Kolom

Pentingnya Rencana B dalam Sepak Bola

Sheffield United, Oita Trinita, Trat FC, dan UiTM FC. Mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang menghubungkan keempat tim ini? Keempatnya adalah tim-tim semenjana yang tidak memiliki rencana B untuk bertahan lebih lama di kasta tertinggi.

Mereka berhasil naik dari kasta kedua, menggebrak para elite di liga masing-masing, namun sayangnya langsung jatuh dari langit ketujuh ke realita yang kejam di musim berikutnya akibat berbagai hal.

Sheffield United dan Trat terdegradasi dari liga mereka masing-masing setelah penampilan impresif mereka di kasta teratas, sedangkan Oita dan UiTM sekarang sedang terjebak dalam pertarungan melawan momok degradasi. Apakah faktor katalis yang membuat mereka berubah dari kuda hitam menjadi pesakitan?

Di bawah tangan dingin Chris Wilder, Sheffield United berhasil meroket dari League One, kasta ketiga Liga Inggris, ke surga bernama Premier League dalam waktu empat tahun saja.

Wilder melakukannya semua tanpa ada pemain dengan embel-embel bintang. Chris Basham, John Egan, Enda Stevens, John Fleck, George Baldock, Jack O’Connell, Sander Berge, dan John Lundstram bukanlah nama-nama yang dikenal oleh fans Premier League yang sudah mengikuti liga sejak lama.

Namun diluar dugaan Wilder dan para pemainnya berhasil finish di posisi sembilan pada klasemen akhir musim 2019-20 dan lebih mengejutkan lagi, The Blades menantang tim-tim elite di Premier League dan memenangi beberapa pertandingan melawan para enam besar di liga tersebut.

Diprediksi untuk langsung terdegradasi di musim pertama mereka di Premier League dalam 12 tahun, Sheffield malah menghabiskan musim 2019-20 mengejar tiket ke Europa League, meskipun pada akhirnya mereka keteteran dan terpaksa finish di luar zona Eropa.

Namun pada musim berikutnya, musim 2020-21, bukannya menggunakan momentum mereka pada musim lalu untuk menjadi lebih baik, Sheffield malah terdegradasi dari Premier League di bulan April kemarin setelah kalah 1-0 dari Wolverhampton Wanderers di Stadion Molineux.

Yang membuat sangat miris, Sheffield United baru bisa memenangkan pertandingan pertama mereka di bulan Januari 2021!

Ya, The Blades harus rela menyandang gelar sebagai tim dengan start terburuk di sejarah Premier League setelah mereka gagal menang dalam 17 pertandingan pertama mereka, hanya bisa bermain imbang dua kali dan kalah 15 kali dalam rentang waktu tersebut.

Meskipun berhasil mempertahankan sebagian besar skuad inti mereka dari musim 2019-20 mereka yang impresif (dan menambah kekuatan mereka dengan dua pemain muda bertalenta dalam Ethan Ampadu dan Rhian Brewster), Sheffield harus kehilangan penjaga gawang utama Dean Henderson yang kembali ke Manchester United setelah masa peminjamannya habis.

Selain itu, ketika Sheffield United kehilangan salah satu dari pemain inti mereka karena cedera atau akumulasi kartu, The Blades langsung goyah dan keteteran. Wilder seolah tak punya banyak pilihan dan rencana B untuk mengembalikan performa anak asuhnya secemerlang musim lalu.

Basham, Egan, Berge, dan O’Connell adalah para pemain kunci Sheffield yang harus menghuni ruang perawatan akibat cedera yang mereka derita. Dengan absennya O’Connell, seorang defender yang main 35 kali untuk Sheffield di musim 2019-20, menyebabkan lini belakang Sheffield yang sebelumnya sekokoh baja menjadi keropos.

Absennya pemain-pemain kunci ini tak mampu ditanggulangi oleh Sheffield, yang berakibat merosotnya performa tim secara keseluruhan.

Sebenarnya Wilder sadar, jika ia ingin Sheffield tetap bertahan di Premier League, dia membutuhkan pemain-pemain yang lebih berkualitas yang bisa mengisi kekosongan di skuad jika para pemain kunci The Blades absen atau tidak bisa berperforma secara maksimal.

Chris Wilder manager of Sheffield United arrives before the Premier League match between Leicester City and Sheffield United at The King Power Stadium on July 16, 2020 in Leicester, United Kingdom.

BACA JUGA: Bertahan dengan Menyerang Seperti Sheffield United

Alih-alih minimnya rencana B di dalam lapangan, konflik kepemilikan Sheffield antara Kevin McCabe selaku pemilik lama dan Pangeran Abdullah dari Arab Saudi sebagai pemilik baru secara tak langsung berpengaruh pada performa Sheffield di lapangan hijau.

Wilder, sebagai orang kepercayaan McCabe, merasa bahawa Pangeran Abdullah berusaha ikut campur terlalu banyak dalam pekerjaannya. Sang Pangeran juga menolak untuk membiayai Wilder lebih lanjut di bursa transfer, karena ia merasa bahwa sang manager sudah cukup banyak menghabiskan uang di bursa transfer.

Sheffield United membeli Berge pada awal musim 2019 dengan kisaran harga 22 juta Poundsterling sebelum Brewster dibeli Sheffield dengan harga sekitar 23.5 juta Poundsterling di awal musim ini.

Dengan banderol sebesar itu, Brewster merupakan pembelian termahal Sheffield sepanjang sejarah namun sayangnya mantan pemain muda Liverpool tersebut gagal memenuhi ekspektasi musim ini.

Konflik Pangeran Abdullah dengan Wilder berakibat fatal terhadap musim Sheffield. Dengan tidak adanya pemain-pemain berkualitas yang bisa berperan sebagai rencana B dikala absennya pemain-pemain kunci, Wilder berjuang dengan apa yang ada namun ia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri di bulan Maret tahun ini.

Sang pengganti Paul Heckingbottom menjadi saksi degradasinya Sheffield kembali ke Championship satu bulan kemudian.

Dari Sheffield, sang kota industri baja di Inggris, kita beranjak ke Prefektur Oita di pulau Kyushu, Jepang, yang kaya akan sumber mata air panas. Oita Trinita mengakhiri periode di luar J.League 1 yang penuh lika-liku di tahun 2018, promosi dari liga kasta kedua J.League 2 sebagai runners-up.

Berlaga di kasta ketiga di tahun 2016 dan tanpa pemain bintang sekalipun, kecuali sang bintang timnas Thailand, Thitiphan Puangchan, yang didatangkan dari BG Pathum United sebagai pemain pinjaman, banyak yang memprediksi bahwa Oita akan degradasi di akhir musim 2019.

Seperti Sheffield United, Oita membuktikan bahwa mereka bisa bersaing dengan para raksasa-raksasa sepak bola Jepang dengan materi seadanya dengan mengakhiri musim di posisi kesembilan.

Tomohiro Katanosaka, sang penyihir yang membawa Oita dari kasta professional terendah liga Jepang ke kasta paling tinggi dalam waktu 3 tahun, diganjar dengan penghargaan 2019 J.League Manager of the Year atas usahanya membangkitkan The Turtles.

Tidak seperti Sheffield yang menderita second season syndrome, Oita di musim kedua mereka di J1 masih bisa bersaing dengan tim-tim lain di divisi tersebut.

Lini serang mereka mungkin saja melemah sepeninggal Noriaki Fujimoto dan Ado Onaiwu, namun pertahanan mereka masih solid dengan adanya Tomoki Iwata dan Yoshinori Suzuki, sementara di lini tengah masih ada Kazuki Kozuka dan Toshio Shimakawa yang siap mendikte permainan sepeninggal Thitiphan yang pulang ke Pathum Thani.

Berkat mereka, Oita berhasil finish di posisi ke-11, namun mimpi buruk menghampiri Oita di awal musim 2020. Iwata berhasil dibajak Yokohama F. Marinos sementara Suzuki cabut ke Shimizu S-Pulse. Kozuka meninggalkan Showa Denko Dome ke pelukan sang juara liga Kawasaki Frontale, sementara Shimakawa membelot ke rival satu pulau Oita, Sagan Tosu.

Katanosaka boleh saja memiliki bakat untuk melihat potensi terpendam dalam para pemain muda Oita. Namun salah satu kunci keberhasilan Oita promosi dari kasta ketiga ke kasta teratas adalah kontinuitas.

Dengan hilangnya para pemain kunci serta para pelapis mumpuni seperti Yusuke Goto, Ryosuke Maeda, dan Kazushi Mitsuhira, para pemain baru yang didatangkan oleh manajemen Oita harus berpacu dengan waktu untuk membiasakan diri ke sistem yang sudah diterapkan oleh Katanosaka.

Namun para pemain baru ini masih belum bisa menyamai level yang dicapai oleh para pendahulu mereka, dan sebagai hasilnya Oita menghadapi musim tersulit yang pernah mereka hadapi sejak promosi tahun 2018 kemarin.

The Turtles baru saja mengalami kekalahan ketujuh kali beruntun di J1 pada akhir pekan yang lalu dan sebagai hasilnya mereka terdampar di peringkat ke-18 dari 20 tim – zona degradasi.

Budget Oita boleh saja lebih kecil dari para saingan mereka di J1 dan faktor itu yang membuat mereka rela kehilangan para pemain kunci mereka ke klub-klub yang lebih besar.

Namun musim masih panjang dan para prajurit baru Katanosaka masih memiliki waktu untuk membiasakan diri dengan cara bermain Oita. Mungkin perjuangan mereka akan menjadi lebih sulit, tapi masih belum terlambat untuk melakukan sebuah comeback gemilang dan meloloskan diri dari jerat degradasi.

Toh J1 musim ini baru memainkan 11 matchweek dan The Turtles perlu menemukan rencana B secepatnya untuk mengatrol posisi mereka di klasemen liga.

BACA JUGA: J.League dan Simbiosis Mutualisme dengan Perusahaan-Perusahaan Nasional

Previous
Page 1 / 2