Editorial

Pungkas Paripurna Diego Maradona

Tidak banyak figur publik yang bisa menancapkan citra positif di sepanjang hidupnya. Beberapa kemudian mengalami kemerosotan pamor, dan tak jarang yang diliputi masalah bahkan skandal.

Perubahan citra itu juga bisa membuat cara orang mengenang sang figur publik berubah. Dulu memuja kini menghina, dulu memuji kini mencaci.

Tapi rasanya tabiat khas manusia itu tak layak kita terapkan juga ke Diego Maradona, sang legenda yang pada Rabu (25/11) waktu Argentina mengembalikan Tangan Tuhan ke pangkuanNya.

Maradona meninggal dunia karena serangan jantung, setelah sempat menyelesaikan operasi otak dan bolak-balik keluar-masuk rumah sakit sejak 2015 karena berbagai persoalan kesehatan.

Ia mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun, membuat sepak bola kembali kehilangan sosok sarat histori, dan Argentina lagi-lagi harus melepas tokoh inspiratif setelah Evita Peron atau Eva Peron.

BACA JUGA: Messi dan Argentina, dalam Bayang-bayang Keagungan Maradona

Popularitas lintas generasi

Sejak kemunculannya di lapangan hijau, nama Diego Armando Maradona Franco menjadi perbincangan lintas generasi.

Mereka yang hidup di kala Maradona bermain menyebutnya bintang, generasi 1980-an menyebutnya idola, generasi 1990-an melabelinya legenda, dan generasi 2000-an mendalami kisahnya lewat berbagai cerita.

Zlatan Ibrahimovic bahkan menyebut Maradona tidak mati, karena dia abadi.

“Maradona tidak mati dia abadi. Tuhan memberi dunia pesepak bola terbaik sepanjang masa. Dia akan hidup selamanya,” tulis Ibra di caption unggahannya.

Sementara itu Pele yang kerap dibanding-bandingkan dengan Maradona, menyebut mendiang sebagai teman.

“Saya kehilangan seorang teman, dan dunia telah kehilangan seorang legenda. […] Suatu hari, kuharap, kita akan bermain sepak bola bersama di langit,” tulis Pele di akun Instagram pribadinya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Pelé (@pele)

Kemudian di Indonesia, Bambang Pamungkas mengunggah seutas tweet yang menceritakan kaos bergambar Maradona yang selalu ia pakai menyemangatinya untuk terus menyepak si kulit bundar, walau kaos itu bernoda darah saat Bepe kecil terjatuh dan kepalanya terbentur batu.

Bergeser ke sepak bola generasi terkini, Jadon Sancho contohnya, yang turut mengucap belasungkawa di media sosial dan berkata, “Belum pernah bertemu Diego, tetapi selalu melihatnya di YouTube saat aku kecil dan benar-benar menginspirasikan.”

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Jadon Sancho (@sanchooo10)

Itu baru ucapan dari rekan seprofesi. Tak terhitung lagi banyaknya ungkapan perpisahan dari orang-orang di seluruh dunia kepadanya.

BACA JUGA: Mencari Sosok Luis Scola di Timnas Argentina

Pungkas paripurna

Diego Maradona mungkin tidak meninggalkan dunia dalam kondisi sempurna. Dia sudah lama terlilit masalah kesehatan, sempat jatuh ke jurang kecanduan narkoba, terbelit isu hubungan dengan kartel narkoba, serta berbagai kegagalan sebagai pelatih.

Tapi, segala dosa dan noda yang ditorehkannya itu seakan tak membuat reputasinya sirna begitu saja. Namanya dikenal seluruh lapisan masyarakat dunia, gol-gol solo run dan Tangan Tuhan diputar berkali-kali di beragam platform, bahkan ada gereja yang didirikan khusus untuk menyembahnya.

Ya, Maradona adalah Tuhan di gereja Iglesia Maradoniana, yang dibangun pada 1998 di Rosario, Argentina. Natal di gereja itu adalah hari lahir Maradona pada 30 Oktober, dan Paskah-nya tanggal 22 Juni, ketika Maradona menceploskan dua bola ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986.

Sebegitu fanatiknya orang-orang ke Maradona, dan setelah ia pensiun pencarian The Next Maradona dilakukan, untuk mencari siapa yang akan meneruskan titah sang legenda di lapangan hijau, dan memimpin Tim Tango menguasai kejuaraan dunia.

BACA JUGA: Nasib Para Penerus Diego Maradona

Lionel Messi kemudian terlahir, lulus dari La Masia, memulai debut di Barcelona, menembus tim senior Argentina, dan mencetak gol-gol seperti Maradona.

Komparasi pun dimulai media-media dan para pemirsa, tapi bagaimanapun keduanya tetap berbeda.

Messi adalah Messi, dan Maradona adalah Maradona, yang dengan gayanya sendiri kini telah pungkas paripurna mengakhiri perjalannya di dunia.

Satu Piala Dunia, dua scudetti, satu trofi Piala UEFA, sekali jadi kampiun Liga Argentina, dan beragam trofi minor lainnya adalah pencapaian agung yang diraihnya.

Selamat jalan, legenda.

BACA JUGA: Hikayat Manusia Setengah Dewa Bernama Diego Maradona

BACA JUGA: Boca Juniors, Taman Bermain Para Legenda di Buenos Aires

BACA JUGA: Gol Tangan Tuhan dan Mengapa Sepak Bola Tak Seharusnya Butuh Teknologi