Di sepak bola, akrab dikenal pemain badung atau bad boy, mulai dari sederet nama populer seperti Mario Balotelli, hingga Joey Barton. Namun berbicara pemain badung atau bandel dan tetap terlihat istimewa seperti Eric Cantona, di kancah sepak bola Indonesia, ‘gelar’ itu layak disandang oleh legenda hidup Persib, Ajat Sudrajat.
Pemain genius yang berjaya bersama Maung Bandung di era keemasan Persib pada 1980-an hingga medio awla 1990-an ini memang bukan nama biasa saja di skena sepak bola Kota Kembang. Tak hanya bernyali di dalam lapangan, Ajat juga punya nyali tak sepele di luar lapangan. Dari catatan Eko Noer Kristiyanto dikutip dari Pikiran Rakyat, Ajat yang kala itu sudah berseragam Bandung Raya, pernah terlibat perseteruan dengan Ketua Umum Persib saat itu, almarhum Wahyu Hamijaya, yang kebetulan juga Wali Kota Bandung periode 1993-1998.
Sosok yang akrab disapa “Arab” ini memang layak punya tabiat bengal dan menjurus ke arogan, karena performa sang pemain begitu istimewa di lapangan. Dibina oleh Persib sejak usia muda, Ajat tergabung dalam skuat golden generation Maung Bandung yang kala itu menjuarai Perserikatan di tahun 1986. Kala itu, skuat Persib memang dihuni nama-nama beken mulai dari Ajat di lini serang, Robby Darwis di sektor belakang, hingga Djadjang Nurdjaman, nama yang di kemudian hari memimpin Persib menjuarai Liga Indonesia sebagai pelatih.
Keistimewaan Ajat Sudrajat juga konon membuat Persib dan manajemen seolah tutup mata dengan tindak tanduk sang bintang. Di skuat Persib era Ajat, hanya dia seorang yang diberi hak istimewa untuk bertingkah semaunya. Dari cerita-cerita Eko di Pikiran Rakyat, Ajat kerap diberi hak istimewa untuk mengabaikan aturan jam malam di hari sebelum pertandingan, boleh membolos latihan pagi, karena di hari pertandingan, sang legenda tetap mampu tampil hebat dan mencetak gol.
Karier Ajat di Persib memang bisa dibilang ada di level fenomenal. Sosok yang kini berusia 58 tahun ini memang layak disebut sebagai salah satu bintang terbesar Persib pada masa kejayaannya. Diberi nomor punggung 10, Ajat menjadi tulang punggung tim kala menjuarai Perserikatan dua kali pada 1986 dan musim 1989-1990. Tak hanya itu, Ajat dan kolega juga melambungkan nama Persib, Bandung, dan Indonesia ke pentas internasional ketika membawa Maung Bandung menjuarai Piala Sultan Hasanal Bolkiah di Brunei Darussalam, pada tahun 1986.
8 musim di Persib, Ajat hengkang pada tahun 1991 untuk mencicipi karier di klub yang juga dari Kota Kembang, Bandung Raya. Bersama Bandung Raya, Ajat kembali mempersembahkan gelar juara Liga Indonesia musim 1995-1996, kompetisi hasil gabungan dari Perserikatan dan Galatama, yang kala itu memasuki musim kedua.
Di Bandung Raya sendiri, Ajat bahu-membahu bersama nama-nama bintang seperti Nuralim, M. Ramdan, Herry Kiswanto, dan tentu saja tandemnya di lini serang, Peri Sandria. Ketika Bandung Raya berubah nama menjadi Mastrans Bandung Raya pun, pesona Ajat tak berhenti bersinar. Di bawah besutan pelatih asing asal Belanda, Henk Wullems, Ajat diberi dua tandem di lini serang bersama Peri dan pemain asing, Dejan Gluscevic. Ketiganya menjadi motor serangan sekaligus trio bintang lini depan yang ditakuti dan disegani lawan.
Saking gemerlapnya karier Arab bersama Persib, publik Kota Bandung pun begitu mencintai pria yang pensiun dan redup sinarnya bersama Mastrans Bandung Raya karena kondisi finansial klub. Pemerintah Kota Bandung mendirikan patung sepak bola di Jalan Tamblong, yang konon katanya, meski ini perlu diverifikasi lebih lanjut, merupakan patung khusus untuk menghormati karier hebat Ajat Sudrajat dan bagaimana ia begitu disegani publik Kota Kembang.