Suara Pembaca

Meledak Bersama Denmark

Banyak kejutan di jeda internasional September lalu, kekalahan Inggris atas Denmark jadi salah satu bukti bahwa negara-negara non unggulan siap meledak di Piala Eropa yang sedianya digelar tahun ini.

Selain laga tersebut kekalahan Spanyol atas Ukraina, ditahan imbangnya Jerman dalam laga kontra Turki semakin memperlihatkan kesempatan bagi tim kuda hitam untuk menunjukan taring seraya menancapkan cakar dalam rangka mendobrak hegemoni para unggulan.

Stagnannya performa para tim unggulan membuat banyak negara kuda hitam dengan potensi besar siap untuk mencoba mengambil alih singgasana mereka, dan Denmark adalah salah satu diantaranya.

Akan sangat menyenangkan apabila kita dapat melihat kembali “tim dinamit’ Denmark meledak kembali dan memporak-porandakan barisan pertahanan negara papan atas, pasalnya The Danish Dynamites sendiri memang memiliki sejarah panjang kejayaan, tak hanya sebagai the giant slayer belaka.

Kehebatan Denmark meledak pertama kali saat menjadi juara Euro 1992 setelah menyingkirkan Belanda dan Jerman, namun tim ini seolah lenyap pasca menjadi juara. Setelah 28 tahun berlalu, apakah Denmark kali ini dapat berbicara banyak dan diperhitungkan kembali pada gelaran Euro atau Piala Dunia selanjutnya?

Artikel ini akan mengupas dan menjabarkan mengapa Denmark siap meledak kembali sehingga pantas untuk kembali diperhitungkan dalam pentas akbar sepakbola Eropa atau bahkan dunia.

 

Taktik dan pola bermain Kasper Hjulmand

Pelatih Denmark, Kasper Hjulmand, sendiri biasanya menggunakan pakem taktik 4-2-3-1. Dalam proses build-up, ia menggunakan seorang Pierre-Emile Hojbjerg sebagai tambahan pemain di belakang agar kedua wingback uatama mereka, Robert Skov dan Daniel Wass, dapat mengokupansi wide-space.

Sementara sosok  Thomas Delaney menjadi sosok gelandang antar lini untuk kemudian menghubungkan bola kepada Christian Eriksen. Yussuf Poulsen dan Martin Braithwaite yang berada di half-space akan memberikan ruang wide-space kepada Skov dan Wass yang merupakan bek dengan atensi menyerang untuk melakukan overlap.

Cairnya pergerakan Delaney dan Hojbjerg dalam melakukan cover pada area yang ditinggalkan full-back mereka menjadikan Denmark sebagai tim yang sulit untuk ditembus lewat serangan balik atau transisi negatif di area lapangan sendiri.

Tidak secara harfiah Denmark meledak berapi-api dengan taktik gegenpressing, full attack, ataupun tiki-taka. taktir permainan Hjulmand lebih cair baik dalam menyerang dan bertahan sehingga menjadikan mereka memiliki beragam dimensi dalam memulai serangan.

Dari segi bertahan sendiri, Denmark menggunakan dua blok tinggi dengan 4 pemain di masing-masing bloknya. Meninggalkan Kasper Dolberg dan Christian Eriksen di depan untuk melakukan press and cover.

Teknik press and cover yang dilakukan oleh Denmark bukan sekadar pressing dengan ketat melainkan pressing cair sehingga antara keduanya tak jarang hanya melakukan shadow press dan pressing yang lebih reaktif.

Seperti di awal tulisan dikatakan Denmark menggunakan dua full-back yang memilki kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya. Ini menjadi keuntungan tersendiri kala harus dihadapkan dengan perpindahan transisi positif ke transisi negatif. Lubang yang ditinggalkan oleh Wass dan Skov akan segera diisi oleh Delaney dan Hojbjerg secara disiplin.

Dua pivot yang ditawarkan oleh Denmark juga menjadi sebuah poin kunci untuk menawarkan keseimbangan di lapangan tengah. Dengan semakin dalamnya posisi Højbjerg dan Delaney, maka semakin luas pula ruang yang tercipta untuk dimanfaatkan oleh Christian Eriksen.

Ini akan menjadi sebuah keuntungan besar apabila Denmark bertemu dengan lawan yang menggunakan taktik pressing tinggi, tertariknya fokus gelandang bertahan lawan kepada Delaney dan Hojbjerg akan mengakibatkan Eriksen berdiri bebas di antara gelandang dan bek dan siap meledak bersama lini serang Denmark.

BACA JUGA: Selalu Ada yang Kurang dari Denmark

BACA JUGA: Mathias Jorgensen dalam Perlombaan Menjadi Pencetak Gol Tercepat Piala Dunia

Previous
Page 1 / 2