Penyerang sayap legendaris Indonesia, Elie Aiboy, memberikan kritik terhadap kondisi tim nasional saat ini. Selain soal gaya bermain, mantan pemain Persija Jakarta dan Semen Padang ini beranggapan bahwa tim nasional saat ini cakupannya tidak menjangkau seluruh daerah di Nusantara. Elie beranggapan bahwa para pemain asal tanah kelahirannya, Papua, menjadi terlupakan.
Anggapan Elie tidak salah. Dari berbagai kelompok usia, jumlah pemain asal Papua betul-betul menipis. Dari skuat terkini timnas senior asuhan Luis Milla, dan Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri, kedua tim tersebut tidak memiliki satu pun pemain asal tanah Papua. Sementara di kelompok U-22 yang bermain di SEA Games 2017 lalu, hanya menyertakan dua nama yaitu, Marinus Manewar dan Osvaldo Haay.
Pertanyaan besarnya adalah, apa yang membuat kuantitas bakat-bakat asal Papua semakin berkurang di level timnas?
Superioritas generasi Boaz Solossa
Ada banyak alasan mengapa jumlah anana Papua berkurang di skuat Garuda. Yang pertama adalah permasalahan klasik, soal jangkauan ke Papua. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bagian timur Indonesia merupakan daerah yang sulit dicapai, dalam artian waktu, biaya, dan tenaga. Pernahkah Anda melihat Luis Milla berada di Stadion Mandala, Jayapura?
Kesulitan inilah yang membuat para pelatih tim nasional kesulitan memantau para pemain asal Papua. Karena yang bisa dilakukan adalah memantau pemain para pemain asal Papua ketika mereka bermain tandang ke tim-tim yang berada di sekitaran Pulau Jawa. Yang perjalanannya tidak akan memakan banyak waktu dan biaya tentunya.
Meskipun bakat asal Papua sudah tersohor kualitasnya, tentu akan ada perbedaan yang ditunjukkan ketika mereka bermain di kandang sendiri ketimbang bermain di kandang lawan. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, Boaz Solossa tampil lebih menggila ketika bermain di Stadion Mandala. Ia bermain di level yang berbeda dengan yang mungkin biasa kita saksikan di layar televisi.
Tetapi permasalahan yang lebih pelik sebenarnya bukan dari yang sudah disebutkan di atas. Ada satu permasalahan lain yang sebetulnya sangat esensial yang membuat berkurangnya jumlah bakat-bakat asal Papua di tim nasional. Fenomena ini seakan merupakan pisau bermata dua, satu sisi merupakan sesuatu yang mesti di jaga, tetapi dalam satu sisi lain, ini juga menimbulkan situasi yang sulit. Masalah utama berkurangnya bakat-bakat asal Papua di tim nasional adalah, superioritas generasi Boaz Solossa di Persipura Jayapura.
Persipura menjadi percontohan yang paling sesuai untuk menilai berkurangnya bakat-bakat Papua di timnas. Memang ada beberapa tim lain di tanah Papua, tetapi Anda pasti paham bahwa Persipura menjadi kebanggan dan mewakili tanah Papua itu sendiri. Juga soal impian dari anak-anak yang bermain sepak bola dari Jayapura sampai Merauke, adalah bermain untuk tim Persipura Jayapura.
Seperti yang diketahui, di era kontemporer sepak bola Indonesia, Persipura merupakan tim yang paling sukses. Mereka berhasil menjuarai empat gelar juara nasional, plus satu trofi Torabika Soccer Championship (TSC) ketika kompetisi terhenti tahun 2016 lalu. Kemampuan hebat tim Mutiara Hitam bukan saja tersohor di seluruh penjuru Nusantara, namun tim-tim asal Asia juga sudah mulai mendengar tim hebat asal Indonesia bernama Persipura Jayapura.
Di sinil permasalahan kemudian mengemuka. Dalam kesuksesan yang dimulai pada tahun 2008 tersebut, pakem tim Persipura diisi oleh Boaz, Ricardo Salampessy, Ian Louis Kabes, Manu Wanggai, Tinus Pae, Feri Pahabol, dan Ruben Sanadi. Keberadaan para pemain-pemain ini yang justru kemudian menjadi penyebab minimnya bakat-bakat asal Papua di level timnas. Ada ketergantungan besar terhadap para pemain ini. Wajar saja, karena para pemain ini yang membawa Persipura bisa mendominasi sepak bola Indonesia selama hampir satu dekade terakhir.
Ketergantungan ini membuat para pemain muda agak kesulitan mendapatkan kesempatan. Contoh besar adalah Ricky Kayame. Awalnya digadang-gadang sebagai penerus Boaz Solossa, Ricky kesulitan menggeser posisi seniornya di Persipura. Hingga akhirnya ia mesti terlempar ke Persebaya Surabaya di Liga 2. Ini menjadi sulit tentunya. Ketimbang memanggil Ricky yang bermain di kompetisi level kedua, pelatih timnas tentu lebih memilih memanggil pemain lain di posisi sama yang bermain di kompetisi level tertinggi.
Contoh lain adalah Muhammad Tahir. Gelandang keturunan Makassar ini berada di situasi yang sulit. Di posisi natural Tahir, Persipura sudah memiliki nama-nama senior seperti Wanggai bersaudara atau Ian Kabes yang dalam dua tahun ke belakang agak sering di tempatkan di posisi gelandang.
Ia akhirnya dimainkan di posisi bek tengah ketika Ricardo Salampessy tengah mengalami cedera. Ketika Salampessy kembali, Tahir praktis kehilangan tempatnya.
Tahir yang minim jam bermain, tentu kalah pengalaman dari bek tengah lain yang bahkan berusia lebih muda tapi bermain reguler seperti Hansamu Yama atau Andi Setyo. Di posisi gelandang lebih sesak lagi. Di usia yang sebaya dengan Tahir, ada Evan Dimas, Hargianto, Ichsan Kurniawan, dan Hanif Sjahbandi.
Ketergantungan kepada generasi Boaz di Persipura kemudian berakibat agak terhentinya kuantitas bakat-bakat asal Papua di level tim nasional. Meskipun sebenarnya, Persipura sendiri tengah melakukan regenerasi secara perlahan. Selain Marinus dan Osvaldo, ada nama Prisca Womsiwor, Yan Pieter Nasadit, dan Elisa Basna.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia