Mempunyai seorang pesepak bola dengan karakter badung tentu bukan sesuatu yang diinginkan oleh para juru strategi. Pasalnya, dengan perangai seperti itu, potensi hadirnya masalah di ruang ganti ataupun di atas rumput hijau tentu semakin besar. Dua pesepak bola asal Italia, Mario Balotelli dan Antonio Cassano merupakan contoh konkretnya. Tapi luar biasanya, sepak bola Italia tak hanya memiliki dua nama itu sebagai pemain yang terkenal akan sifat badungnya. Sebelum mereka, ada sosok kelahiran Lecce bernama Marco Materazzi yang lebih dahulu menyita atensi. Harus diakui, perangai Materazzi di dalam maupun luar lapangan sungguh badung dan penuh kontroversi.
Bermain sebagai bek tentu mendekatkan para pesepak bola dengan hukuman kartu, sebab kecenderungan melakukan pelanggaran dari pemain-pemain belakang tentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan kompatriotnya yang mengisi pos lain. Materazzi pun tahu dan paham dengan hal tersebut namun mengharapkannya bermain ‘santun’ adalah sebuah kemustahilan.
Materazzi adalah sosok bek tengah yang punya karakter bermain keras, lugas, dan lumayan kasar. Dirinya takkan ragu untuk melakukan tekel, beradu badan hingga melakukan trik-trik culas seperti menyikut dan menarik kaos para penyerang yang dikawalnya. Hal ini bertujuan untuk menghentikan alur serangan lawan sekaligus meminimalisasi fase penciptaan peluang dari tim yang dihadapi.
Wajar bila kemudian dirinya sangat akrab dengan hukuman kartu dari wasit. Berdasarkan data yang dihimpun via Transfermarkt, Materazzi menerima lebih dari seratus kartu kuning dan enam kartu merah selama mengenakan jersey tim nasional Italia maupun beberapa klub di sepanjang karier profesionalnya.
Ditopang postur yang menjulang, 193 sentimeter, Materazzi adalah stereotip bek tengah ideal yang jago menghalau bola-bola udara. Tak sampai di situ, keahliannya dalam memenangi duel bola-bola atas juga sering dimanfaatkan para pelatih yang menanganinya untuk memberi instruksi khusus di saat tim memperoleh set-piece.
Kemampuan mengeksekusi umpan dari bola-bola lambung membuat Materazzi begitu sering muncul di kotak penalti lawan untuk menjadi target umpan. Keadaan ini pula yang membuatnya kerap mencetak angka via sundulan kepala. Ciamiknya, Materazzi juga cukup andal apabila ditunjuk sebagai eksekutor sepakan dua belas pas ataupun tendangan bebas.
Sosok Materazzi mulai naik daun di penghujung 1990-an kala masih berkostum Perugia. Performa apiknya bareng tim yang bermarkas di Stadion Renato Curi itu menarik perhatian kesebelasan dari Inggris, Everton, yang lantas meminangnya di musim panas 1998. Sayang, aksi dari pria yang akrab disapa Matrix ini kurang begitu optimal ketika berseragam biru khas The Toffees.
Marco Materazzi hanya menghabiskan satu musim di kompetisi Liga Primer Inggris sebelum akhirnya pulang ke Italia di bursa transfer musim panas 1999 untuk bergabung kembali dengan Perugia. Keputusan Materazzi rupa-rupanya tidak salah karena di bawah asuhan Carlo Mazzone, dirinya justru berkembang menjadi salah satu bek tangguh Italia di musim 1999/2000.
Pada musim selanjutnya, Perugia yang ketika itu dibesut oleh allenatore anyar dalam wujud Serse Cosmi, justru membuat Materazzi bisa tampil lebih keren dan eksepsional. Perannya sebagai bek tengah terasa begitu sentral di jantung pertahanan Perugia.
Dan pada kesempatan ini pula, nama Marco Materazzi semakin terkatrol di telinga publik akibat koleksi golnya yang mencapai 12. Catatan itu sekaligus melewati rekor lawas kepunyaan Daniel Passarella sebagai pemain belakang dengan gol terbanyak di satu musim kompetisi Serie A.
Penampilan menawan yang diperlihatkan Materazzi itu lantas menggoda Internazionale Milano yang kala itu masih dipimpin oleh Massimo Moratti. Dana sebesar 10 juta euro menjadi mahar penebusan Materazzi.
Bareng I Nerazzurri, Materazzi sukses menyegel statusnya menjadi pemain hebat yang dicintai Interisti. Dirinya turun berlaga di 278 partai pada seluruh ajang yang diikuti Inter dan sanggup menyumbangkan 20 gol.
Sejumlah titel prestisius juga berhasil dihadiakan oleh lelaki yang hari ini (19/8), genap berusia 44 tahun tersebut. Mulai dari titel Scudetto, Piala Italia, Piala Super Italia, Liga Champions sampai Piala Dunia Antarklub.
Tak cukup sampai di situ, Materazzi juga menjadi bagian integral ketika timnas Italia memboyong gelar Piala Dunia keempatnya di ajang sepak bola antarnegara paling megah sejagat raya tersebut pada tahun 2006 silam. Materazzi, uniknya, keluar sebagai top skor Gli Azzurri di ajang itu bersama Luca Toni karena sama-sama memiliki koleksi dua buah gol.
Sikap badung Materazzi juga muncul di pagelaran tersebut ketika dirinya memprovokasi Zinedine Zidane, gelandang genius timnas Prancis, yang menjadi lawan Italia di babak final. Lewat ucapan kontroversialnya, Materazzi sukses bikin kapten tim Les Bleus itu naik darah sampai menanduknya tepat di hadapan wasit Horacio Elizondo.
Apabila dikomparasikan dengan Fabio Cannavaro ataupun Alessandro Nesta yang seangkatan dengannya, nama Materazzi jelas kalah populer. Terlebih, dirinya juga tak memiliki bekal teknik dan kemampuan elegan seperti dua rekannya itu. Namun, Materazzi menutupi semua itu dengan kerja keras dan totalitas di lapangan.
Dirinya merupakan representasi nyata akan bek-bek Italia yang sulit dihadapi dan punya segudang trik yang bisa membuat para pemain depan frustasi. Tak perlu sangsi juga bila pemain dengan tipikal badung seperti Marco Materazzi kerap dirindukan banyak pencinta calcio, termasuk saya.
Buon compleanno, Matrix!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional