Pada awal dekade 2010, hampir seluruh wilayah Timur Tengah dilanda gerakan Arab Spring. Gerakan ini dapat dipahami sebagai sebuah protes atas tindakan represif pemerintah, korupsi, standar hidup yang rendah, dan berbagai kenyataan sosial lainnya yang terjadi.
Gerakan di berbagai wilayah di Timur Tengah ini ditandai dengan digelarnya aksi protes terhadap korupsi di Tunisia, 18 Desember 2010. Dalam aksi protes ini, terjadi aksi pembakaran diri oleh Mohamed Bouazizi yang secara tidak langsung menyulut semangat resistensi ke seluruh dunia Arab.
Gerakan ini dilancarkan dengan berbagai cara mulai dari aksi turun ke jalan hingga pemanfaatan media sosial. Dan dalam kurun waktu beberapa bulan, gerakan ini mampu menumbangkan dua rezim pemerintahan di Timur Tengah: Zine El Abidin Ben Ali, Presiden Tunisia sejak 1987; dan Presiden Mesir yang menjabat sejak 1981, Hosni Mubarak.
Setelah keberhasilan yang terjadi di Tunisia dan Mesir, gerakan Arab Spring ini semakin menggelora di seluruh wilayah, tak terkecuali Maroko.
Meski tak sampai terjadi penggulingan kekuasaan, gerakan ini setidaknya dapat memaksa pemerintah untuk mereformasi konstitusi yang berlaku.
Di Maroko, gerakan Arab Spring inilah yang akhirnya menumbuhkan semangat untuk mengkritik kebijakan-kebijakan represif dan segala ketidakadilan yang terjadi. Kritik-kritik tersebut salah satunya dituangkan lewat sepak bola.
Ultras yang menjelma menjadi sebuah gerakan sosial
Ultras di Maroko mulai berkembang sekitar pertengahan dekade 2000. Ini ditandai dengan lahirnya Green Boys 2005 yang pertama kali mencuat ke permukaan pada laga Liga Champions Afrika antara Raja Casablanca melawan wakil Tunisia, ES Sahel di Casablanca, Juni 2005.
Sejak saat itulah mereka memproklamirkan diri sebagai penghuni tribun selatan Stade Mohammed V. Meskipun, dalam perkembangannya mereka akhirnya berbagi tempat dengan dua kelompok lain, yaitu Ultras Eagles 06 dan Derb Sultan 1949 untuk berdampingan menghuni tribun yang dikenal dengan nama Curva Sud Magana.
Dalam kasus lain, perebutan tribun antarkelompok suporter biasanya berakhir dengan pembubaran diri kelompok yang kalah. Sejak saat itu, muncullah berbagai kelompok Ultras di Maroko, dari ujung Tangier hingga Laayoune.
Misalnya, Winners 2005 yang mengakusisi tribun utara Stade Mohammed V beberapa bulan setelah munculnya Green Boys 2005, Helala Boys di Kenitra, Fatal Tiger 2006 di Fés, Ultras Black Army 2006 di Rabat, Ultras Hercules 2007 di Tangier dan kelompok lainnya yang tersebar di berbagai kota.
Munculnya kelompok-kelompok baru ini menandakan panasnya persaingan baik di dalam maupun di luar lapangan.
Ultras selalu menjadi kelompok yang atraktif dan menonjol dari suporter pada umumnya, dan biasanya mereka adalah kelompok yang independen yang tidak mau didikte oleh siapa pun termasuk oleh tim yang mereka dukung.
Saat Arab Spring melanda Timur Tengah, Ultras di Maroko juga terkena dampaknya. Setelah gerakan 20 Februari yang bisa dikatakan sekarat akibat represi dari pemerintah, rakyat Maroko mendapat secerca harapan dari atas tribun stadion.
Dari sana, kelompok Ultras mengekspresikan kegelisahannya atas kenyataan sosial yang terjadi menggunakan spanduk, bendera, chant, tifo tanpa harus mengabaikan tugas pokok untuk mendukung tim kebanggaan.
Walau kadang menimbulkan keributan dengan pihak keamanan. Namun, gesekan antara Ultras dengan pemerintah di sini tak separah dengan yang terjadi di Mesir ketika 72 suporter Al Ahly tewas di Port Said.
Dengan kreativitas yang dimiliki, terciptalah berbagai chant yang berlatar belakang politik. Beberapa di antaranya, Outro di album Irreversible milik Helala Boys; chant Ultras Hercules 2007, Hadi Blad El Hogra; dan sebuah chant yang sangat fenomenal dari Ultras Eagles 06, Fbladi Delmouni.
Viralnya Fbladi Delmouni disebabkan karena isi chant tersebut cukup universal, setidaknya bagi kawasan Afrika Utara.
Chant tersebut berisi kritik atas represi pemerintah, isu narkoba di Ketama, hingga bahaya neo kolonialisme dari dikeruknya sumber daya oleh pihak asing. Di lain kesempatan, fans Raja Casablanca ini juga memberi dukungan pada Palestina lewat chant Rajawi Filistini.
Gestur politik lainnya juga pernah dilakukan oleh Ultras Rif Boys dengan mengibarkan bendera Amazigh ketika lagu kebangsaan Maroko diputar. Aksi ini merupakan bentuk protes serta upaya agar isu Amazigh bisa menjadi wacana nasional dan agar mereka lebih diperhatikan.
Gestur lain juga dilakukan Los Matadores yang memprotes kematian Hayat Belkacem, seorang mahasiswa yang ditembak angkatan laut saat mencoba bermigrasi ke Spanyol pada 25 September 2018.
Mereka mengibarkan bendera Spanyol sebagai sebuah protes pada laga antara Hassania Agadir melawan Olympique Khouribga, 30 September 2018. Hasilnya, 14 orang anggota Ultras Rif Boys dikenai hukuman penjara selama 10 bulan.
Puncak dari gesekan antara Ultras dan pemerintah ini sebenarnya terjadi pada tahun 2016, yaitu ketika dikeluarkannya 09/09 Law yang berisi larangan untuk membawa spanduk, bendera, drum, pyro, smoke bomb, dan peralatan untuk kepentingan koreografi lainnya ke dalam stadion.
Meskipun para Ultras sebenarnya masih diperbolehkan masuk ke stadion, banyak dari mereka lebih memilih untuk melakukan boikot. Kebijakan ini seakan menjadi public enemy yang pada akhirnya menyatukan hampir semua Ultras di Maroko.
Hal ini pun menciptakan sebuah anomali. Seperti ketika Ultras dari FAR Rabat dan Wydad Casablanca yang sebenarnya saling berseberangan, bernyanyi bersama mengumandangkan protes di stadion.
Periode 2016 sampai 2018 merupakan periode solidaritas, yaitu ketika para Ultras menyisihkan rivalistas di antara mereka untuk memperjuangkan tujuan bersama.
*Penulis adalah penikmat sepak bola yang tertarik dengan hal-hal yang membangun sepak bola dari luar lapangan. Bisa disapa di akun Twitter @valkenbach