Nasional Bola

Saddil Ramdani, Pemuda 18 Tahun Harapan Luis Milla

Sejak kemunculannya bersama Persela Lamongan pada Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 lalu, saya selalu percaya bahwa Saddil sedikit lebih baik dari wonderkid idola Bobotoh yang begitu dipuja kala itu, Febri Haryadi. Dari berbagai aspek, mulai dari kapabilitas teknik dan pemahaman taktik serta efek yang mereka berikan bagi tim, Saddil lebih baik dari Febri. Bedanya satu: Saddil ‘hanya’ bermain di Persela. Ia tentu kalah pamor karena media menyukai pemain muda berbakat dari tim besar.

Perlahan namun pasti, Saddil mulai menemukan momentum tepat untuk semakin berkembang. Luis Milla, pelatih asal Spanyol yang sekarang menukangi Timnas U-22, sempat berujar bahwa dengan kualitasnya, Saddil bisa saja bermain di tim kasta ketiga Spanyol. Pujian dari Milla untuk pemuda yang tahun ini baru berusia 18 tahun. Dari sisi usia, sekali lagi, Saddil jauh lebih muda dari Febri.

Inilah kenapa ketika ia sukses mencetak dua gol ke gawang Mongolia di Kualifikasi Piala Asia U-23, Saddil seakan memberi penegasan penting bagi Luis Milla bahwa ia sosok yang bisa diandalkan untuk mengisi satu slot di lini serang timnas Garuda Muda di pagelaran SEA Games 2017 nanti di Malaysia.

Saddil Ramdani
Kredit: Instagram Saddil Ramdani

Kapabilitas taktikal Saddil

Berbeda dengan Febri yang gemar mepet di garis tepi lapangan, Saddil lebih fleksibel. Alumnus ASIFA (sekolah sepak bola yang dimiliki oleh Aji Santoso) ini jauh lebih pintar dalam hal menempatkan posisinya dalam menyesuaikan skema yang tengah dirancang kawan-kawannya dari bawah.

Dari laga kontra Mongolia, kamu akan sering menemukan Saddil berada tidak terlalu jauh di pos sayap. Ia berada di halfspace, ruang strategis di sepak bola yang bila dimaksimalkan dengan baik, akan membuat sang pemain memiliki banyak ruang yang bisa dimanfaatkan entah sebagai progresi serangan atau membuat peluang di dalam kotak penalti lawan.

Dalam konteks ini, Saddil perlu gelandang nomor 8 yang baik, playmaker yang punya visi bermain apik, juga seorang bek sayap yang aktif naik ke atas memberinya bantuan superioritas jumlah untuk meng-overload pertahanan lawan. Skema ini berhasil karena masuknya Evan Dimas sebagai gelandang nomor 8 dan keberadaan Gavin Kwan Adsit yang menggantikan Putu Gede Juniantara sebagai bek sayap kanan. Juga keberadaan Septian David Maulana yang sangat pas memerankan gelandang nomor 10 dibanding Evan Dimas.

Dengan adanya tiga pemain tersebut, Saddil terlihat sangat berbahaya. Ia bisa meneror pertahanan lawan hanya dengan berdiri dan mencari ruang yang kosong. Selama pertandingan melawan Mongolia, kita diberi pertunjukkan yang bagus. Beda dengan kebanyakan pemain sayap khas Indonesia yang gemar berlama-lama menggiring bola, Saddil lebih efektif. Gol pertamanya ke gawang Mongolia adalah buktinya.

Menerima bola di posisi yang nyaman, selaiknya seorang inverted winger modern, Saddil melakukan cut-inside dengan beberapa gocekan bola. Ia tidak terlalu lama membawa bola. Dua kali sentuhan ia lakukan usai melakukan tusukan ke dalam, dan di sentuhan ketiga, kaki kirinya mengirim bola masuk ke gawang negeri asal Genghis Khan tersebut. Sangat efektif dan efisien, tipikal pemain modern yang pintar. Kalau mau lebih muluk, kita boleh membandingkannya dengan Arjen Robben dan gerakan cut-inside + shoot yang menjadi trademark­-nya selama menahun itu.

Lalu, apa peran Septian David, Evan Dimas dan Gavin Kwan dalam upaya mengeksplorasi kemampuan pemain muda asal Sulawesi ini?

Previous
Page 1 / 2