Suara Pembaca

Bagaimana jika Hanya Sepak Bola yang Kita Punya?

Manusia punya berbagai cara dan seni dalam berbahagia. Semua orang punya ekspresi tersendiri sebagai representasi dari kebahagiannya.

Ihwal ekspresi ini pula yang turut menjadi semacam warna dalam hidup. Konon, di dalam dunia yang rumit serta selalu punya hal-hal problematik, mencari bentuk kebahagiaan yang hakiki adalah jalan satu-satunya.

Seorang penulis amatir, misal, ia akan dengan sangat bahagia jika tiba-tiba salah satu karyanya dapat penghargaan bergengsi macam nobel.

Ia seolah-olah sudah sampai pada puncak menjadi penulis hebat. Begitulah, yang manusia hadapi di masa ini adalah hal-hal problematik tetapi tetap dituntut untuk menyelesaikannya.

Dari hal problematik tersebut bisa diambil kesimpulan yang variatif; antara sedih dan bahagia.

BACA JUGA: Geliat Skena Ultras di Maroko

Beberapa manusia justru memilih sepak bola adalah hidup. Mereka menjadikan sepak bola sebagai sebuah wasilah dan ejawantah dari bahagia yang definitif.

Orang yang sudah masuk dalam tahap ini tidak hanya memandang sepak bola sebagai permainan berlari dan mengincar gawang.

Mereka jauh lebih dari itu, sepak bola adalah interpretasi dari kesenangan yang hakiki. Apakah tidak ada hal-hal sedih dalam sepak bola? Tentu ada, tetapi hal bahagia dalam sepak bola jauh lebih besar daripada entitas bernama sedih.

Bayangkan saja, ini adalah sebuah tawsir ihwal kesedihan dalam sepak bola, betapa menyedihkan dan menyakitkan para orang-orang di balik kekalahan dramatis AC Milan pada partai final Liga Champions 2005.

Sebelumnya yang sempat unggul margin tiga gol, tetapi harus pupus setelah juru gempur Liverpool berhasil menyamakan kedudukan dengan menjebloskan tiga gol basalan dan menang secara dramatis lewat adu penalti.

Seseorang—termasuk saya—yang hanya menikmati lewat layar kaca akan sangat menikmati sebuah euforia gol klub kesayangan.

Seolah-olah kita sedang berada di pojok stadion dan pemain kebanggan kita melakukan selebrasi dan melihat ke arah kita. Bagi orang yang tidak sedang di posisi ini, mungkin hal tersebut sangat absurd—untuk menghindari kata mengkhayal.

Begitu pula jika klub kebanggaan sedang dalam fase kalah atau bahkan terpuruk, kita (saya lebih khususnya) akan merasa sedang berada di tengah lapangan dan menunduk meratapi kekalahan. Hal-hal tersebut sangat mungkin ditemukan dalam tubuh orang yang ruh sepak bola dan hal-hal di dalamnya melekat padanya.

BACA JUGA: Emiliano Martinez, Kiper Pelapis yang Kini Tampil Fantastis

Lihat, berapa orang yang mengucurkan air mata saat Timnas Indonesia U-16 juara AFF pada 2018. Mereka adalah orang-orang terpilih yang jiwa sudah dipenuhi kecintaan pada sepak bola.

Di atas itu semua, para manusia yang sudah menyerahkan hidupnya untuk menjadi penikmat bola akan selalu menjadi orang paling bahagia. Ilustrasi yang simpel begini, saat Leicester City menjuarai Liga Inggris tidak sedikit orang yang notabene bukan pendukungnya turut bahagia.

Mereka paham dan memahami, beginilah sepak bola yang bulat, apapun bisa terjadi. Hal-hal mustahil, sesuatu yang di luar nalar, hal-hal yang tidak bisa dinjangkau pikiran, bisa ditemukan dalam sepak boa.

Epic comeback dari Barcelona di Camp Nou saat melawan Paris Saint Germain turut menegaskan hal-hal mustahil yang terjadi dan bisa terjadi di dalam sepak bola.

Ada banyak hal lain dalam sepak bola, bahagia, kesedihan, perlawanan dan semacamnya. Sementara selebrasi, lebih tepatnya saat mencetak gol, adalah medium dari hal itu.

Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka pada Piala Dunia 2018 yang melakukan pertunjukan berupa selebrasi bernuansa politis dalam pentas lapang hijau cukup mewakili bagian ini.

Kedua tangan yang disimbolkan sayap dan diletakkan di dada, diklaim sebagai reinkarnasi burung Elang di bendera Albania, yang pada saat itu menghadapi Serbia.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, kedua negara ini memiliki konflik internal pada masa lalu. Hal emosional semacam itu yang sangat istimewa bagi orang-orang yang ingin lari dari kerumitan hidup di dunia. Sebab, hanya sepak bola yang kita punya dan hal berharga satu-satunya.

BACA JUGA: Semangat Baru Sepak Bola: Lebih dari Sekadar Permainan di dalam Lapangan

*Penulis di berbagai media cetak dan daring yang sedang bergiat di Garawiksa Institute Yogyakarta. Penikmat Barcelona sampai mati, tetapi bukan fans Messi seorang. Bisa ditemui di akun Twitter @rofqil_bazikh