Tribe Ultah

Gabriel Batistuta, Penyerang Ikonik yang Mudah Sekali Dicintai

Pengujung tahun 1990-an menjadi momen pertama di mana saya mengenal kompetisi sepak bola nomor wahid di Italia, Serie A. Pada era tersebut, Serie A merupakan liga paling populer di Indonesia, mengalahkan Liga Primer Inggris dan tentu saja La Liga Spanyol.

Ada begitu banyak pesepak bola kelas dunia yang merantau jauh hingga Italia demi mencicipi ketatnya atmosfer di sana. Salah satu di antaranya adalah penyerang tim nasional Argentina, Gabriel Omar Batistuta.

Usai menjalani karier profesional bersama tiga klub berbeda di Negeri Tango yakni Newell’s Old Boys, River Plate dan Boca Juniors, Batistuta yang baru berumur 22 tahun diboyong Fiorentina ke Negeri Pizza di awal tahun 1990-an.

Semuanya bermula dari aksi-aksi impresif lelaki yang kondang dengan nickname Batigol itu tatkala memperkuat Argentina di Copa America 1991. Kejuaraan yang dihelat di Cile tersebut menarik atensi banyak kalangan, tak terkecuali manajemen Fiorentina.

Pada turnamen itu sendiri, Batistuta yang menjadi andalan pelatih Alfio Basile, sukses mengantar La Albiceleste menggamit titel kampiun. Tak sampai di situ, ia juga keluar sebagai top skor turnamen via suntingan 6 gol.

Keputusan manajemen La Viola untuk membawa sang pemain ke Firenze rupanya tidak salah. Meski sempat kesulitan beradaptasi dengan kultur yang berbeda jauh dengan Argentina, Batistuta menunjukkan kelasnya sebagai predator andal di dalam kotak penalti lawan.

Musim perdananya berseragam ungu berakhir moncer karena ia sanggup membukukan 13 gol sekaligus jadi top skor klub sekaligus meloloskan Fiorentina dari jerat degradasi.

Namun nahas, pada musim berikutnya Fiorentina gagal tampil lebih baik dan hanya finis di peringkat ke-15 di klasemen akhir. Kendati demikian, Batistuta tetap menunjukkan ketajamannya dengan menggelontorkan 16 gol.

Terjerembabnya La Viola ke Serie B tak membuat pria kelahiran Reconquista tersebut berniat pindah dari Stadion Artemio Franchi. Hatinya terpatri dengan kokoh di Firenze. Kesetiaannya pun mendapat simpati dari tifosi La Viola.

Fiorentina cuma menghabiskan waktu semusim buat mentas di Serie B karena per musim 1994/1995, mereka sudah bertanding lagi di Serie A. Sekembalinya ke kasta teratas, performa Fiorentina justru makin memukau.

Bersama Sandro Cois, Stefano Pioli, Anselmo Robbiati, Manuel Rui Costa, dan Francesco Toldo, Batistuta membantu Fiorentina untuk bersaing dengan tim-tim papan atas semisal AC Milan, AS Roma, Internazionale Milano, Juventus, Lazio, dan Parma.

Tak heran jika La Viola kemudian didapuk sebagai anggota Il Sette Magnifico alias tujuh klub terbaik Serie A di pertengahan sampai akhir 1990-an. Selain konsisten bertarung di papan atas, Batistuta dan kawan-kawan juga sempat menggondol trofi Piala Italia dan Piala Super Italia di tahun 1996 ketika dibesut oleh Claudio Ranieri.

Khusus Batistuta, presensinya di Fiorentina justru terasa makin krusial dari waktu ke waktu. Kepala dan kakinya seolah tak ingin berhenti mencetak gol demi gol. Sembilan musim merumput di Stadion Artemio Franchi, Batistuta senantiasa bikin dua digit gol. Berdasarkan statistik yang dihimpun via Transfermarkt, ia sukses menceploskan 203 gol dari 330 penampilan di seluruh ajang. Sebuah catatan yang impresif dan juga fantastis!

Meski dianggap punya kualitas yang eksepsional dan acapkali membantu Fiorentina tampil apik di Serie A, Piala Italia maupun kompetisi antarklub Eropa, ketidakberhasilan La Viola mencaplok satu pun titel Scudetto kala diperkuatnya memunculkan hasrat untuk pindah.

Roma yang sedang diasuh oleh Fabio Capello akhirnya menyambut hangat keinginan besar Batistuta untuk mencicipi manisnya titel Scudetto. Biaya senilai 70 miliar lira digelontorkan oleh I Giallorossi buat mengamankan jasa Batistuta. Pindah ke Stadion Olimpico benar-benar menjawab apa yang begitu diidam-idamkan oleh Batistuta.

Bahu membahu dengan Francesco Antonioli, Marco Delvecchio, Vincenzo Montella, Hidetoshi Nakata, Walter Samuel, dan Francesco Totti, gelar Scudetto akhirnya mampir ke pangkuannya di musim perdana membela Roma. Terasa semakin manis karena Batistuta juga menjadi pencetak gol terbanyak klub di musim 2000/2001 lewat koleksi 20 gol.

Sayang, usaha Batistuta untuk mempertahankan gelar Scudetto bareng I Giallorossi di musim selanjutnya digagalkan oleh Juventus setelah terlibat persaingan sengit hingga giornata pamungkas.

Ironisnya, di musim 2002/2003, penampilan Batistuta merosot drastis sehingga jumlah golnya tak sampai lima biji. Di pertengahan musim, ia dipinjamkan ke Inter tapi lagi-lagi, ia tak mampu memperbaiki performanya.

Sampai akhirnya, Batistuta memutuskan terbang ke Timur Tengah guna bergabung dengan klub asal Qatar, Al Arabi, di pertengahan tahun 2003. Di klub ini pula, Batistuta menyudahi karier profesionalnya.

Bila dikomparasi dengan para penyerang ganas Serie A di era 1990-an sampai awal 2000-an macam Enrico Chiesa, Hernan Crespo, Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, David Trezeguet, dan Christian Vieri, prestasi yang digapai Batistuta jelas masih kalah.

Akan tetapi, siapa yang berani menyangkal kehebatan Batistuta semasa aktif bermain? Memberinya keleluasaan saat beraksi di atas lapangan hijau sama saja dengan mengundang seekor predator ganas yang siap menerkam mangsanya dengan sekali gigit.

Walau sudah lama pensiun, Batistuta akan selalu dikenang oleh para penggemar Serie A sebagai salah satu penyerang terbaik yang kehadirannya memberi warna tersendiri untuk kompetisi yang satu ini. Saya pun yakin, mereka tak akan ragu bersimpuh di hadapan Batistuta sebagai bentuk penghormatan.

Feliz cumpleanos, Batigol.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional