Suara Pembaca

Bertahan dengan Menyerang Seperti Sheffield United

Ketika membicarakan Divisi Championship musim 2018/2019 lalu, semua mata akan tertuju pada satu orang; Marcelo Bielsa, si gila dari Argentina yang secara mengejutkan, menangani tim sekelas Leeds United. Orang-orang berbondong-bondong membicarakan Bielsa dan seakan-akan tak mau luput ketinggalan aksinya dan anak asuhnya di Leeds kala bertanding.

Di saat semua perhatian tertuju pada Bielsa, mata Bielsa justru tertuju pada Chris Wilder, rivalnya di Championship, yang dianggapnya sebagai orang yang melahirkan inovasi baru pada perkembangan taktik sepak bola.

“Manajer Sheffield United (Wilder) adalah seseorang dengan ide-ide yang baru. Tidak banyak orang dengan ide-ide semacam itu,” tutur Bielsa dikutip dari Telegraph.

“Mereka punya gaya bermainnya sendiri. Mereka setia dengan gaya mereka sepanjang musim dan setiap pemain memberikan yang terbaik. Mereka adalah tim di mana aku belajar banyak darinya,” tambahnya

Pujian itu memang bukan mengada-ada, dan bukan tanpa alasan pula Sheffield mampu kembali ke Liga Primer Inggris dari League One –kasta ketiga liga Inggris– hanya dalam jangka 3 tahun. Wilder membawa inovasi yang baru dalam dunia taktik sepak bola.

Baca juga: Yang Tersisa di Carrow Road

Bermain dengan pola dasar 3-5-2 dan terkadang 3-4-1-2, Sheffield mampu menarik perhatian pencinta sepak bola dengan sistemnya yang tidak biasa, yaitu membuat bek tengah pada kedua sisi mereka melakukan overlap. Strategi ini dilakukan agar menciptakan overload pemain di sektor sayap. 

Namun, Sheffield United juga tidak gegabah dalam melakukan aksinya. Bek tengah pada kedua sisi mereka tidak serta-merta melakukan overlap secara bersamaan ketika dalam posisi menyerang, sebab jika kedua bek menyerang secara bersamaan, akan sangat rentan terkena serangan balik.

Ketika bola bergulir di kiri pertahanan lawan, maka Chris Basham, bek tengah-kanan Sheffield,  akan melesat ke depan membantu penyerangan. Begitu juga sebaliknya, jika bola berada di kanan pertahanan lawan, tugas O’Connell yang melakukan overlap. Maka ada dua bek yang berada di pertahanan serta dua gelandang yang bersiap mengantisipasi jika ada serangan balik.

Chris Wilder, dengan tangan dinginnya mampu mementaskan Sheffield dari keterputukan dan mengembalikan Sheffield menuju kasta teratas Liga Inggris hanya dalam jangka waktu tiga tahun sejak terdegradasi pada tahun 2006.

Sebuah capaian yang luar biasa mengingat setelah 12 tahun lamanya The Blades, julukan Sheffield United, lebih sering berkutat di divisi League One dan sesekali naik ke Championship hanya sekadar numpang lewat untuk kemudian kembali terdegradasi.

Keadaan tersebut pula yang membuat fans Sheffield menjadi mawas diri. Mereka tak berharap banyak dari tim kesayangannya dan mencoba untuk merendahkan ekspektasinya jauh ke titik nadir.

Mereka barangkali berpikir hanya dengan melihat Sheffield United bermain saja sudah lebih dari cukup. Harapan untuk kembali bermain di Liga Primer Inggris barangkali adalah mimpi yang terlampau muluk bagi mereka. 

Namun, kedatangan Wilder mengubah mindset inferior itu. Kedatangan seorang pelatih yang juga seorang pendukung The Blades ini sekaligus membawa pengharapan-pengharapan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh para pendukung klub tertua di Liga Inggris ini.

Baca juga: Nick Culkin dan Rekor Abadinya

Fans mulai berdatangan memenuhi stadion dan mendukung dengan yel-yel serta nyanyian-nyanyian dengan lantang. Para pemain mulai bermain dengan gairah ingin menang dan menang. Wilder mampu menembus batas-batas ketidakmungkinan itu dan membuktikan bahwa tak ada yang tak mungkin. Apa lagi dalam sepak bola.

Strategi dan taktik yang unik bukanlah satu-satunya yang ia bawa dalam masa kepelatihannya di Sheffield. Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh sebagai suporter The Blades, ia pasti sangat paham bagaimana rasanya menjadi pendukung Sheffield. Ia mencoba merekatkan kembali hubungan antarsuporter dan klub yang ia rasa telah lama hilang.

“Ketika aku kembali ke klub ini, koneksi antara suporter dan para pemain berada pada titik terendah sepanjang masa. Tidak ada koneksi sama sekali,” ungkap pria berumur 51 tahun ini dikutip dari Sky Sport.

“Itu adalah masalah terbesar yang harus saya hadapi dan saya mencoba menghubungkan kembali tiap-tiap bagian penting di dalam sepak bola: suporter dan para pemain,” imbuhnya.

Baca juga: Mereka yang Terpaksa Berpisah Seperti Minke dan Annelies

Membangun hubungan yang baik antar fans dan para pemain merupakan hal yang penting bagi Wilder. Sebab dengan adanya hubungan yang baik itu, maka akan menciptakan lingkungan yang positif serta dapat membangun kepercayaan satu sama lain. Kedekatannya dengan fans juga lah yang  membuat Wilder dicintai oleh publik The Blades dan menjadi ikon klub. 

Saat ini sangat mudah untuk mengatakan bahwa Sheffield adalah calon penghuni tiga terbawah klasemen Liga Primer Inggris. Chris Wilder pun tidak menyangkal pernyataan itu. Liga Primer Inggris berada di  level yang berbeda dengan Championship dan League One, dan untuk bertahan di level tertinggi ini, akan sangat sulit bagi skuat Sheffield.

Namun kesempatan untuk sintas juga masih sangat terbuka lebar. Dalam tiga pertandingan awal, Sheffield meraih hasil yang cukup positif dengan meraup 4 poin. Hasil dari satu kemenangan, satu kekalahan, dan satu imbang.

Sangat menarik untuk melihat bagaimana Chris Wilder dan pasukannya mengarungi Liga Primer Inggrus musim ini. Dengan pendekatan taktik yang terbilang tak biasa ini serta mulai terjalinnya hubungan harmonis antarsuporter dan para pemain, apakah mereka bisa bertahan di rimba Liga Primer Inggris yang kejam? Atau malah terjerembab ke dasar klasemen seperti yang para analis sepak bola ramalkan?

 

*Penulis adalah pencinta sepak bola pragmatis. Bisa ditemui di akun Twitter @ABarezilla