Suara Pembaca

AS Roma dan Penantian Juara yang Tak Kunjung Berakhir

Bagi sebagian orang, tahun 2020 mungkin akan menjadi tahun yang tidak begitu baik, dikarenakan adanya kemungkinan resesi ekonomi global.

Sebagian lainnya menganggap 2020 akan jadi titik awal dimulainya era industri 4.0, di mana kreativitas dan digitalisasi akan menjadi warna utama bagi seluruh sendi kehidupan di dunia.

Namun bagi Romanisti, awal tahun ini adalah wujud kesetiaan dan kesabaran dalam mendukung AS Roma yang tak kunjung juara Serie A sejak dua dekade terakhir, atau tepatnya di musim 2000/2001.

20 tahun menanti gelar juara Serie A adalah waktu yang cukup bagi seluruh Romanisti untuk mengklaim kesetiaan cinta dan kesabaran mereka dalam mendukung klub ini. Jika kekasihmu adalah seorang Romanisti, saya yakin kesetiaan mereka dalam urusan percintaan hanya bisa ditandingi oleh fans Liverpool.

Kesetiaan menunggu klub ini juara Serie A terkadang membuat kami takjub, saat mengetahui beberapa fakta yang ada tentang romantisme kami dengan klub berlogo serigala ini, selama 20 tahun terakhir. 

Pada tahun terakhir ketika Roma meraih scudetto, RCTI merupakan stasiun TV resmi yang menyiarkan Serie A di Indonesia. Lucunya, tahun tersebut adalah tahun terakhir RCTI menyiarkan Serie A di Tanah Air. Setelah itu beberapa stasiun tv nasional maupun berbayar di Indonesia bergantian menyiarkan Serie A.

Saat tidak disiarkan RCTI, Roma belum meraih gelar juara Serie A lagi. Dua dekade berselang, RCTI kembali menjadi official broadcaster Serie A di Indonesia musim 2019/2020. Mungkinkah ini saatnya Roma meraih scudetto ke-empatnya? Nampaknya belum juga.

BACA JUGA: Hari Jumat dan Tabloid Sepak Bola yang Keramat

Kredit: Getty Images

Tim yang keropos

Tim kesayangan Romanisti masih tercecer di peringkat ke-4, terpaut 12 poin dari Juventus sebagai pemuncak klasemen. Hal ini dapat dilihat dari upaya Roma yang tidak seserius pesaing-pesaing utamanya dalam menjalani sisa separuh kompetisi Serie A.

Di saat tiga tim teratas Serie A berlomba memperkuat timnya, Roma malah membeli pemain muda yang bersifat investasi jangka panjang, dan beberapa pemain yang sudah berumur untuk menambal pemain inti yang cedera.

Fakta ini diperparah dengan inkonsistensi tim ketika berlaga. Dari 22 laga Serie A yang sudah dilakoni, tim ini hanya bisa meraih 11 kemenangan, 6 hasil seri, dan menelan 5 kekalahan. Terbaru, I Giallorossi dipermalukan Sassuolo dengan skor 4-2 di kandang lawan.

Rentetan cedera pemain inti dan permainan yang tidak konsisten menjadi alasan mengapa Roma sulit bersaing dengan tiga klub papan atas lainnya, untuk meraih gelar ke-empatnya di Serie A musim ini.

Pada pertandingan terakhir ketika Roma meraih scudetto, terekam secara heroik bagaimana Francesco Totti, Vincenzo Montella, dan Gabriel Batistuta meluluhlantakkan gawang Parma yang dijaga Gianluigi Buffon.

Sebuah pertandingan yang begitu emosional, karena para penggawa Roma percaya bahwa puasa gelar Serie A dari tahun 1982 akan berakhir di Olimpico pada saat itu.

Tiga gol dari tridente Pasukan Serigala saat itu, terasa masih hangat sekali di ingatan para Romanisti saat ini. Namun, bukan kejayaan dan kenangan itu yang akan saya bahas.

Saya ingin mengingatkan para Romanisti, bahwa di tahun yang sama, di saat Roma juara, ada nama Patrick Kluivert yang bermain bersama Barcelona di LaLiga. Kluivert merupakan salah satu penyerang yang begitu ditakuti di masa itu.

BACA JUGA: Patrick Kluivert, Buah Generasi Emas Ajax

20 tahun berselang, sang striker sudah gantung sepatu dari sepak bola, dan giliran anaknya, Justin Kluivert, yang bermain untuk AS Roma sebagai ujung tombak, sama seperti sang ayah.

Sepanjang perjalanan karier sepak bola Patrick Kluivert hingga ia memiliki anak yang bermain untuk Roma sekarang, seteru abadi SS Lazio ini hanya mampu mencatatkan prestasi terbaik sebagai runner-up terbanyak di Serie A.

Pada musim 2003/2004, Roma harus puas finis di urutan kedua di bawah AC Milan. Lalu, tiga tahun selanjutnya di 2006 sampai 2008, I Giallorossi berhasil hat-trick menjadi runner-up di bawah Inter Milan. Setelah itu, di musim 2013/2014, 2014/2015, dan 2016/2017, AS Roma kembali hanya mencatatkan hat-trick menjadi runner-up di bawah Sang Nyonya Tua, Juventus.

Sembilan kali menjadi runner-up selama 20 tahun terakhir jelas merupakan sebuah prestasi yang sulit disamai oleh klub-klub di belahan dunia manapun. Prestasi ini mungkin hanya bisa ditandingi oleh konsistensi timnas Indonesia menjadi runner-up di Piala AFF sejak medio 1996 hingga 2018.

Lantas, mungkinkah ini saatnya Roma menghapus mitos runner-up dan meraih scudetto ke-empatnya? Mungkinkah ini saatnya Roma kembali meraih juara setelah puasa gelar 20 tahun lamanya? Nampaknya belum juga.

Kredit: Getty Images

Faktor luar lapangan juga menghambat

Selain faktor di dalam lapangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, faktor luar lapangan seperti manajemen klub dan dukungan suporter menjadi alasan lain mengapa Roma belum bisa juara tahun ini, atau hingga dua sampai tiga tahun lagi.

Dari sisi manajemen klub, sejak diambil alih oleh James Pallotta, klub ini tidak menunjukkan keinginan untuk “menjadi juara” seperti ketika dipegang oleh keluarga Sensi.

Latar belakang Pallotta yang seorang pebisnis, membuat keuntungan klub menjadi yang utama ketimbang prestasi yang bisa diraih tiap tahunnya. Menggunakan pendekatan ini, Pallotta tidak segan menjual pemain bintang Roma hanya demi “profit tinggi”.

Sejak roma dipimpin oleh Pallotta di tahun 2012, beberapa pemain hebat seperti Miralem Pjanic, Medhi Benatia, Kostas Manolas, Radja Nainggolan, Mohammed Salah, Antonio Ruediger, Alisson Becker, Kevin Strootman, hingga Alesandro Florenzi, dijual ke klub lain untuk memperoleh keuntungan fulus.

BACA JUGA: Profil Taktik: Melihat Miralem Pjanic Bekerja

Dalih memperoleh dana besar untuk membangun stadion baru pun terlihat palsu, dikarenakan izin membangun stadion tersebut belum disetujui oleh pemerintah kota Roma.

Semangat untuk memiliki stadion sendiri agar bisa bersaing dengan Juventus, nampaknya makin suram dengan fakta di akhir tahun 2019 kemarin, James Pallota justru dikabarkan mencari investor baru yang mau membeli klub pemilik tiga gelar juara Serie A ini.

Di masa kepemimpinan Pallotta, Roma tidak hanya gagal membangun  stadion, tapi juga gagal membangun fondasi kuat bagi tim ini. 

Buruknya manajemen dalam mengelola klub, kemudian berdampak pada sepinya dukungan suporter yang datang ke stadion. Berkurangnya animo suporter di Stadion Olimpico bukan hanya berdampak pada berkurangnya pemasukan tim dari tiket pertandingan, tapi juga moril para pemain saat bermain di kandang.

Dari 11 laga kandang musim ini yang sudah dilakoni Roma, tim besutan Paulo Fonseca hanya mampu meraih lima kemenangan saja. Hasil tersebut membuktikan bahwa kehadiran Romanisti di tribun begitu berarti bagi Roma dalam mencari kemenangan.

Tanpa dukungan penuh dari Romanisti dan pengelolaan klub yang tidak berorientasi pada gelar juara, mustahil bagi Roma untuk meraih scudetto, baik di tahun ini atau tahun-tahun mendatang. Bersabarlah, Romanisti.

Romanisti pun pastinya berharap, calon pemilik klub yang baru memiliki “keinginan juara” yang lebih besar daripada pemilik-pemilik Roma sebelumnya. Sang pemilik baru harus berani mendirikan fondasi tim yang kuat, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada performa tim dan hadirnya kembali dukungan penuh Romanisti di Stadion Olimpico.

Sabar, Romanisti. Mungkin tidak sebentar lagi…

 

*Penulis adalah abdi negara yang cinta sepak bola Italia. Bisa disapa di akun twitter @abietsaputra