Banyak yang menganggap babak play-off promosi-degradasi di tahun 1985 adalah suatu yang spesial. Sesuatu yang dianggap sebagai upanya menyelamatkan sebuah klub yang seharusnya turun kasta. Namun, ternyata hampir dua dekade setelahnya, hal serupa kembali terjadi lagi.
Tahun 1985 banyak disebut sebagai musim terburuk Persija Jakarta. Di akhir kompetisi, Macan Kemayoran tersungkur di posisi terbawah klasemen Wilayah Barat. Dengan hasil demikian bisa dipastikan Persija tidak lagi ada di kasta tertinggi musim berikutnya.
Seperti digambarkan di buku Gue Persija karangan Ario Yosia dan kawan-kawan, di tahun itu klub kebanggaan masyarakat Jakarta seolah kehabisan stok pemain andal.
“Kompetisi 1985 menjadi mimpi buruk bagi Persija dalam catatan sejarah keikutsertaan mereka di kompetisi antarperkumpulan sepak bola. Tim ibu kota itu seperti kehabisan stok pemain andal dan merombak total seluruh skuat musim berikutnya,” seperti tertera di halaman 67.
Mengakhiri kompetisi di posisi buncit, keajaiban hadir untuk Persija. Seolah tidak rela bila salah satu klub besarnya turun kasta, PSSI secara tiba-tiba membuat keputusan untuk menjalankan babak 6 kecil yang mempertemukan tim-tim terbawah masing-masing wilayah.
Tak sebatas itu, karena belum juga mampu “menyelamatkan” Persija yang hancur lebur di babak 6 kecil, PSSI kembali membuat terobosan kontroversi. Mereka menggelar babak play-off promosi-degradasi dengan kontestan dua posisi terbawah Divisi 1, dan dua posisi teratas Divisi di bawahnya.
Cara ini kemudian berhasil menyelamatkan Macan Kemayoran. Persija Jakarta batal turun kasta.
Apa yang didapat Persija memang spesial. Keputusan PSSI yang seolah menyelamatkannya terasa begitu kontoversial. Tapi nyatanya, itu bukan satu-satunya yang terjadi. 18 tahun setelah Persija, klub lain seolah mendapat keistimewaan yang sama.
Tahun 2003 giliran Persib Bandung yang mengalami musim yang suram. Melewati 12 pertandingan tanpa kemenangan, menjadi catatan paling kelam sepanjang sejarah Maung Bandung. Pergantian pelatih hingga pemain telah dilakukan, tapi belum juga mendongkrak performa tim.
Dikisahkan buku Persib Juara, publik sepak bola Bandung mulai pasrah dengan keadaan tim yang belum juga membaik di putaran kedua. Tapi lagi-lagi PSSI punya cara dan kuasa. Peraturan promosi-degradasi kembali diubah. Semula 6 klub akan otomatis terdegradasi, tapi berganti menjadi 4 klub dan dua lainnya melalui babak play-off.
“Beruntung, ketika publik sepak bola Bandung mulai pasrah dengan masa depan tim kebanggaannya, PSSI secara tidak terduga mengubah peraturan promosi-degradasi LI IX 2003 dari 6 tim (peringkat 15-20) menjadi 4 tim (17-20). Sedangkan peringkat ke-15 dan 16 diberi kesempatan bertahan di Divisi Utama dangan memainkan babak play-off melawan peringkat ketiga dan keempat Divisi 1 2003,” yang tertulis di halaman 62.
Baca juga: Semen Padang Butuh ‘Madang’ untuk Menang
Bersumber dari buku yang sama, sempat ada tudingan PSSI sengaja melakukannya sebagai upaya untuk menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi. Asumsinya, PSSI khawatir greget kompetisi akan berkurang jika tanpa kehadiran Persib. Namun tudingan dan asumsi dibantah Sekretaris Jenderal PSSI kala itu, Tri Goestoro.
Sayangnya cara tersebut tidak langsung berhasil. Mengumpulkan 45 poin, Maung Bandung menempati posisi ke-16 dari 20 kontestan. Barulah di babak play-off Persib benar-benar selamat.
Meski di mata Bobotoh keberhasilan Persib bertahan adalah berkat jasa pelatih baru mereka, Juan Antonio Paez, sejumlah pengurus Persib menilai keberhasilan Persib bertahan di Divisi Utama tidak terlepas dari peran mereka.
“Keberhasilan Persib bertahan di Divisi Utama tidak terlepas dari peran mereka melobi PSSI yang membuat aturan promosi-degradasi di tengah jalan,” tulisnya di halaman 63.