Senin terakhir di Agustus 2015, kursi-kursi mulai dipreteli. Rangka baja yang awalnya terlihat kokoh mulai roboh. Tribun selatan mulai dilahap dua alat berat. Pagi muram di selatan Jakarta bagi publik sepak bola ibu kota. Pagi itu pembongkaran tempat yang mereka kenal sebagai rumah, secara resmi dimulai.
Kandang Macan Kemayoran menjadi korban kemacetan Jakarta. Solusi yang ditawarkan pemerintah harus menggusur Stadion Lebak Bulus yang sarat sejarah. Di stadion ini Persija mengembalikan kejayaan pada tahun 2001. Meski tidak mengangkat piala di stadion yang dibangun pada 1987 tersebut, namun Persija mengoleksi banyak kemenangan di Grup Barat yang mengantarkan mereka menuju semi-final di Senayan.
Gol Ismed Sofyan dari jarak sekitar 40 meter hingga rival yang memilih pulang menjadi cerita berkesan lain di stadion berkapasitas 12.500 penonton itu. Walau secara teori hanya berkapasitas 12.500, namun sering kali hingga 20.000 penonton berdiri berhimpitan di tribun yang berjarak sangat depat dari lapangan.
Penggusuran jelas mendapat penentangan keras. Sebelum benar-benar terjadi Agustus 2015, rencana penggususran telah mengemuka beberapa tahun sebelumnya. Sejak 2013 beragam rencana telah disusun. Basuki Tjahaja Purnama bersikeras penggusuran harus segera mungkin dilakukan. Baginya dipo Mass Rapid Transit (MRT) harus segera dibangun di lokasi tersebut.
Sementara itu Joko Widodo yang menjabat Gubernur DKI Jakarta kala itu sempat mengemukakan solusi berbeda. Ia menjelaskan, terdapat dua alternatif titik yang akan dijadikan dipo utama MRT, yakni stadion Lebak Bulus atau Kampung Bandan, Jakarta Utara. Secara pribadi, ia lebih memilih Kampung Bandan untuk menjadi dipo utama MRT. Sebab, ia tak ingin menggusur stadion Lebak Bulus.
Setelah beragam polemik penggusuran yang menyertai, Pemprov berkeputusan akan tetap membongkar stadion dengan negosiasi penggantian serupa. Dalam arti stadion diganti stadion. Dari mulai Pesanggrahan hingga lahan di dekat RS Fatmawati Jakarta Selatan disebut-sebut telah dipersiapkan. Namun hingga MRT siap berjalan, stadion dengan lahan sekitar 15 hektar belum juga mendapat ganti.
Kini sebagian warga ibu kota tengah menyambut moda transportasi baru. Mereka antusias menjajal kereta yang melintas di jalur layang dan jalur bawah tanah dalam sekali jalan. Mereka berharap MRT yang baru selesai dibangun dapat mengantar mereka ke tujuan tanpa terjebak kemacetan.
Namun untuk publik sepak bola Jakarta, MRT justru mengantarkan mereka pada kenangan beberapa tahun silam. Kenangan akan pahitnya penggusuran. Kenangan akan sakitnya kehilangan rumah yang bukan hanya sekali dirasakan.
Baca juga: Simic Ohh… Simic
Minggu, 21 Desember 2014, menjadi momen perpisahan sesungguhnya. Ribuan orang terhanyut dalam tangis di stadion Lebak Bulus. Pemain, ofisial, hingga petinggi klub Persija Jakarta berbaur bersama suporter setia mereka. Hari itu kelompok suporter Persija merayakan HUT ke-17 sekaligus merayakan perpisahan dengan tempat yang mereka sebut rumah. Setelahnya mereka harus benar-benar angkat kaki karena kalah dari pembangunan kota.
Kini tidak ada lagi rumah di selatan Jakarta. Semua berganti bagunan dan rel-rel besi, sedangkan kemacetannya masih saja terus terjadi. Stadion yang disebut-sebut sebagai pengganti pun masih saja berupa janji.