Sepak bola adalah olahraga keras dan cenderung mengarah kepada maskulinitas yang digemari di seluruh dunia. Namun jejak-jejak perjuangan feminisme dalam sepak bola terselip dalam sejarah panjang perjalanannya yang sudah dimulai sejak zaman Dinasti Donghan pada abad ke-2 dan ke-3 SM.
Kepopuleran sepak bola dimulai pada abad ke-19 tepatnya pada tahun 1863, dilakukannya kodifikasi sepak bola secara global pertama kali yang dilakukan di London.
Sepak bola merupakan olahraga yang digandrungi masyarakat kelas menegah ke bawah, di dalam kajian Sosiologi disebutkan ketika suatu masyarakat kelompok berada pada kelas menengah kecbawah akan sangat jarang masyarakat itu membeda-bedakan antara satu dengan yang lain.
Seperti hal nya sepak bola, diciptakan untuk menghapuskan rasa perbedaan dan melahirkan suatu rasa persatuan. Lantas bagaimana dengan wanita yang menyukai sepak bola? Masih banyak stigma di masyarakat ketika awal lahirnya sepak bola yang menilai bahwa wanita yang menyukai sepak bola adalah wanita yang melanggar kodratnya.
Stigmatisasi masyarakat masa itu berpandangan bahwa wanita sejatinya lemah lembut dan jauh dari ‘kekerasan’ yang telah tertanam dalam diri mereka, pemikiran konservatif nan usang yang seharusnya dibuang. Bukankah sepak bola milik semua? Bukankah merayakan dan menikmati sepak bola adalah hak milik semua?
Perjuangan melawan ketidakadilan terhadap wanita telah banyak dilakukan dan dimulai pada abad ke-18, di dalam buku A Vindication of Woman of The Rights karya Mary Wollstonecraft terdapat kritikan terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku bagi kaum pria.
Tulisan Mary Wollstonecraft dianggap sebagai pencetus Gerakan Feminisme pertama kali. Abad ke-20 perkembangan feminisme sangat cepat karena menjamurnya kolonialisme-imperialsime yang terjadi di dunia. Bahkan di Indonesia ada sosok Raden Ajeng Kartini yang pertama kali menyerukan persamaan kedudukan antara pria dan wanita.
Ketika membicarakan pergerakan feminisme dalam sepak bola ada satu tokoh asal Inggris yang pertama kali memperjuangkan sepak bola untuk wanita pada akhir abad ke-19 yaitu Nettie Honeyball.
Tahun 1894, Nettie memasang iklan pada media-media Inggris pada waktu itu yang berisi ajakan bergabung ke dalam klub British Ladies Football Club (BLFC) bagi wanita.
BLFC akhirnya dihuni oleh wanita-wanita kelas menengah ke bawah. Latar belakang Nettie mendirikan klub sepak bola wanita karena dirinya merupakan pejuang hak-hak wanita dan memakai sepak bola untuk menyuarakan persamaan hak.
Kejadian luar biasa terjadi ketika klub sepak bola wanita pertama bertanding pada 23 Maret 1895 di daerah Crouch End, London. Pertandingan itu mempertemukan antara Tim Utara dan Tim Selatan.
Sambutan luar biasa bisa dilihat dengan animo penonton yang datang. 8.000-10.000 orang diperkirakan datang untuk menonton pertandingan sepak bola perempuan pertama itu. Akhir pertandingan dimenangkan oleh tim Nettie Honeyball dengan skor 7-1.
Setelah ketenarannya itu, akhirnya BLFC mengadakan tour pertandingan di beberapa tempat. Namun, hari yang tidak diharapkan akhirnya datang, pertandingan di South Shield dan Jesmond hanya ditonton 400 orang yang menyebabkan keuangan klub goyah dan kehilangan arah. BLFC akhirnya bubar pada tahun 1896 dan kembali ke kota asalnya, London.
Denyut nadi sepak bola wanita seakan kembali pada masa Perang Dunia 1. Kali ini kaum buruh wanita yang menjadi andil utama dalam sepak bola. Dick, Kerr & Co., pemilik produksi kereta api mempunyai inisiatif untuk membentuk klub sepak bola wanita karena melihat buruh-buruh wanita pada saat itu bermain bola di sela-sela waktu istirahatnya.
Tahun 1917 akhirnya klub bernama Dick, Kerr Ladies lahir. Dick, Kerr Ladies melakukan debut pertama kalinya melawan St. Helen Ladies pada tahun 1920 di Everton dan menyedot antusias penonton sebanyak 53.000 orang.
Setelah beberapa perjuangan untuk sepak bola wanita, akhirnya lahir sebuah turnamen resmi sepak bola perempuan yang bernama “The Munitionettes’ Cup”. Akan tetapi, turnamen itu hanya berumur dua musim saja.
Kaum konservatif di Inggris mulai menentang adanya sepak bola wanita karena dianggap menyalahi etika yang ada.
Berbagai alasan dijadikan tameng untuk menolak adanya sepak bola wanita di Inggris, diantaranya adalah sepak bola merupakan olahraga yang keras dan tidak boleh untuk wanita. Wanita harus memakai rok tertutup dan alasan fisik yang kurang memadai untuk sepak bola.
Tahun 1921, FA mengeluarkan dekrit pelarangan terhadap sepak bola wanita di Inggris dengan alasan: sepak bola hanya untuk kaum pria. Tidak mau mati begitu saja, didirikan Asosiasi Sepakbola Perempuan Inggris (ELFA) dan membuat aturan-aturan di luar ketetapan FA.
EFLA diketuai oleh Len Bridgett dan menyelenggarakan turnamen pertamanya pada tahun 1922. EFLA CUP diikuti 24 tim untuk memperebutkan piala perak. Akhirnya FA mencabut dekritnya dikarenakan tekanan dari UEFA.
Perkembangan signifikan yang diperlihatkan sepak bola perempuan membuat FIFA menyelenggarakan Piala Dunia Wanita pada tahun 1991 dan dipertimbangkan masuk cabor Olimpiade tahun 1995.
Dunia sepak bola wanita dan perjuangan feminisme dalam sepak bola harus berterima kasih kepada Lady Florence dan Nettie Honeyball yang mendobrak kekangan etika dan tabu yang ada di masyarakat Inggris masa itu.
“Football is the sport for women, the pastime of all others which will ensure health, and assist in destroying that hydra-headed monster, the present dress of women,” tulis Lady Florence sebagai perlawanan terhadap kaum konservatif yang ada di Inggris.
Hasil dari perjuangan mereka bisa kita rasakan di masa kini dengan adanya wanita di setiap sendi sepak bola mulai dari pemain, penonton dan suporter. Wanita yang datang ke stadion merupakan wanita yang memiliki keberanian, keberanian untuk menghapuskan “jarak” konyol antara wanita dan sepak bola.
Sepak bola bukan hanya olahraga yang digemari dan dipuja-puja layaknya dewa, tetapi sepak bola adalah cara untuk menghilangkan ketimpangan antara penikmatnya. Mengilhami sepak bola sebagai “agama”, artinya mengilhami semua makhluk ikut serta di dalamnya tanpa memandang perbedaan gender semata.
BACA JUGA: Melawan Rezim Pemerintahan ala Megan Rapinoe
Penulis merupakan manusia yang harus bergelut dengan susahnya sinyal. Dapat ditemui di akun Twitter @Zhafranhilmy