemudian banyak digaungkan politikus di Catalan masa kini untuk bahan propaganda sebagai jalan mereka mengupayakan kemerdekaan atas Spanyol. Oleguer Presas, salah satu eks pemain Barcelona, bahkan sejak masih aktif sebagai pemain sepak bola, beberapa kali kedapatan mengungkapkan opininya tentang kemerdekaan bagi Catalan. Oleguer juga tercatat sebagai salah satu pesepak bola Catalan yang paling vokal menyuarakan isu kemerdekaan, ketika pemain lain masih malu-malu menunjukkan sikap tersebut pada publik. Cara ini yang kemudian diikuti oleh Gerard Pique di masa sekarang.
Basque dan Catalan, walau sama-sama mengalami represi di zaman Franco, keduanya menuju nasib yang berbeda. Bila Catalan menjadi region yang paling maju secara pertumbuhan ekonomi di kawasan Spanyol dan Semenanjug Iberia, Basque justru menjadi wilayah yang pertumbuhan ekonominya biasa-biasa saja dan tidak istimewa. Kekayaan Catalan dan berkembangnya Barcelona menjadi kota metropolitan yang maju di Spanyol, membuat Catalan merasa bahwa tanpa menjadi bagian dari Spanyol, mereka masih mampu menghidupi diri sendiri secara mandiri.
Peran FC Barcelona
Setelah beberapa eksplanasi singkat di atas, inilah saatnya memasukkan peran FC Barcelona dalam referendum Catalan. Selain Oleguer dan Pique, sebenarnya, banyak pemain Barcelona yang secara malu-malu menyatakan dukungannya kepada kemerdekaan Catalan. Xavi dan Sergi Roberto pernah sesekali menyatakan dukungan mereka terhadap kemerdekaan Catalan.
Selain itu, beberapa jajaran di manajemen El Barca juga beranggapan bahwa Barcelona seharusnya perlu mendukung upaya Catalan melepaskan diri dari Spanyol, seperti yang ditunjukkan oleh Carles Villarubi. Kabarnya, Villarubi memutuskan resign dari posisinya sebagai wakil presiden Barcelona, setelah pihak klub keukeuh memainkan laga kontra Las Palmas walau tanpa penonton.
Faktor lainnya, selama beberapa tahun terakhir, pemain-pemain Barcelona juga cukup sering berurusan dengan pajak. Tingginya pajak di Spanyol plus besarnya nilai pajak yang harus dibayarkan Catalan ke pemerintah pusat di Madrid, membuat ketidakpopuleran pemerintah Spanyol di mata publik Catalan semakin meningkat. Bahkan, manajemen Barcelona tak segan menunjukkan dukungan penuh kepada Lionel Messi ketika sang megabintang terkena kasus penggelapan pajak yang didakwakan pengadilan negeri Spanyol.
Walau cenderung bersikap netral, Barcelona sendiri sebenarnya tengah berada di persimpangan jalan dan punya kunci untuk menentukan masa depan kemerdekaan Catalan. Manajemen Los Cules sendiri terkesan tak memberi peringatan bagi Pique yang dengan lantang menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Catalan. Selain itu, posisi tawar Barcelona yang besar bagi kepopuleran La Liga, membuat sikap mereka terhadap kemerdekaan dan referendum di Catalan menjadi kunci penting mengenai ke mana polemik ini akan berlanjut.
Namun satu yang perlu diingat, referendum di Catalan dengan referendum di Timor Leste, adalah dua hal yang berbeda, namun tetap satu rasa. Bila di Timor Leste referendum terjadi atas restu pemerintah Indonesia, di Catalan, mereka melakukan referendum tanpa restu dari Mariano Rajoy, sang Perdana Menteri, dan Kerajaan Spanyol. Perbedaan mencolok yang membuat kekerasan dan tindak represif dari kepolisian Spanyol menjadi bumbu dalam referendum Catalan kemarin dan mungkin, akan terjadi sampai beberapa waktu ke depan.
Pelik memang, tapi ini menunjukkan bahwa sekeras apapun FIFA mencoba menjauhkan politik dari sepak bola, ia akan selalu menemukan jalan untuk masuk dan merecoki olahraga terpopuler di dunia ini. Semoga Catalan dan Spanyol lekas menemukan jalan keluar dari masalah ini dan kita tak perlu lagi melihat Blaugrana berlaga di Camp Nou yang sunyi dengan sembilan puluh ribu lebih kursi yang tak terisi.
Isidorus Rio Turangga – Editor Footbal Tribe Indonesia