Dalam dunia binatang, umumnya hewan yang ukurannya kecil akan dimangsa oleh hewan yang berukuran lebih besar. Hewan-hewan mini ini tak ayal menjadi fase awal dalam siklus rantai makanan.
Begitu pula di dunia sepak bola. Klub-klub kecil selalu menjadi santapan bagi klub raksasa. Tidak hanya melulu soal hasil pertandingan, namun juga mengenai perpindahan pemain.
Contoh yang paling nyata dan tak terbantahkan tentu ‘kasus’ AS Monaco. Superioritas AS Monaco bermula ketika Leonardo Jardim (sang pelatih) harus memutar otak agar kebijakan transfer klubnya tak melanggar aturan Financial Fair Play (FFP).
Niatnya mengisi komposisi AS Monaco dengan pemain-pemain bintang, justru Jardim mau tak mau kudu memanfaatkan para pemain muda.
Jardim menerapkan formasi 4-4-2. Saat AS Monaco menyerang, formasi berubah menjadi 2-4-4, di mana full-back Benjamin Mendy dan Djibril Sidibe turut membantu serangan.
Peran gelandang bertahan, Fabinho, sangat krusial dalam skema Jardim. Ketika Sidibe membantu serangan, Fabinho akan bertransformasi menjadi bek kanan. Begitu pula ketika Mendy overlap.
AS Monaco membangun serangan dari bawah. Artinya, Fabinho kerap turun agar bek tengah dan kiper dapat menyalurkan bola.
Sering kali saat Fabinho mendapatkan bola, sudah ada empat pemain yang menusuk ke sentral pertahanan lawan, yakni Bernardo Silva, Kylian Mbappe, Radamel Falcao, Thomas Lemar bahkan Mendy dan Sidibe sudah dalam posisi siap di kanan-kiri pertahanan lawan.
Dengan begitu, Fabinho mempunyai empat hingga enam jalur umpan ke area lawan. Sepak bola aktraktif sekaligus menyerang ini menghasilkan rataan 2,8 gol per pertandingan dan 13,9 tembakan per laga.
Di tangan Jardim, Monaco berubah jadi monster yang menakutkan kala itu. Tim sekelas Manchester City dan Borussia Dortmund menjadi korban keganasan AS Monaco di fase gugur Liga Champions 2016/2017.
Setelah melalui musim 2016/2017 yang hebat dan indah, pemain-pemain AS Monaco dipreteli klub-klub raksasa Eropa. Gelontoran gaji selangit dan peluang mendapatkan trofi bergengsi menjadi lebih lebar, menjadi rayuan yang sulit ditolak dari klub raksasa. Pihak AS Monaco tentu tak bisa menahan ambisi pemainnya.
Lima pemain yang rajin mengisi starting line-up AS Monaco dirampok sejumlah klub. Valere Germain dibeli Marseille, Tiemoue Bakayoko dibajak Chelsea, Bernardo Silva dan Benjamin Mendy terbang ke Manchester City, sementara pemain muda AS Monaco yang paling menonjol, Kylian Mbappe, dipinjam Paris Saint-Germain dengan mahar 40 juta paun, dan dipermanenkan satu musim setelahnya dengan harga fantastis, 166 juta paun!
Monaco ibarat zebra yang dicabik-cabik kawanan harimau yang haus akan daging dan darah segar. Tak terbayangkan betapa sakitnya menjadi fans AS Monaco saat itu. Tanpa pilar-pilar andalan, AS Monaco harus rela bertengger di peringkat 2 Ligue 1 musim 2017/2018.
Kasus yang sama juga dialami Southampton. Klub Britania Raya itu memiliki musim yang mengesankan di bawah arahan nakhoda Mauricio Pochettino. Kala itu, Southampton berani menerapkan sepak bola menyerang dengan formasi 4-2-3-1. Hal ini sangat jarang dilakukan oleh klub sepak bola level menengah ke bawah.
Sepak bola menyerang yang diterapkan Pochettino ini yang membuat total operan Southampton meningkat drastis sebanyak 7.151 kali dari total operan musim sebelumnya, yakni 6.360. Selain itu, Southampton tidak terlalu mengandalkan umpan silang seperti musim sebelumnya.
Pada musim 2013/2014, Pochettino menginstruksikan anak asuhnya lebih sabar dan bermain umpan-umpan pendek untuk mengecoh lawan.
Hal ini membuahkan penguasaan bola Soton tertinggi di Liga Primer Inggris dengan 58,6 persen. Bahkan melebihi Manchester City dengan 56,9 persen ball possession.
Puncaknya didapat ketika mempermalukan Liverpool di Anfield dengan gol semata wayang Dejan Lovren. Performa Southampton cukup mengesankan, yang diakhiri dengan finis di posisi 8.
Gayung bersambut, musim manis Southampton berujung setumpuk tawaran transfer pemain, yang berdatangan ke meja manajemen klub. Keinginan para pemain Soton yang ingin mencicipi turnamen Eropa membuat klub tak kuasa menahannya.
Klub paling vokal tentunya Liverpool. Sempat dikalahkan Southampton, The Reds memboyong tiga pemain sekaligus. Adam Lallana, Ricky Lambert, dan Dejan Lovren.
Lalu, ada Luke Shaw yang dibeli Manchester United dan Calum Chambers ke Arsenal. Kesuksesan The Saints layaknya kanker yang menggrogoti tubuh klub.
Ketika itu sedang ada perubahan hierarki manajemen di tubuh Southampton. Melihat peluang itu, Tottenham akhirnya menunjuk Pochettino sebagai pelatih The Lilywhites dengan durasi kontrak lima tahun. Southampton pun babak belur.
Berpeluang digondol klub besar
Melihat dobrakan RB Leipzig di Bundesliga maupun Liga Champions, rasanya berpotensi masuk dalam radar mangsa klub-klub raksasa. Kebijakan klub untuk merekrut pemain di bawah 24 tahun, memaksa takdir RB Leipzig berada di pundak anak-anak muda.
Permainan Leipzig tentunya dipengaruhi kepala olahraga dan pengembangan Red Bull, Ralf Rangnick. Pria 68 tahun itu menginginkan pemainnya merebut bola dari lawan secepat mungkin, dan langsung mencetak gol tanpa buang-buang waktu.
Kepada The Guardian, Rangnick mengatakan, “Peluang terbaik untuk memenangkan kembali bola adalah dalam waktu delapan detik dari kehilangannya, dan sebagian besar gol dicetak dalam waktu 10 detik setelah mendapatkan kembali bola itu.”
Saat bertahan, RB Leipzig mengandalkan sepak bola reaktif. Artinya ketika lawan memulai serangan dari bawah, para pemain Leipzig tidak melakukan pressing dan hanya menutup jalur operan.
Namun ketika bola sudah berada di area tengah lapangan, pemain RB Leipzig melakukan pressing tinggi. Dua hingga tiga pemain akan menekan langsung pemain lawan yang menguasai bola.
Saking keras kepalanya dengan taktik ini, manajemen RB Leipzig juga ‘pilih-pilih’ ketika merekrut pemain. Bukan persoalan nama besar atau pemain mana yang sedang on fire, Leipzig hanya mengincar pemain-pemain yang cocok dengan skema.
Hasilnya, RB Leipzig menelurkan pemain-pemain papan atas seperti Timo Werner, Emil Forsberg, Dayot Upamecano, Yussuf Poulsen, Ibrahima Konate, Marcel Sabitzer, dan Konrad Leimer.
Selanjutnya, ada Leicester City. Klub berjuluk The Foxes itu (ketika artikel ini ditulis) berada di peringkat kedua liga domestik dengan 45 poin dari 21 pertandingan.
Kunci performa apik Leicester ada pada pertahanan yang kokoh. Brendan Rodgers menerapkan formasi 4-1-4-1. Empat bek dan satu gelandang bertahan menerapkan pola pressing man-to-man.
Ketika diserang, gelandang bertahan Wilfred Ndidi, bek Caglar Soyuncu, full-back Ben Chilwell dan Ricardo Pereira, akan menempel satu per satu lawan yang berada di area pertahanan. Sementara bek Jonny Evans akan menunggu di jantung pertahanan. Empat gelandang Leicester turut mengganggu jalur operan lawan.
Leicester hanya kebobolan 19 gol dari 21 pertandingan. The Foxes berada di peringkat kedua untuk urusan jumlah kebobolan terminim di liga, hanya kalah dari Liverpool dengan jumlah 14 gol. Pemain yang paling menonjol tentu trio pemain belakang, yakni Ben Chilwell, Caglar Soyuncu, dan Wilfred Ndidi.
Manchester City secara terbuka mengincar Soyuncu dan Chilwell, sementara Arsenal berniat membeli Ndidi. Lalu ada pangeran Leicester, James Maddison, yang dari awal musim 2019/2020 terus diburu Manchester United.
Klub-klub menengah ini nampaknya perlu banyak belajar dari kasus AS Monaco dan Southampton. Solusinya adalah manajemen klub kudu buru-buru memagari para pemainnya dengan kontrak baru dan harga rilis yang tinggi.
Dengan demikian, klub bisa mendapat keuntungan berkali-kali lipat dari hasil penjualan pemain. Dana tersebut bisa diputar untuk membina pemain muda, yang di kemudian hari juga akan dilepas lagi ke klub besar, dengan harga selangit.
Memang, “rantai makanan” di sepak bola ini mirip dengan rantai makanan di hutan belantara. Siapa yang lebih kuat, dia yang berkuasa.
*Penulis adalah jurnalis yang menggilai sepak bola sejak 2005. Biasa berbagi pikiran di akun twitter @isalmaward