Meski belum sempurna, gelaran Liga 1 Putri 2019 adalah sejarah. Untuk pertama kalinya liga sepak bola wanita digelar secara profesional di Indonesia. Diharapkan setelah langkah awal di tahun ini, liga sepak bola wanita akan lebih baik di kemudian hari.
Memulai kick-off pada Sabtu (5/10) di Yogyakarta, Liga 1 Putri dimulai dengan kesan dipaksakan dan tergesa-gesa. Dari yang awalnya 18 klub, hanya 10 yang kemudian ambil bagian. Maklum saja, semua klub seolah kurang persiapan.
Pun dengan 10 klub yang ikut serta. Sebagian dari mereka mengambil tim yang sebelumnya telah ada, bukan murni binaan mereka. Sebut saja Persija Jakarta yang menggunakan tenaga anak-anak Pra-PON DKI, atau TIRA-Persikabo yang kental nuansa Persijap Jepara.
Untuk itu, PSSI memberi apresiasi tinggi kepada mereka yang ambil bagian. Melalui Sekretaris Jenderal-nya, PSSI berharap dapat sama-sama membangkitkan sepak bola wanita melalui kompetisi yang sehat dan berkelanjutan.
“Kepada klub peserta, kami sampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi. Mari sama-sama kita bangkitkan sepak bola wanita di Indonesia dengan kompetisi yang sehat dan berkelanjutan,” ujar Ratu Tisha kala seremoni pembukaan Liga 1 Putri 2019.
Ketidaksiapan kembali terlihat selama gelaran. Mulai jadwal yang banyak dikeluhkan, hingga lokasi pertandingan yang tidak pasti.
Dibagi menjadi dua grup, Liga 1 Putri menggunakan sistem home tournament di mana masing-masing grup akan bermain di empat kota berbeda.
Menjadi sangat berat ketika setiap pemain dipaksa bermain hampir setiap hari di setiap seri. Bahkan ada pertandingan yang dimainkan di waktu tidak biasa, jam 1 siang. Jadwal yang bahkan tidak pernah ditemui di kompetisi sepak bola putra.
Penunjukan tuan rumah masing-masing seri juga jadi kendala. Di Grup A, seri yang semula dijadwalkan di Jakarta harus berpindah ke Stadion Pakansari, Bogor. Begitu juga dengan seri Bandung yang akhirnya dimainkan di Cikarang.
Puncak ketidaksiapan tampak di semi-final antara TIRA-Persikabo menghadapi Persipura Jayapura. Protes keras dilakukan tuan rumah Persipura dan berujung penolakan melanjutkan pertandingan.
Muasalnya, pihak tuan rumah menolak pertandingan dilanjutkan ke adu penalti saat mereka tertinggal 1-2 di waktu normal semi-final leg 2. Mereka beranggapan kemenangan 5-4 di Cibinong pada leg pertama sudah cukup mengantarkan wakil Papua menuju partai puncak.
Bukan hanya peserta dan operator liga yang belum siap, suporter juga sama. Mereka terlihat belum siap melihat sepak bola wanita sepenuhnya sepak bola. Sebagian besar mereka masih melihat sepak bola wanita semata hiburan dengan wanita sebagai objek utama.
Hal-hal seksis masih banyak terjadi. Dari mulai canda, godaan, hingga hal-hal berbau pelecehan banyak ditemui. Hinaan seperti “purel doly” atau “maung lonte” bahkan hadir sebagai noda.
Tetapi bagaimanapun juga, Liga 1 Putri tahun ini adalah sejarah. Sejarah yang juga mencatat Persib Bandung sebagai juara usai menaklukan TIRA-Persikabo di partai puncak, Sabtu (28/12) lalu.
Juga di penghargaan individu. Insyafadya Salsabilla sebagai pencetak gol terbanyak, Reva Oktaviani sebagai pemain terbaik, Helsya Maeisyaroh sebagai pemain muda terbaik, dan TIRA-Persikabo sebagai tim fair play.
Meski belum sempurna selama kurang lebih dua bulan keberlangsungan pertamanya, semoga saja Liga 1 Putri benar-benar menjadi kompetisi berkelanjutan di kemudian hari. Dengan berbagai penyempurnaan yang dilakukan tentunya.