Cerita

Bambang Pamungkas Menutup Sebuah Era

Yang dikhawatirkan akhirnya terjadi juga. Bambang Pamungkas menjalani laga pamungkasnya sekaligus mengakhiri satu era Persija Jakarta. Era ketika Macan Kemayoran identik dengannya, dan sebaliknya, dirinya juga adalah Persija Jakarta.

Untuk saya dan mungkin sebagian Jakmania lain yang hari-hari sepak bola bahkan perkenalan dengan sepak bola dihiasi dengan namanya, malam itu jelas tidak mudah. Sosok idola sejak kecil ini mungkin tidak akan sering terlihat lagi.

Malam itu jadi malam terakhir pria berkumis unjuk kemampuan. Malam yang sudah dingin dan basah sejak siang hari. Malam dengan suasana rumah yang tidak biasa. Suasana haru melepas pamitnya sang legenda.

Nyatanya malam itu juga tidak mudah baginya. Saat momen perpisahan usai laga, mengutip perkataan bijak, ia menegaskan tidak ingin menangis walau hatinya berdarah malam itu.

“Orang bijak berkata, laki-laki sejati tidak menangis, tapi hatinya berdarah. Malam ini, izinkan saya untuk menjadi seorang laki-laki sejati, dengan tidak banyak berbicara, agar saya tidak menangis, cukup hati saya yang berdarah,” ucap Bepe.

BACA JUGA: Arti Hadirnya Bambang Pamungkas

Serasa wajar, setelah hampir dua dekade bersama, perpisahan pastilah tidak mudah. Meski kita sama-sama tahu sosok Bambang Pamungkas tidak akan jauh dari Persija Jakarta, tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan.

Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh komponen tim Persija Jakarta, untuk perjalanan musim ini yang sangat menguras tenaga, emosi, dan kesabaran.

Juga untuk seluruh jajaran direksi Persija Jakarta. Untuk kerja sama yang luar biasa, selama ia berada di klub ini. Kenyamanan yang membuatnya merasa, jika Persija Jakarta akan selalu menjadi rumahnya.

Juga kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan seluruh masyarakat Jakarta, untuk dukungannya kepada Persija Jakarta.

Tidak lupa Bambang Pamungkas mengucap terima kasih kepada seluruh pendukung Persija Jakarta, baik yang malam hari itu berada di stadion, maupun di manapun berada. Ia menyebut, Jakmania dan seluruh pendukung setianya akan selalu memiliki tempat di hatinya.

Bambang memang telah mendapatkan segalanya di klub ibu kota. Top skor, pemain terbaik, berbagai gelar individu, hingga dua gelar juara menghiasi kebersamaan Bambang Pamungkas dan Macan kemayoran.

Namun di klub ibu kota juga ia mengalami hal-hal buruk dalam kariernya. Patah kaki, depresi, hingga dianggap pengkhianat pernah dialami. Tapi, Jakmania selalu ada di belakangnya.

BACA JUGA: Bambang Pamungkas, dari Getas, ke Eropa, dan Jakarta

“Saya pernah menjadi top skor di sini. Menjadi pemain terbaik di sini, dan saya pernah menjadi juara di sini. Namun demikian saya juga pernah patah kaki di sini, mengalami depresi di sini, dan dianggap sebagai pengkhianat juga di sini.”

“Dalam semua keadaan tersebut, kalian semua tetap berada di belakang saya. Dan untuk itu, dari lubuk hati saya yang paling dalam saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Kalian semua akan selalu memiliki tempat spesial dalam hati saya,” ujar suami Tribuana Tungga Dewi ini.

Di akhir kata-kata perpisahannya, Bambang menjelaskan, perjalanan kariernya adalah tentang makna dari apa yang telah dilalui, dan jejak apa yang ditinggalkan. Ia berharap, meninggalkan kesan yang baik selama menjadi bagian Persija Jakarta.

“Akhir sekali, perjalanan karier saya bukan tentang seberapa jauh saya melangkah, bukan juga tentang seberapa cepat saya sampai. Akan tetapi tentang makna dari perjalanan yang telah saya lalui, dan jejak apa yang saya tinggalkan.”

“Semoga selama saya menjadi bagian dari Persija Jakarta, saya dapat meninggalkan kesan yang baik di hati kalian semua,” pungkas Bambang Pamungkas.

BACA JUGA: Jika Para Pemain Terbaik Jawa Tengah Dijadikan Satu Tim

Setelahnya, Bambang Pamungkas menutup perpisahannya dengan salam dan ucapan selamat malam, Stadion Utama Gelora Bung Karno, pecah. Pagar-pagar tribun roboh tidak mampu lagi menahan gelombang suporter yang kemudian membanjiri lapangan. Mereka bukan hendak membuat kerusuhan, hanya berharap pelukan hangat pertanda perpisahan.

Saya sendiri memilih tetap duduk di kursi putih baris kelima zona 7 pintu 27, tepat di sudut kiri lapangan sisi utara. Dari sana terasa keharuan luar biasa. Dua wanita di sebelah kanan saya bahkan bercucuran air mata. Juga pasukan Bidang Acara Jakmania yang biasa ceria, berubah lesu terbawa suasana.

“Bambang Pamungkas, berlari tanpa henti, bermain dengan hati, Bambang Pamungkas.” Ode untuk Bepe mengiringinya meninggalkan lapangan, juga lampu-lampu yang mulai dipadamkan.

Malam itu, 17 Desember 2019, malam basah yang dingin, menjadi malam legenda sepak bola Jakarta juga legenda Indonesia pamit undur diri. Malam yang juga menjadi akhir satu era Persija Jakarta. Era ketika Persija dalah Bambang Pamungkas dan Bambang Pamungkas adalah Persija.

Terima kasih, Bambang Pamungkas. Terima kasih untuk semua kisah dan inspirasi selama ini.