Suara Pembaca

Yang Tersisa di Carrow Road

Pesta bagi tim tamu, lara bagi tuan rumah. Carrow Road, markas Norwich City, menjelma biru. Tiga gol berbalas dua menjadi penanda kemenangan perdana anak asuh Frank Lampard di Liga Inggris.

Dua laga sebelumnya, Chelsea hanya memetik satu poin. Dipermak Manchester United empat kosong dan imbang satu sama dengan Leicester City.

Bukan laga yang mudah tentunya. Lampard datang bersama sejumlah masalah. Belum fitnya dua penggawa utama -Tony Ruediger dan N’Golo Kante- menambahkan keraguan para fans. Apalagi, darah muda yang mengisi beberapa pos dianggap minim pengalaman. Kekalahan lewat adu penalti di final Piala Super Eropa, dirasa bakal menghantui dan melemahkan mental bertanding.

Benar adanya. Babak pertama mulai menunjukkan apa yang fans ragukan. Chelsea mencetak dua gol, tapi tetap kemasukan dua gol pula. Skema dan cara bertahan para pemain belum padu padan. Penyerang Norwich bebas melakukan tusukan dan sejumlah umpan silang. Hukuman dua gol terasa pantas bila berkaca pada performa lini bertahan yang masih angin-anginan.

Babak kedua, Chelsea memburu gol ketiga. Begitu pula dengan tuan rumah, tentu tidak ingin malu di kandang sendiri. Pertahanan Chelsea terlihat lebih solid dan mampu menghalau beberapa serangan berbahaya yang dilancarkan Pukki dan kawan-kawan.

Baca juga: Menanti Magis Kedua Frank Lampard di Stamford Bridge

Permainan berlangsung semakin alot. Pembeda kemudian muncul ketika banyak yang menganggap laga bakal berakhir imbang. Sepakan dari luar kotak penalti Tammy Abraham memutus tren negatif Chelsea dan Frank Lampard.

Kemenangan di Carrow Road pun menyisakan banyak hal bagi para pemain, Lampard pribadi, manajemen klub, dan segenap fans The Blues. Pada beberapa wawancara, Lampard berulang kali menegaskan perihal filosofi menyerang yang ia akan terapkan dalam permainan timnya.

Filosofi ini benar-benar mewujud pada setiap pertandingan yang Chelsea lakoni. Namun, keasyikan menyerang membuat para pemain kerap melupakan pertahanan. Di sisi ini, pembenahan perlu dilakukan.

Lagi-lagi, Lampard kerap menyinggung ini terlebih usai dibantai oleh Manchester United. Tapi entah mengapa, Kepa Arrizabalaga masih saja kebobolan lima gol dalam tiga pertandingan terakhir. Sebuah PR besar tentunya.

Baca juga: Chelsea, Lampard, dan Jejak Para Legenda di Kursi Pelatih

Poin selanjutnya adalah kepercayaan dan kebangkitan. Tammy Abraham gagal mengeksekusi tendangan penalti di final Piala Super Eropa. Kegagalan ini menunda gelar perdana Lampard dan mengulangi kesalahan bekas pemain muda Chelsea lainnya di final yang sama tahun 2013 lalu, Romelu Lukaku. Tapi, Lampard tetap keukeuh mempercayai sang pemain muda.

Hasilnya, penampilan apik dipertontonkan Abraham. Brace-nya menunjukkan kebangkitan dari sisi mental dan permainan. Lantas kemudian, banyak yang berharap nomor sembilan terkutuk di punggungnya berubah jadi tuah di muka gawang lawan.

Tammy Abraham tidak sendiri. Buah dari kepercayaan berada dalam diri Mason Mount. Penampilan konsistennya membuat pemuda 20 tahun ini terus dipercaya Lampard memimpin lini tengah Chelsea sebagai starter. Kepercayaan itu dibayar lunas dengan satu gol ke gawang Norwich dan satunya lagi di minggu sebelumnya yang menjebol jala Kasper Schmeichel.

Manajemen Chelsea mungkin sedang sumringah. Proyek pengembangan pemain muda selama beberapa tahun belakangan mulai menuai hasil, meski harus dibayar dengan hukuman larangan mendatangkan pemain di dua jendela transfer.

Manajemen Chelsea tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama dalam berbisnis, seperti pada kasus Kevin de Bruyne, Romelu Lukaku, dan Mohamed Salah. Menjual pemain muda memang mendatangkan keuntungan, tapi kadang penyesalan datang belakangan. 

Arkian, poin terakhir yang tersisa dari kemenangan perdana ini yakni perihal kesabaran. Mereka yang harusnya lebih bersabar adalah para pendukung The Blues. Belum saatnya menyuarakan tagar #LampardOut, di saat sang pelatih sedang berusaha membangun tim di masa transisi.

Kehilangan beberapa pemain bintang yang berpindah haluan, tentu saja memangkas kekuatan tim. Namun, perlakuan yang cocok di masa transisi bukan tidak mungkin akan memberi napas baru bagi Chelsea.

Bukankah sejauh ini permainan anak asuh Lampard di atas lapangan begitu menghibur? Soal piala, hanya persoalan waktu belaka. Mari berhenti meragu, Blues!

 

*Penulis adalah blogger dan jurnalis paruh waktu. Penikmat sepak bola dari pinggiran. Dapat ditemui di akun Twitter @bedeweib.