Kolom Eropa

Tolong Pergi dengan Baik, Arsene

#WengerOut!

Tagar itu muncul dengan gagah dan membuat pedas mata saya kala memandang kata-kata itu berseliweran dengan mudah di linimasa, sesaat usai Arsenal, seperti biasa, dihajar Bayern Munchen di leg pertama babak 16 besar Liga Champions Eropa, Kamis (16/2) lalu. Berita Arsenal kalah adalah hal biasa, yang membuatnya luar biasa, mereka kalah dengan telak dan penampilan yang jauh lebih konyol dari karier Nicklas Bendtner.

Saya, bukan membela Arsene, apalagi memintanya untuk tetap di Arsenal sampai dua atau tiga tahun ke depan. Tapi menghujat dan memintanya pergi dengan segera, bukanlah cara manusia memperlakukan seseorang dengan karier spektakuler seperti Arsene. Kakek tua ini, diakui atau tidak, salah satu pionir penting dalam mengubah cara pandang kaum barbar Inggris tentang sepak bola. Itu saja dulu yang perlu kamu pahami.

Bersama Sir Alex Ferguson, eks pelatih AS Monaco ini adalah dua aktor legendaris yang akan dengan mudah kamu kenang ketika kamu mengingat Liga Primer Inggris nanti. Tapi, ini hal penting yang membedakan keduanya: Sir Alex tahu dan sadar kapan ia harus berhenti dan pensiun. Hal yang masih belum disadari sepenuhnya oleh Arsene Wenger.

Saya rasa, ada dua dosa besar Arsene, dan dosa besar pertamanya adalah ia terlalu mencintai Arsenal dan memperlakukannya seperti keluarga. Itu dilakukannya dan makin intens ia tumbuhkan rasa cintanya justru saat masa milenial telah memasuki era bahwa sepak bola sudah dikomersialisasikan dan takaran sukses bukan lagi konsisten berada di papan atas, tapi juga meraih trofi. Itu titik penting kenapa Arsenal dan Arsene sudah tak lagi sejalan.

Dulu, bersama David Dein dan Pat Rice, Arsene membangun dinastinya di London Utara dengan cara yang luar biasa sistematis dan terencana. Semuanya diperhitungkan dengan seksama dan rapi. Dein memberi keleluasaan perihal transfer pemain sekaligus membantu Arsene menjalankan operasional tim di sektor bisnis, sedangkan Rice, menemani Arsene menumbuhkan harmonisasi di dalam tim untuk mewujudkan apa yang kerap kamu dengungkan sebagai Victoria Concordia Crescit itu.

Dan tepat ketika keduanya hilang dari dalam Arsenal, itu titik awal kenapa Arsenal dan Arsene akan perlahan jatuh dan masuk ke masa yang kita semua sebut sebagai puasa gelar berkepanjangan. Steve Bould bukan Pat Rice, ia memberi arahan taktik yang cukup bagus, tapi tidak cukup untuk membuat Arsene paham bahwa ada yang salah dan hilang di dalam timnya.

Satu yang saya selalu heran, sejak pensiunnya Tony Adams dan Martin Keown lalu hengkangnya Patrick Vieira, Arsenal hampir tidak pernah mendatangkan pemain yang memiliki karakter kuat dan berjiwa pemimpin. Ini bukan sekadar kata kiasan pemanis belaka. Satu yang menjadi sebab kenapa Arsenal era sekarang disebut ‘soft’ karena mereka tak mempunyai pemimpin yang vokal dan berani berargumen dengan pemain lawan bahkan wasit.

Ketika kamu menengok ban kapten melingkar di lengan Kieran Gibbs saat Arsenal tengah meladeni Bayern Munchen di Liga Champions, saya sepakat dengan Roy Keane, bahwa jelas ada yang salah dalam kondisi tersebut. Gibbs tidak ada mendekati sedikit pun jika dibandingkan dengan kapten lawan, Philipp Lahm. Ia juga tidak bermental juara dan caps-nya di timnas Inggris kalah jauh dengan Lahm di Jerman yang notabene seorang world cup winner.

Dan seperti yang saya singgung di atas, dosa kedua Arsene dan ini yang paling fatal, ia tidak tahu kapan harus berhenti. Alex Ferguson menyadari senjakalanya ketika Athletic Bilbao dan Marcelo Bielsa menghajar United dengan agregat skor 5-3 di Liga Europa kala itu pada tahun 2012. Fergie, sapaan akrab Ferguson, sadar bahwa kekalahan dari Bielsa adalah tanda bahwa ia harus segera pensiun dan cepat atau lambat, ia tidak akan memiliki sentuhan magis lagi untuk United.

Itu masih kekalahan dari Bilbao, belum menghitung skor 1-6 yang ia peroleh kala dipermalukan Roberto Mancini dan Mario Balotelli di Old Trafford kala meladeni Manchester City di musim saat tetangga berisik mereka, sukses merengkuh trofi.

Karena Fergie tahu waktunya sudah habis bersama United, maka satu yang ia lakukan, memastikan langkah untuk menutup kariernya di Manchester dengan ending yang gemilang. Fergie seorang juara sejati. Satu-satunya cara ia untuk pergi adalah dengan gelar. Dan ia paham itu.

Duo bek tengahnya, Nemanja Vidic dan Rio Ferdinand mulai uzur, pun begitu dengan Patrice Evra dan Ryan Giggs. Wayne Rooney kala itu masih produktif, tapi memainkannya sedikit ke bawah adalah tanda bahwa permutasi posisi itu memberi sinyal penting: Rooney tak akan lagi setajam dulu. Itulah alasan logis kenapa di musim pamungkasnya, pria tua dari Skotlandia itu mendatangkan Robin van Persie.

Eks kapten Arsenal itu adalah top skor musim sebelumnya bersama Arsenal dan memasuki usia emas yang sedang mengilap dan tengah haus gelar. Mendekati usia 30 dan tengah berada di performa terbaiknya, Fergie tahu bahwa pria Belanda ini akan membawanya menuju gelar juara terakhir di musim pamungkasnya.

Pembelian RvP, sapaan singkat van Persie, adalah hal logis. Ia memang tidak didatangkan untuk bermain bersama United selama empat atau lima tahun. Ia adalah pemain short term, dibeli untuk juara saat itu saja, bukan untuk jangka waktu lama. Dan seperti yang kamu tahu, Fergie sukses. Ia pergi dengan status legenda dan namanya harum mewangi di Inggris dan Manchester.

Itu, satu hal yang tidak diketahui oleh Arsene Wenger. Karena ia tidak tahu kapan harus berhenti, itulah sebab mengapa ia tidak mampu lagi menjalankan Arsenal seperti dulu kala ia awal datang di Inggris. Taktiknya mulai usang dan semakin basi. Sistem main Arsenal kacau dan tak berpola. Tim ini hanya dijalankan dengan azas kekeluargaan semata. Semua pemain saling mencintai dan mengasihi, tapi tidak bermain sepak bola dengan taktis lagi. Sepak bola tidak dimainkan dengan romansa kisah kasih lagi kala berurusan dengan lapangan hijau.

Itu semua, murni karena Arsene tidak tahu kapan ia harus pensiun. Sepak bola modern sudah menggiringnya menuju senjakala tapi ia tak kunjung sadar (atau menolak sadar). Memainkan Francis Coquelin sebagai pendamping Granit Xhaka adalah salah satu contoh adaptasi taktik yang aneh dari Arsene. 4-2-3-1 yang ia mainkan sudah sangat mudah ditebak. Sistem pergantian pemain yang ia terapkan sudah menjadi rahasia umum dan semua orang tahu. Sekagum apapun saya kepada Arsene Wenger, tapi memang harus disepakati, waktu Arsene di Arsenal dan di sepak bola sudah habis.

Tapi, Arsene adalah penguasa Arsenal. Dan kalian tidak mampu membantah fakta itu. Ia membangun tim ini dari nol. Tidak hanya mengembangkan Hale End Academy dan membangun stadion baru, tapi Arsene tahu segala hal yang berjalan di tim ini mulai dari A sampai Z. Ia merekrut pemain dari tim junior di kelompok umur usia dini sampai pemain di tim utama. Ia kenal Alex Iwobi dan Hector Bellerin bahkan saat kedua bocah kala itu belum mampu buang air kecil dengan baik dan benar.

Karena ia tahu segalanya tentang Arsenal, itu membuatnya alpa, bahwa sepak bola modern sudah berkembang semakin kompleks dan ia dibutakan dengan apa yang ia bangun dan peroleh di Arsenal. Membangun stadion baru dan membawa Arsenal pada kestabilan finansial adalah hal bagus. Tapi kenyamanannya dalam membangun Arsenal, mematikan nalar kompetitifnya sebagai pelatih sepak bola yang haus gelar.

Wajar kenapa Jose Mourinho melabelinya specialist in failure. Kamu tidak akan melihat Jose meluangkan waktunya merekrut anak berusia 9 tahun, meletakkannya di tim U-10 dan berharap 7 atau 8 tahun lagi, si anak akan debut di tim utama saat ia masih sebagai pelatih tim utama.

Jose adalah pelatih instan. Ia produk sepak bola modern yang mengutamakan hasil ketimbang proses. Tidak salah sama sekali karena sepak bola modern memang dijalankan dengan konsep seperti itu. Jose, juga Pep Guardiola dan Antonio Conte misalnya, adalah pelatih modern dengan metode yang modern. Arsene, di sisi sebaliknya, adalah pelatih konvensional dan metodenya mulai usang.

Dan inilah konklusinya: Arsene Wenger memang harus pergi.

Wajar kenapa ia lupa cara untuk juara, karena Arsene mengarungi hidupnya sendirian hanya untuk Arsenal. Ia bercerai dengan istrinya karena Arsenal. Menghabiskan waktu tuanya tanpa istri dan anak semata wayangnya yang jauh darinya adalah hal yang tak mudah. Hari tua adalah hari yang sunyi dan untuk mengakrabi hari tua, kamu butuh kawan. Arsene butuh seseorang datang ke rumahnya, memberi pemahaman untuk isi kepalanya yang keras seperti batu, dan mengucapkan kalimat bijak yang sederhana: “Bung, waktumu sudah habis di sini.”

Saya rasa, itu cara paling manusiawi untuk mengakhiri karier panjang Arsene Wenger di Arsenal. Saya sendiri merasa aneh melihat pria tua ini hilang dari bench Arsenal dan melihat tim ini dilatih pelatih selain Arsene Wenger. Tapi sepak bola, seperti juga hidup, adalah roda yang berputar. Waktu tidak benar-benar fana di sepak bola. Kamu bisa merasakan senjakalamu hadir dan harus sesegera mungkin mengambil keputusan.

Diakui atau tidak, selama ada Arsene Wenger, Arsenal FC tidak akan kemana-mana dan akan stagnan di titik yang sekarang. Arsenal akan stabil di empat besar tapi itu adalah capaian terbaiknya. Arsene dan Arsenal sudah tidak mampu lebih jauh berkembang lagi dengan situasi seperti sekarang. Indikatornya jelas sekali musim lalu, kala Chelsea, Manchester United dan Liverpool tengah terpuruk sekalipun, Arsenal tetap saja gagal juara dan finish 10 poin di belakang Leicester City.

Untuk itulah kenapa AS Laksana pernah menulis bahwa menjadi suporter Arsenal adalah jalan melatih keteguhan. Dan ia bilang, “Pendukung Arsenal adalah tipe orang yang mampu mendaki puncak bukit dengan memikul salib di pundak kanannya dan seekor kerbau di pundak kirinya.” Dan kamu tahu, kata-kata itu seratus persen benar. Selama Arsene Wenger masih ada di pos pelatih kepala The Gunners, suporter Arsenal masih akan memikul salib dan kerbau tiap pekannya.

Isidorus Rio (@isidorusrio_) – Editor Football Tribe Indonesia