
Jika kita merasa telah cukup baik berusaha, namun penyakit atau kejadian buruk itu masih terjadi lagi dan berulang, maka sejatinya kita harus jujur pada diri sendiri.
Ada masa bahwa kita tidak bisa sendiri, kita membutuhkan orang lain untuk membantu kita. Bantuan itu dapat berupa saran atau sumbang pikiran, curhat, konsultasi, hingga bantuan tenaga dan biaya.
Pada sepak bola modern, klub profesional mempunyai banyak divisi yang dibutuhkan untuk membangun klub yang hebat.
Dari fisioterapis, ahli gizi, psikolog, analis pertandingan, divisi media, humas hingga HRD, marketing, dan sebagainya.
Bantuan dari federasi dan pemerintah bukan yang utama. Coba kita tengok klub Liga 3 yang bisa dikatakan semi-pro. Masih banyak pemilik klub, manajer, dan pengurus yang pejabat publik, pelatih, asisten, dan masseur yang merangkap kitman dan dokter, yang hanya diajak saat pertandingan tiba.
BACA JUGA: Sekali Lagi, Maracana Mengemban Tugas Mulia
Dasar yang benar, dasar yang kuat dan dasar yang terstruktur jelas, ini yang perlu diformulasikan sebagai fondasi dalam membangun sepak bola.
Tentu saja kita telah melihat perubahan baik pada pola kerja federasi, tapi kita masih juga melihat pola kerja yang sama anehnya pada gelaran kompetisi segala usia pada musim 2019.
Apakah ini murni kesalahan pusat? Menurut saya sih, no (dialek ala juri Indonesian Idol). Tapi, apa yang dilakukan oleh pengurus daerah, ada tanggung jawab federasi pusat sebagai induk semangnya.
Begitu pun apa yang telah menjadi “karakter” pemain timnas segala usia, adalah bukan semata tanggung jawab pelatih timnas, namun juga para pelatih di SSB atau akademi di mana mereka berkembang. Ujung ke ujung, satu rangkaian, satu irama.
Pada kondisi seperti saat ini, sepak bola di seluruh dunia berhenti. Bukan hanya sepak bola profesional, namun sepak bola junior, dan sepak bola kampung pun berhenti latihan.
BACA JUGA: Sepak Bola Desa, Satu Olahraga Aneka Cerita