Nasional Bola

Insiden Saddil Ramdani dan Pentingnya Mengatur Emosi

Memiliki kemampuan olah bola yang baik tentu menjadi salah satu syarat agar seseorang bisa menjadi pesepak bola andal. Namun dalam realitanya, kemampuan fisik bukan satu-satunya hal yang bisa memengaruhi karier pesepak bola. Ada satu hal lain juga punya peranan penting dan terkait dengan kondisi mental para pesepak bola, tak lain tak bukan adalah emosi.

Selayaknya cabang olahraga lain semisal tinju, basket atau bahkan American football yang mewajibkan para pelakunya berbenturan badan, sepak bola juga memaksa para pelakunya untuk berada pada kondisi serupa.

Dalam setiap aksi di atas rumput hijau, potensi untuk bertubrukan badan tentu amat besar. Entah berupa aksi saling dorong tatkala mengejar bola, tekel-tekel keras yang menghajar kaki, tersikut pada saat memperebutkan si kulit bundar, dan masih banyak lagi. Keadaan inilah yang harus dicermati baik-baik oleh para pesepak bola.

Keniscayaan untuk berada di situasi-situasi seperti itu wajib untuk disikapi dengan perilaku yang benar. Karena pada saat bermain sepak bola, bukan hanya fisik saja yang ikut bermain tapi juga inteligensia serta emosi.

Sedari olahraga kompetitif ini lahir, hingga populer seperti sekarang, melakukan tindakan usil kepada pemain lawan supaya emosinya tersulut dan justru merugikan timnya sendiri adalah hal yang jamak untuk dilakukan.

Silakan tanya kepada para bek-bek legendaris Italia semisal Marco Materazzi dan Pietro Vierchowod tentang tugas yang biasanya mereka emban pada saat berlaga di atas lapangan. Saya pun yakin, jika salah satu di antaranya adalah memprovokasi lawan, entah lewat gerakan tubuh ataupun kata-kata supaya lawan kehilangan fokus dan mudah naik pitam.

Pembaca tentu masih ingat dengan cara kotor Materazzi tatkala mengganggu Zinedine Zidane di final Piala Dunia 2006 lalu dengan umpatan yang dilontarkannya? Sangat tidak sportif memang, namun lewat metode brengsek semacam itu, pemain berjuluk Matrix tersebut berhasil membakar amarah Zidane sehingga menandukkan kepalanya ke dada Materazzi.

Melihat keadaan seperti itu, wasit Horacio Elizondo yang memimpin jalannya laga tak sungkan untuk mengacungkan kartu merah kepada Zizou, sapaan akrab Zidane. Keluarnya Zidane pun berpengaruh besar terhadap permainan Prancis di sisa waktu yang ada. Sampai akhirnya, Materazzi sukses membawa Italia memecundangi sang rival di final sekaligus menggondol trofi Piala Dunia ke Negeri Spaghetti untuk kali keempat sepanjang sejarah.

Emosi Zidane benar-benar merugikan performa Prancis, bukan?

Situasi yang terjadi di antara Materazzi dan Zidane waktu itu juga baru saja dialami oleh gelandang Persela Lamongan yang membela tim nasional Indonesia U-19 di babak semifinal Piala AFF U-18 melawan Thailand, Saddil Ramdani.

Dimasukkan oleh pelatih Indra Sjafri di menit ke-44, Saddil diharapkan sang pelatih bisa memberi angin perubahan guna membongkar ketatnya pertahanan ketat Thailand. Namun sayang, umur Saddil di lapangan tidak berlangsung lama.

Dalam sebuah insiden, Saddil tertangkap basah mengayunkan sikutnya ke dada pemain Thailand bernomor punggung 20, Wudtichai Kumkeam, yang sebelumnya menghajar punggung pemuda berusia 18 tahun tersebut dengan lututnya. Dalam pengakuannya seusai laga, Saddil mengaku jika dirinya refleks membalas kelakuan nakal sang pemain Thailand lantaran emosinya terpancing.

Keadaan itu pada akhirnya membuat sang pengadil lapangan tak segan untuk mencabut kartu merah dan menghadiahkannya kepada Saddil. Indonesia pun harus bermain dengan 10 orang di babak kedua. Sebuah kondisi yang amat merugikan buat anak asuh Indra Sjafri, bukan? Tatkala Indonesia kalah melalui adu penalti, nama Saddil pun tetap dituding sebagai salah satu penyebabnya.

Kejadian-kejadian seperti ini menjadi salah satu momok yang paling sering terjadi di dalam tubuh timnas Indonesia. Pada ajang South East Asia (SEA) Games Kuala Lumpur kemarin, gelandang muda timnas, Hanif Sjahbandi, juga menerima kartu merah tidak perlu saat bertanding melawan Vietnam di fase penyisihan grup akibat emosinya tersulut gaya main lawan. Alhasil, Indonesia pun dirugikan. Beruntung, saat itu kedua tim bermain seri dengan kedudukan nihil gol.

Peristiwa yang dialami Saddil dan Hanif wajib menjadi pembelajaran berharga untuk seluruh pemain Indonesia di kelompok umur berapa pun. Jika tak memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang baik, terlebih dengan kualitas liga yang amat buruk dan kerap menyepelekan permainan keras yang diperagakan tim lawan, dampak negatif yang bisa mereka tularkan terhadap penampilan tim pun senantiasa besar.

Apabila kelemahan ini tak bisa ditangani, utamanya dari kesadaran dan kedewasaan para pemain sendiri, maka masa depan sepak bola Indonesia pun terancam. Sebab kemungkinan terulangnya permainan kasar akibat lemahnya kontrol emosi para pemain Indonesia bakal dimanfaatkan oleh para lawan guna membungkam skuat Merah-Putih. Kalau sudah begini, mengalahkan tim Garuda jelas bukan perkara yang sulit.

Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia akan talenta-talenta sepak bola berbakat, melatih kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi jadi salah satu komponen wajib jika memang ingin bergelimang prestasi di masa yang akan datang. Hal ini berguna untuk mengimbangi porsi gemblengan teknik yang biasa diterima para pemain sehingga pemain-pemain Indonesia memiliki modal yang lengkap sebagai pesepak bola. Tanpa adanya pembelajaran emosi macam itu, sampai kapan pun Indonesia hanya akan menjadi tim yang begitu-begitu saja.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional