Suara Pembaca

Gampang Jatuh dan Malas Bangkit. Perkara yang Tiada Habisnya

Kala itu, Anthony Sutton, penikmat dan pencinta sepak bola Indonesia, mengunggah gambar seorang pemain Barito Putera yang sedang mendapatkan perawatan medis pada awal Juli 2017. Sekilas tidak ada yang salah dengan kondisi demikan, karena memang keharusan memberi pertolongan pertama cedera di lapangan sudah menjadi prosedur standar FIFA.

Akan tetapi, dampak terhentinya pertandingan kala tenaga medis datang hingga menyelesaikan tugasnya justru membuka lebar-lebar peluang pembunuhan waktu. Unggahan di akun Twitter @JakartaCasual menggambarkannya secara presisi.

Barito Putera sedang unggul satu bola saat seorang pemain terjatuh dan meminta sentuhan staf medis. Adegan menjadi ganjil ketika si pemain tergeletak di dekat garis tepi, sisi lapangan di mana terdapat technical area masing-masing tim.

Tidakkah wasit berpikir untuk meminta si dokter menggeser si pemain satu meter ke samping, sehingga sesi perawatan dapat dilanjutkan di luar lapangan agar pertandingan dapat segera dilanjutkan?

Di sisi lain, tidak adakah kesadaran si pemain bahwa sikap berlebihnya terkait cedera yang terkadang tidak serius membuat esensi kompetisi semakin menjemukan karena membuang waktu?

Baca juga: Keresahan di Balik Gemerlapnya Piala Dunia Wanita 2019

Parahnya, insiden ketika pemain terkapar (atau cuma terduduk) terus berulang, terutama saat salah satu tim merasa sudah mencapai target dalam suatu pertandingan. Ini pula yang membuat Simon McMenemy, yang saat itu masih menjabat pelatih Bhayangkara FC, membalas cuitan Sutton.

“Sangat sulit menjaga ketenanganku. (Itu adalah) penyakit yang menjangkiti banyak liga di Asia Tenggara”.

Benar bahwa keberadaan tim medis adalah prosedur wajib yang harus disediakan di setiap pertandingan level apapun. Namun, FIFA sendiri sudah mengendus potensi kemungkinan pembunuhan waktu oleh salah satu tim dengan memperingatkan para wasit di Laws of The Game. Para wasit, dalam kapasitasnya sebagai penentu perlu atau tidaknya penanganan awal, dihimbau untuk:

  1. Peka akan dua hal: situasi pertandingan dan potensi penundaan kelanjutan pertandingan (dengan kata lain, kedatangan petugas medis sebagai taktik pembunuhan waktu);
  2. Menegaskan pada pemain yang cedera bahwa jika tim medis dibutuhkan, penanganan harus cepat;
  3. Memberi sinyal kepada tim medis untuk memasuki lapangan (bukan pembawa tandu) dan jika perlu, memperingatkan mereka untuk bergegas.

Bila ‘kitab suci’ dari FIFA sudah menjelaskan seterang-terangnya, timbullah pertanyaan pada wasit-wasit Indonesia, mengapa mereka masih mengizinkan para pemain memanggil bantuan tim medis, bahkan meminta digotong dengan tandu, padahal di saat yang sama ia mengacungkan ibu jari (tanda ia dapat melanjutkan pertandingan) pada pelatihnya?

Wasit Indonesia mungkin perlu dipertontonkan mimik ikonik wasit Mark Clattenburg saat Pepe berguling-guling di depannya meminta segera “dibelai” pada laga final Liga Champions 2015/2016. Clattenburg bergeming, tak terperdaya akting menggemaskan eks bek Real Madrid tersebut.

Penyakit ini sebetulnya juga sering ditemukan di laga level tertinggi, tentu dengan kiat beragam. Jose Mourinho beberapa kali mengungkapkan kekesalannya ketika musuh melakukan peragaan pembunuhan waktu, di antaranya saat tumbang melawan Newcastle pada Desember 2014, kekalahan pertama Chelsea musim itu.

“Kami ingin lebih banyak (waktu) bermain sepak bola tetapi itu mustahil karena muncul beberapa hal yang saya pikir tidak patut ada lagi di level tertinggi sepak bola. Ketika bola menghilang, tak kunjung muncul, bola lain masuk lapangan atau anak gawang malah berlari,” ujarnya di konferensi pers pascalaga.

Individu dengan pengalaman bergelut di piramida teratas olahraga macam Mourinho sungguh perlu diperhatikan pendapatnya, terutama soal pembunuhan waktu. Selain bisa mengakibatkan reduksi kualitas pertandingan antara kedua tim, tidak jarang aksi serupa dilakukan oleh ballboy seperti di pertandingan Newcastle melawan Chelsea yang membuat pemain lebih mudah tersulut emosi.

Eden Hazard sudah merasakannya saat seorang bocah ballboy berusaha menghalanginya mengambil bola pada pertandingan semifinal Piala Liga di kandang Swansea City. Ia kemudian diganjar kartu merah dan mendapat sanksi tambahan oleh FA. Mourinho sendiri pernah menghentikan laju lari Cesar Azpilicueta yang terkesan hendak menghantam anak gawang dalam sebuah pertandingan tandang melawan Crystal Palace.

Baca juga: Sepak Bola Menyenangkan ala Eden Hazard

Berharap derajat sepak bola Indonesia terangkat

Sebagai catatan, studi Geoff Foster di The Wall Street Journal tampaknya “mengonfirmasi” kegundahan para pegiat sepak bola di atas. Foster mempelajari potensi penyalahgunaan kedatangan tim medis pada 32 pertandingan pertama Piala Dunia 2014.

Tercatat 302 pemain berguling kesakitan, jatuh ke posisi tak seharusnya, serta kemungkinan lainnya yang membuat wasit menghentikan pertandingan dan memberi sinyal pada tim medis supaya masuk lapangan. Realitanya, 293 pemain sanggup bangkit kembali dan dapat melanjutkan aksinya, berbanding terbalik di mana hanya 9 pemain yang benar-benar harus mengakhiri penampilannya.

Data semakin menarik saat kita melihat tim mana yang lebih sering “terbaring”. Pemain yang timnya berada dalam kondisi tertinggal terhitung terjatuh sebanyak 40 kali, sedangkan pemain yang teman-temannya sedang mengungguli lawan, tergeletak sebanyak 103 kali. Dua angka kontradiktif yang, tentu saja, membuktikan kesahihan suara Jose Mourinho, Antony Sutton, dan Simon McMenemy di atas.

Fenomena seringnya pemain terjatuh meski hanya mengalami benturan kecil dan perlu dibantu tim medis untuk bangun lagi memang patut dikritisi. Semakin sering pemain tergeletak, semakin sedikit pula waktu untuk melanjutkan pertandingan. Dengan sendirinya, waktu efektif untuk unjuk kebolehan masing-masing tim menjadi berkurang, sehingga berakibat esensi sebuah kompetisi menjadi tidak tercapai.

Baca juga: Kenikmatan Sepak Bola Pinggiran

Waktu efektif (effective time), sebagaimana dijabarkan Howard Hamilton di Soccermetrics, mempunyai definisi sebagai berikut: Keseluruhan waktu yang dihitung ketika bola dimainkan dalam sebuah pertandingan, di luar berhentinya saat waktu terjadinya pelanggaran, bola keluar lapangan, sepak pojok, pergantian pemain, cedera, gol dan saat bola terhenti lainnya.

Disuplai data dari Opta, Hamilton juga menghitung rerata effective time pertandingan Liga Primer Inggris musim 2010/2011, yang cuma menghabiskan 55 menit 6 detik. The Guardian kemudian menunjukkan angka rerata 55 menit 52 detik, 56 menit 22 detik, dan 56 menit 34 detik pada tiga musim berikutnya.

Kita tidak menyadari bahwa 22 pemain di lapangan hanya beraksi kurang dari dua pertiga waktu normal atau setara membaca 50 halaman buku Sepakbola: The Indonesian Way of Life.

Temuan di atas tentu berkelindan dengan sabda Zen RS yang menyatakan sepak bola Indonesia itu sungguh gurem. Dalam hal pembunuhan waktu, pemain-pemain Indonesia berlomba-lomba untuk mengalami kejatuhan menjelang pertandingan dan para wasit tidak cukup mengerti untuk menyadari efek buruk kebiasaan itu.

Bukan sebuah kesalahan jika kita menyebut kurangnya kesadaran para pelakon sepak bola Indonesia (baik wasit, pemain, pelatih, maupun staf medis) akan effective time turut berkontribusi pada tidak kompetitifnya klub-klub Indonesia maupun tim nasional Indonesia dalam persaingan internasional.

Baca juga: Burnout, Bahaya Laten Industri Sepak bola

Ironi mentalitas bangsa yang mudah roboh, diberi bukti nyata oleh para pemain kita, yang mudah jatuh dan sulit bangkit jika tidak dibantu tim medisnya sendiri.

Bagi kita yang sudah jenuh disuguhi tontonan busuk sepak bola Indonesia, upaya IFAB mengenalkan rumusan baru berupa perubahan lama pertandingan menjadi 2 x 30 menit bersih terasa cukup menjanjikan. Perkembangan proposal aturan baru tersebut, menurut ESPNFC, masih perlu “dikaji dalam beberapa pertemuan” sebelum diujicobakan dalam event resmi.

Jika semua lancar, tidak akan ada lagi pemain berguguran di akhir pertandingan. Perbuatan mereka akan percuma karena wasit akan menghentikan hitungan waktu. Kita dapat berharap derajat sepak bola nasional akan lebih terangkat dengan para pemain kita lebih terbiasa bersaing secara sportif dalam mengakhiri pertandingan.


*Artikel ini adalah unggahan ulang dengan beberapa pembaruan. Penulis bisa ditemui di akun Twitter @najmul_ula