Sayangnya, semuanya sudah terlambat bagi kontestan Thai League, Trat FC. Sang Gajah Putih, yang mengejutkan Thai League 1 dengan pencapaian mereka di tahun 2019, harus rela terdegradasi dari kasta teratas di musim 2020-21 yang baru saja berakhir.
Kisah degradasinya Trat menjadi pelajaran penting bagi tim-tim lain di seluruh dunia: jangan terlalu menggantungkan diri pada satu pemain saja (dan tentunya perlu rencana B ketika sang pemain hengkang kapan saja).
Kisah Trat sebenarnya cukup luar biasa. Mereka unggul head-to-head dari Songkhla United yang berada di zona degradasi Thai League 2 musim 2017 dan setelah itu di tahun 2018 mereka di luar dugaan promosi ke Thai League 1 setelah finish di posisi runners-up.
Materi pemain Trat yang semenjana serta kenyataan bahwa Sang Gajah Putih ditinggalkan oleh sang pelatih Dusit Chalermsan dan sang top scorer Barros Tardeli, membuat banyak orang memprediksi Trat akan hanya numpang lewat di Thai League 1 musim 2019.
Dengan pengalaman membela sejumlah klub Eropa dan juga dengan predikatnya sebagai pemain timnas Guinea, Lonsana Doumbouya didapuk sebagai pengganti dan dengan tanpa ampun merobek jala gawang tim-tim lawan Trat di kasta teratas sepakbola Thailand.
Dari 47 gol yang dicetak oleh Sang Gajah Putih di musim 2018, 20 darinya dicetak oleh Lonsana, yang memenangkan penghargaan top scorer Thai League 1 musim 2019.
Namun setelah Lonsana pindah ke China untuk membela Meizhou Hakka, pengganti sang pemain asal Guinea, Ricardo Santos, tidak mampu mengikuti jejak pendahulunya di musim 2020-21. Ricardo hanya bisa mencetak 10 gol untuk Trat pada musim tersebut dan dia merupakan top skorer Sang Gajah Putih dengan torehan tersebut.
Produktivitas Trat juga menurun di musim 2020-21, dari 47 gol di musim sebelumnya ke 31 gol saja, dan pertahanan mereka menjadi lebih keropos dari sebelumnya dengan kebobolan 64 gol. Dengan hanya mengantongi 4 kemenangan sepanjang musim, Trat pun harus rela turun kasta kembali ke Thai League 2.
Last but not least, mari kita kunjungi teman-teman kita di Malaysia, tepatnya di UiTM FC. Klub yang bermarkas di Shah Alam, Selangor ini terkenal unik, karena merupakan klub yang dimiliki oleh Universitas Teknologi Mara (UiTM), sebuah universitas swasta terkenal di Malaysia.
Para pemain klub tersebut diwajibkan untuk menjalani pendidikan S1 di UiTM, bahkan pemain asing pun tidak terkecuali.
Sejak materi pemain UiTM terdiri dari campuran pemain professional dan mahasiswa-mahasiswa terbaik universitas tersebut, publik memprediksi degradasi yang cepat untuk UiTM ketika mereka secara mengejutkan mendapat durian runtuh hadiah promosi ke Liga Super Malaysia untuk musim 2020.
UiTM, yang pada musim 2019 mengakhiri musim di posisi kelima di kasta kedua Malaysia, mendapat undangan promosi ke Liga Super karena PKNS FC, yang finish di luar zona degradasi pada musim 2019, memutuskan untuk mendegradasikan diri ke kasta kedua karena mereka diambil alih oleh Selangor FC untuk dijadikan tim satelit mereka.
Sejak runners-up dan peringkat keempat Liga Premier Malaysia untuk 2019 diisi oleh tim satelit Johor Darul Ta’zim dan Terengganu FC, maka PDRM FA yang finish peringkat ketiga dan UiTM mendapat undangan promosi ke Liga Super.
Secara mengejutkan UiTM berhasil finish di peringkat ke-6 Liga Super Malaysia musim 2020, di atas tim-tim established liga negeri jiran seperti Pahang FA dan Melaka United.
Di bawah tangan dingin Frank Bernhardt dan dengan pemain timnas Lebanon Rabih Ataya di lini tengah, UiTM berhasil mengejutkan tim-tim seperti Pahang, Terengganu, dan Selangor, mengalahkan dua tim pertama dan memaksa hasil imbang melawan Gergasi Merah.
Namun UiTM menyajikan kisah yang berbeda di musim 2021 – Liga Super sudah memainkan 10 pertandingan dan UiTM belum pernah menang sekalipun, hanya mengais satu kali hasil imbang dan kalah sembilan kali.
Karena start mengerikan mereka manajemen UiTM memutuskan untuk merehatkan Frank dari jabatannya dan mengganti pelatih asal Jerman tersebut dengan Reduan Abdullah.
Jebloknya performa UiTM tak lepas dari hengkangnya para pemain kunci klub tersebut. Rabih pindah ke Kedah Darul Aman, Arif Anwar pindah ke Terengganu, dan Danish Haziq, seorang defender muda bertalenta, memutuskan untuk berlabuh ke Perak FC.
Para pemain baru yang dibawa untuk menggantikan peran mereka masih belum mampu menyamai performa mereka, sehingga UiTM masih terseok-seok hingga sekarang dan segera membutuhkan rencana B untuk bangkit.
Semua orang suka sebuah kisah underdog. Namun jika underdog tersebut gugur di musim berikutnya, kita sebagai pecinta sepak bola akan turut merasakan kesedihan atas nasib mereka. Seringkali tim-tim semenjana ini berhasil melebihi ekspektasi semua orang berkat satu, dua, tiga, atau lebih pemain yang menonjol secara bakat, produktivitas, atau keduanya.
Namun karena sumber daya mereka yang terbatas, sering kali tim-tim kecil ini harus rela kehilangan pemain-pemain bintang mereka ke tim-tim besar yang mereka pepet sampai garis finis di musim sebelumnya, dan para pemain yang menggantikan mereka sering kali tidak bisa mengisi kekosongan yang tercipta.
Pemain-pemain seperti Henderson, Iwata, Lonsana, dan Rabih sudah sepantasnya mengasah skill mereka di tim-tim yang lebih mapan dan mentereng. Namun adalah sebuah tantangan sendiri bagi pelatih dan pemain-pemain yang lain untuk menggantikan peran para bintang tersebut.
Jika tim-tim kecil ini tidak memiliki rencana B ketika para pemain penting ini meninggalkan tim atau absen karena cedera, maka jerat degradasi akan menanti mereka.