Baginya mungkin usia tidak lebih dari sekadar angka. Meski tidak lagi muda, nyatanya ia masih terus coba berkuasa. Pos bek kanan klub ibu kota telah 17 tahun menjadi miliknya.
Mengawali karier dari PSBL Langsa, tidak perlu waktu lama untuknya dapat dilirik Persija Jakarta yang baru saja meraih gelar juara. Tahun 2002 setelah sebelumnya memperkuat Persijatim, pemuda kelahiran Tualang Cut 28 Agustus 1979 ini bergabung dengan penghuni Stadion Menteng lainnya.
Di Jakarta bakat pemuda kebanggaan Aceh terus terasah. Tidak terhitung lagi jumlah gol sahabatnya, Bambang Pamungkas dan penyerang Persija lain yang berawal dari umpan hasil kiriman pemain berposisi bek kanan tersebut. Begitupun jumlah gol yang diciptakan dari tendangan bebas dan tendangan jarak jauh yang dilepaskan.
Tentu tidak akan terlupakan gol ke gawang Persik Kediri pada 27 Maret 2007. Di Stadion Lebak Bulus di menit ke-24, sepakan yang dilepaskan dari tengah lapangan menghujam sisi kanan gawang. Gol tersebut kemudian menjadi gol terbaik Asia Tenggara pada tahun yang sama.
Di tim nasional, pertandingan melawan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada 28 Desember 2004 menjadi kenangan tersendiri. Bisa dibilang pertandingan itu mungkin pertandingan paling emosional baginya.
Dua hari sebelum pertandingan, gempa berkuatan besar terjadi di Samudra Hindia. Gempa bawah laut kemudian menghadirkan tsunami maha dahsyat. 280 ribu jiwa dari 14 negara berbeda melayang karenanya. Dampak terbesar dan jumlah korban terbanyak berasal dari Serambi Mekah.
Maka dari itu, ketika Indonesia berhadapan dengan Malaysia di putaran pertama babak semi-final Piala Tiger (kini bernama Piala AFF) tahun 2004, masyarakat Aceh sangat berharap bahwa putra daerah terbaik mereka di kancah sepak bola, bisa membawa skuat Garuda untuk memenangkan pertandingan sebagai pelipur lara.
Sayangnya alih-alih menjadi pelipur lara, pemain yang kala itu berusia 26 tahun tersebut justru terlihat tampil penuh beban. Dua gol Malaysia yang membuat skor akhir 2-1 bisa dikatakan akibat kesalahannya. Untungnya di leg kedua Indonesia berhasil membalikan keadaan. Bisa jadi pertandingan pada 28 Desember 2004 tersebut adalah memori buruk sepanjang karier gemilang sang pemain asal Aceh.
17 tahun bersama Macan Kemayoran tentu menjadi bukti kecintaannya. Sempat dikabarkan hendak meninggalkan ibu kota saat Persija Jakarta dalam keadaan terpuruk, nyatanya di detik terakhir ia memutuskan untuk tetap tinggal. Satu-satunya alasan hanyalah kecintaan yang begitu besar.
“Ya, pada tahun 2013 selangkah lagi saya terbang ke Palembang untuk bergabung dengan Sriwijaya FC. Tapi, semua itu saya urungkan kerena kecintaan saya begitu besar kepada persija.” dikutip dari laman CNN Indonesia.
Kini pemain itu tidak lagi muda, usianya kemarin (28/8) genap 40 tahun. Namun tidak banyak yang berubah dari permainan Ismed Sofyan yang hingga kini masih terus berlari.
Kemampuannya nampak masih tetap terjaga. Satu-satunya yang berubah mungkin hilangnya emosi yang sering kali meluap-luap, berganti permainan matang dan tenang di atas lapangan. Tidak ada lagi kesalahan serupa yang dilakukan pada Piala Asia 2007. Sesekali luapan emosi itu datang, namun di saat yang memang diperlukan.
Selamat ulang tahun, Ismed Sofyan. Selamat menua bersama Macan Kemayoran.